Mongabay.co.id

Hanya Hutan Leuser di Hati Rudi Putra

 

 

Rudi Putra adalah nama yang cukup dikenal dalam dunia konservasi.

Lelaki kelahiran tahun 1977 di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh ini, telah 20 tahun bekerja untuk penyelamatan hutan dan satwa di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Hutan seluas 2,6 juta hektar yang merupakan habitatnya badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan.

Rudi mengawali aktivitasnya di Unit Manajemen Leuser [UML], lembaga pelaksana program Leuser Development Program [LDP] yang merupakan lembaga kerja sama antara Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia.

Berikutnya, ia pindah ke Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser [BPKEL] yang dibentuk Pemerintah Aceh untuk isu penyelamatan hutan Leuser. Hingga akhirnya, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Forum Konservasi Leuser [FKL], bekerja pada isu yang sama.

Di sela pekerjaannya memimpin tim perlindungan tumbuhan dan satwa, Rudi berhasil menyelesaikan magister di jurusan Konservasi Biodiversitas Tropika di Institut Pertanian Bogor.

Perjuangannya menjaga hutan Leuser, termasuk merestorasi kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit ilegal, membuatnya pada 2014 mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize, bersama lima pegiat lingkungan lainnya.

FKL saat ini memiliki 28 tim yang setiap hari berpatroli di KEL. Patroli dilakukan bersama Polisi Hutan dari Balai Besar Taman Nasiongal Gunung Leuser maupun dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh.

Rudi bukan hanya pemimpin, tapi juga rekan yang selalu bisa diajak berdiskusi, bahkan bercanda. Berkunjung dan bertemu dengan tim lapangan, tidak hanya dilakukannya untuk memantau pekerjaan, tetapi juga membangun keakraban.

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia bersama Rudi Putra, Ketua Dewan Pembina FKL, awal Juni 2021.

Baca: Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang 

 

Rudi Putra, sosok tanpa lelah menjaga hutan Leuser dari segala kerusakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Sejak kapan Anda bekerja pada upaya penyelamatan hutan Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser?

Rudi Putra: Saya mulai bekerja untuk konservasi di KEL sejak tahun 2000. Saya pertama kaki menjejak kaki di Leuser pada 1998, saat masih mahasiswa Biologi di Universitas Syiah Kuala [UNSYIAH] atas undangan Leuser Development Program atau Unit Management Leuser [UML].

Beruntung, kunjungan saya saat itu didampingi Prof. Carel van Schaik, ahli orangutan di dunia yang cukup terkenal. Dari pertemuan ini, tahun 1999 beliau memberikan saya beasiswa penelitian.

Sebenarnya, saya ingin melanjutkan penelitian itu di tahun 2000, tetapi batal karena kondisi keamanan Aceh yang saat itu memanas. Bahkan, stasiun penelitian tempat kami melakukan riset dibakar orang tidak dikenal.

 

Mongabay: Di lembaga apa awal Anda bekerja?

Rudi Putra: Saya bekerja untuk Unit Manajemen Leuser [UML].

Ada kejadian lucu yang masih terbayang. Saat itu, saya pergi ke Medan, Sumatera Utara, untuk tujuan wawancara tahap akhir di lembaga lain. Selesai interview saya menyempatkan diri ke UML, untuk menjumpai beberapa teman yang saya kenal selama penelitian dulu.

Ketika melihat kehadiran saya, seorang teman langsung berteriak dan menarik tangan saya, menuju ke sebuah ruangan. Saya dipertemukan dengan sekretaris yang menurut teman ini, telah mencoba berkali menghubungi saya.

Hari itu juga, saya harus mengikuti pelatihan navigasi bersama Ecosytem Ranger, nama unit patroli satwa liar UML. Dengan senang hati saya menerima tantangan ini, walaupun tidak membawa bekal apapun.

Beruntung, seorang kolega di kantor tersebut meminjamkan saya sleeping bag, jaket, tas, dan beberapa kebutuhan lainn, sehingga saya melawan cuaca dingin di lokasi pelatihan. Dari sini, saya ditugaskan sebagai supervisor.

Sebuah keberuntungan bisa bekerja dengan unit ini, karena bisa bergabung dengan puluhan karakter manusia yang mendedikasikan setengah waktunya untuk mempertahankan Leuser. Mereka adalah cikal bakal patroli hutan yang saat ini dikenal sebagai Ranger.

Baca: Hutan Lindung yang Direstorasi Itu Jantungnya Aceh Tamiang

 

Sudah 20 tahun, Rudi Putra menjaga Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Kenapa Anda memilih bekerja pada isu penyelamatan hutan Leuser dan satwa?

Rudi Putra: Orang tidak akan mengenal Leuser sebelum menginjakkan kakinya di hutan luar biasa ini. Banyak tamu yang awalnya berkunjung hanya karena ditugaskan, tetapi sekembalinya mereka menjadi pencinta Leuser. Leuser adalah magic, bentang alamnya luas, satwanya sangat menakjubkan.

Beberapa tempat di Leuser kami namakan Singgah Mata, memberi refreshing bagi mata dan pancaindra lainnya. Kami bisa menghabiskan waktu berjam, hanya untuk memandang hijaunya hutan dengan suara air, angin, dan satwa yang tiada henti.

Bagi saya, keindahan alam dan kehidupan satwa di Leuser bukan hal paling menarik yang membuat saya untuk bekerja di sini. Fungsi Leuser sebagai bagian terpenting kehidupan masyarakat yaitu penyedia air, udara bersih, serta pencegah bencana ekologis adalah alasan utamanya.

 

Mongabay: Artinya?

Rudi Putra: Nilai terpenting Leuser adalah sebagai sumber penghidupan yang layak bagi jutaan penduduk Aceh dan Sumatera Utara. Leuser adalah air. Tanpa Leuser, kami akan kehilangan sumber daya air. Tidak ada kehidupan tanpa air.

Leuser juga menghasilkan udara bersih yang kita hirup setiap hari. Leuser adalah paru-paru dunia. Bagaimana kita hidup tanpa oksigen?

Menjaga Leuser adalah sebuah keharusan dan bentuk perbuatan amal baik kami.

Baca: Mereka Penjaga Hutan Aceh Tamiang

 

Mengembalikan kembali fungsi hutan Leuser yang rusak akibat dirambah maupun ditanami sawit ilegal adalah pekerjaan berat yang dilakukan Rudi Putra bersama FKL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana kondisi Leuser saat ini?

Rudi Putra: Setiap hari di Leuser ada kabar buruk dan kabar baik. Kabar buruknya adalah deforestasi, penebangan liar, dan perburuan satwa masih terjadi. Kerusakan hutan di Leuser diperkirakan 20% dari 2,6 juta hektar. Tetapi, luas ini termasuk juga area penggunaan lain [APL] yang berada di KEL, yang sejak dulu sudah berupa kebun, permukiman, dan lainnya.

Laju kerusakan ini dalam tren menurun. Dibandingkan 1990 – 2005, kerusakan saat ini jauh lebih kecil. Saat itu, ratusan truk raksasa mengangkut kayu-kayu dari Leuser menuju ke tempat pengolahan, setiap hari.

Ratusan meter rakit kayu pun dihanyutkan setiap hari. Berdasarkan data Yayasan HAkA, pada 2015, kerusakan hutan di Leuser sekitar 13,690 hektar/tahun, luas ini turun menjadi 5,395 hektar pada 2019. Walaupun, HAkA mencatat kenaikan deforestasi tahun 2020 menjadi 7 ,331 hektar, yang diduga dampak COVID-19.

Hal lain, kalau sebelumnya deforestasi disebabkan perusahaan besar terutama untuk sawit, saat ini bergeser menjadi perambahan-perambahan kecil dengan skala 1-5 hektar. Perburuan juga menurun drastis di lokasi-lokasi yang sudah dijaga.

Satu kabar menggembirakan adalah kegiatan reforestasi yang masif, dilakukan di banyak tempat di Leuser.

Ribuan hektar lahan yang dirambah, mulai dikembalikan kembali menjadi hutan melalui restorasi alam maupun pola agroforestry yang dikembangkan bersama masyarakat. Ribuan hektar lahan APL yang masih berhutan juga dapat dipertahankan.

 

Mongabay: Apa yang harus dilakukan agar Leuser tidak rusak?

Rudi Putra: Untuk menjaga Leuser pada dasarnya dengan meningkatkan proteksi. Tetapi aspek yang sangat penting adalah meningkatkan kesejahteraan dan pemahaman masyarakat tentang perlunya konservasi Leuser.

Saatnya bukan hanya melarang tetapi juga bagaimana meningkatkan ketergantungan masyarakat untuk hutan. Banyak hasil hutan yang bisa dimanfaatkan masyaratkat seperti hasil hutan non-kayu yang bernilai tinggi.

Saat ini banyak jenis-jenis tanaman komersial yang dapat ditanam di dalam hutan seperti jernang, dan lainnya.

Baca juga: Perjuangan Tanpa Batas Hadi S. Alikodra untuk Dunia Konservasi Indonesia

 

Rudi Putra bersama tim FKL terus memberantas sawit ilegal yang berada di hutan lindung di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana perkembangan restorasi yang telah FKL lakukan?

Rudi Putra: Restorasi di Leuser sangat menarik diamati dan menjadi lokasi termurah di dunia, sebab alam di Leuser sangat cepat mengembalikan dirinya tanpa intervensi manusia.

Di Google Earth, kita bisa lihat di Leuser yang dulunya pernah di-clearing untuk areal logging atau perkebunan yang ditinggalkan, hanya dalam beberapa tahun areal itu kembali menjadi hutan dengan sendirinya. Kami meyakini, alam dapat mengembalikan dirinya sendiri tanpa intervensi manusia.

Di sebuah tempat di Aceh Tamiang, kami telah menebang sawit ilegal seluas 425 hektar. Dalam waktu empat tahun, terjadi hal menakjubkan, lahan tersebut telah kembali menjadi hutan dan berbagai spesies satwa kembali mendatangi wilayah tersebut. Ini termasuk orangutan, harimau, beruang, dan lainnya.

FKL sudah melakukan restorasi di lahan seluas 5.000 hektar [kebun ilegal] dan sebagian besar berupa restorasi alami. Sebagian lahan ini masih berhutan, tetapi masif ditebangi sejak beberapa dekade lalu.

Kami bernegosiasi dengan masyarakat untuk membebaskan lahan ini agar dialokasikan sebagai hutan yang dilindungi, di luar kawasan hutan. Di tempat-tempat lain kami menganti tanaman sawit, karet, dan coklat yang ditanami di kawasan hutan secara ilegal dengan tanaman agroforestry. Tentunya bersama masyarakat setempat setelah mendapat izin pemerintah.

Sebagian kawasan ini juga dialokasikan untuk restorasi alami, tanaman ilegal dimusnahkan dan lahan dibiarkan saja, hingga bibit-bibit alami tumbuh sendirinya.

Memang, pola agroforestry ini tidak bisa mengimbangi hutan alam, tapi jauh lebih baik dibandingkan kebun. Di dalam kebun, biasanya hanya 2-3 jenis tanaman, namun dengan pola ini bisa ditanami 20-30 jenis tanaman, termasuk sebagian jenis tanaman hutan.

Paling penting, pola agroforestry bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Di Tenggulun, Aceh Tamiang, kegiatan ini telah menekan kegiatan ilegal hingga 90 persen.

 

Kawasan Ekosistem Leuser tidak hanya penting bagi kehidupan 4 juta masyarakat yang hidup di sekitarnya, tetapi juga habitat utama gajah, harimau, badak, dan orangutan sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana kondisi satwa terancam punah di Leuser?

Rudi Putra: Beberapa satwa memang semakin jarang terlihat seperti beberapa jenis burung [rangkong, murai, poksay, dan lainnya). Mereka sangat mudah diburu dengan senjata atau perangkap.

Tetapi, sebagian besar satwa terancam punah di tempat lain kelihatan aman dan berkembang dengan baik, seperti orangutan dan harimau yang selalu kami amati perkembangannya.

Mengenai gajah, ada masalah dengan populasinya karena mereka juga berada di lahan-lahan yang di klaim sebagai kebun masyarakat atau perusahaan. Akibatnya, terjadilah konflik manusia dengan gajah yang berakhir terbunuhnya satwa.

Kami saat ini, membantu Pemerintah Aceh agar dapat melakukan upaya pembagian ruang antara masyarakat dengan satwa, termasuk gajah, sehingga tercipta kehidupan yang harmonis.

 

 

 

Mongabay: Apa ancaman terbesar kehidupan satwa di hutan Leuser?

Rudi Putra: Hilangnya habitat dan perburuan. Kehilangan habitat menyebabkan satwa berpindah ke tempat lain atau malah terbunuh.

Ancaman terhadap satwa dapat ditekan dengan meningkatkan proteksi. Kami mengamati, di beberapa tempat yang dulunya tidak terjaga dengan baik biasanya perburuan dan kegiatan ilegal sangat tinggi. Tetapi, seiring meningkatnya patroli, angka kegiatan ini menurun drastis.

Di sebuah tempat di selatan Leuser, perburuan menurun hingga 90% setelah tim patroli dan stasiun pengamatan diaktifkan. Membentuk unit monitoring kerusakan hutan yang terkoneksi dengan pemegang otoritas juga perlu dilakukan, sehingga kegiatan ilegal bisa langsung dilaporkan dan segera ditindaklanjuti.

 

Badak sumatera yang hidupnya berpacu dengan kepunahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Mengenai badak Sumatera, bagaimana kondisinya di Leuser?

Rudi Putra: Badak di Leuser terbagi dua lokasi. Di lokasi satu, populasinya berkembang baik meskipun jumlahnya sedikit.

Di lokasi dua, populasinya malah tidak berkembang sama sekali, tidak ada indikasi anak yang dilahirkan dalam beberapa tahun. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu upaya penyelamatan.

 

Mongabay: Untuk badak-badak yang tidak mungkin berkembang biak secara alami, apa yang mendesak dilakukan?

Rudi Putra: Tindakan mendesak dilakukan adalah menangkap dan memindahkan mereka ke fasilitas breeding center yang sudah ada, maupun yang akan dibangun. Tidak ada gunanya membiarkan mereka di alam liar, sebab mereka akan punah sendirinya bila tidak ada indikasi kelahiran.

Kalau pun ada breeding dengan populasi sangat kecil, juga akan menyebabkan kepunahan walaupun dalam jangka waktu lama. Kondisi ini tidak baik bagi populasi untuk jangka panjang.

 

Rudi Putra bersama tim Ranger yang selalu berpatroli mengamankan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Pembangunan SRS di Aceh, bagaimana perkembangannya?

Rudi Putra: Saat ini masih tahap finalisasi desain dan persetujuan pemerintah untuk lokasi yang akan dibangun. Diharapkan, dalam beberapa bulan mendatang, fasilitas ini selesai dibangun dan siap dioperasikan untuk konservasi badak.

 

Mongabay: Bagaimana konsepnya?

Rudi Putra: Konsep SRS ini adalah bagaimana menghasilkan anak badak sebanyak-banyaknya untuk kemudian disilangkan dengan individu-individu lain dengan variasi genetik berbeda.

Ketika jumlah individu sudah mencukupi, tahap selanjutnya adalah mengembalikannya ke alam. Tentunya, di tempat-tempat yang terkontrol hingga kemudian siap dirilis di habitat yang lebih luas.

Banyak tempat yang dulunya ditemukan badak namun saat ini hilang, yang dapat menampung badak-badak hasil perkembangbiakan ini.

 

Rudi Putra saat mendampingi Leonardo DiCaprio, pada 26-27 Maret 2016, di Conservation Response Unit [CRU] Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. CRU ini terletak di hutan lindung yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Foto: Dok. Paul Hilton

 

Mongabay: Harapan Anda terkait lingkungan?

Rudi Putra: Saat ini, tuntutan menjadikan bumi kembali hijau menggema. Kebutuhan atas barang yang diproduksi secara lestari meningkat dan gerakan penggunaan energi hijau pun semakin banyak. Di banyak negara, kegiatan reforestasi pun pesat, bahkan gurun pasir sudah mulai dihijaukan.

Apa artinya? Jangan sampai kita, negara yang memiliki hutan luas, justru berjalan pada arah sebaliknya. Kita, seluruh masyarakat Indonesia dan generasi muda harus peduli untuk bergerak, menjaga lingkungan.

Tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan bumi.

 

 

Exit mobile version