Mongabay.co.id

Kala Perusahaan Sawit Masuk Kubu Raya, Gambut Terancam, Warga pun Kesusahan

 

 

 

 

 

 

Adiratna, warga Desa Seruat Dua, Kubu Raya, Kalimantan Barat, tak ingat tahun pasti pertama kali perusahaan sawit, PT Sintang Raya, datang ke desanya. Yang dia ingat, kala perusahaan datang, memperluas kebun sampai dekat lahan pertanian masyarakat.

“Saya ingat kami datang berbondong-bondong ke lahan (yang sedang dibuka perusahaan) untuk menghadang. Kami terus menghadang sejak saat itu,” katanya pada Juliana Nnoko-Mewanu, peneliti Human Rights Watch, pada 2018.

Warga Seruat Dua yang menolak lahan jadi kebun perusahaan mendirikan pondok untuk menunjukkan tanah itu sudah digunakan warga. Warga juga mendatangi kantor polisi dan pejabat setempat.

Cerita Adiratna, dan warga tiga desa lain di Kubu Raya, yakni, Olak-Olak, Seruat Dua dan Mengkalang Jambu, dimuat dalam laporan Human Rights Watch yang terbit awal Juni 2021.

Laporan setebal 71 halaman berjudul “Mengapa Tanah Kami?”Ekspansi Perkebunan Sawit di Indonesia Membahayakan Lahan Gambut dan Penghidupan Masyarakat” ini meneliti perilaku Sintang Raya, anak perusahaan Deasang Corporation Korea Selatan, di tiga desa yang terimbas ini.

Human Rights Watch menemukan, perusahaan mendirikan dan memperluas perkebunan di lahan gambut. Ekspansi tanpa keterlibatan bermakna  dan tanpa kompensasi memadai menyebabkan warga kehilangan lahan pertanian atau mata pencarian. HRW juga menemukan polisi mengintimidasi, dan menuntut warga desa yang melawan atau protes.

“Pihak berwenang di Indonesia mengizinkan perusahaan sawit menghancurkan lahan gambut dan menyebabkan kerusakan lingkungan lain tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal atau konsekuensi lingkungan,” kata Juliana Nnoko-Mewanu, peneliti senior tentang perempuan dan tanah di Human Rights Watch, sekaligus penulis laporan ini.

Pemerintah Indonesia, katanya, harus memastikan perusahaan mematuhi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan hak warga atas tanah dan peraturan lingkungan serta menjalankan peran mereka dalam mengatasi krisis iklim.

Menurut laporan ini, penduduk mengatakan mereka dipaksa oleh anggota keluarga untuk menandatangani surat yang tak mereka pahami. Surat itu, kemungkinan untuk membebaskan lahan mereka.

Seperti dialami Amisha, warga Seruat Dua. Awal mula, perempuan 45 tahun ini percaya pada saudaranya yang bekerja di divisi humas PT Sintang Raya.

“Dia bilang lahan saya tidak berguna. Saya akan kehilangan segalanya kalau tak menjual lahan itu,” katanya seperti dikutip dalam laporan.

 

 

Baca juga: Melawan Perusahaan Sawit, Perjuangan Warga Seruat Berbuah Manis

Sawit. Indonesia produsen sawit terbesar dunia, dengan luas lebih 16 juta hektar dan menciptakan banyak masalah, salah satu saat kebun dibuka di lahan gambut. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Saat itu, perusahaan mau membayar Rp80 juta untuk tanah seluas 280 patok. Amisha menyerahkan KTP. Kini, perusahaan sudah menanam sawit di sebagian lahan itu, namun Amisha tak menerima uang sepeser pun.

“Waktu saya sadar perusahaan mau mengambil sisa lahan, saya menolak dan meminta saudara saya mengembalikan KTP saya,” katanya.

Sintang Raya, mula-mula mendapatkan izin lokasi seluas 20.000 hektar di Kubu Raya pada 2004. Pada 2007, perusahaan mulai membuka lahan dan memperoleh izin lingkungan pada 2008.

Setahun kemudian, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan hak guna usaha (HGU) lebih dari 11.000 hektar. Pada tahun sama, Sintang Raya joint venture dengan PT Miwon Agro Kencana Sakti atau PT Miwon Indonesia Tbk, anak usaha Daesang Corporation asal Korea Selatan.

Menurut HRW, meski Sintang Raya menyatakan kepada Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) kalau perusahaan mereka tak berafiliasi dengan Miwon, namun website Miwon Indonesia menunjukkan keduanya masih berafiliasi.

Sintang Raya bukan RSPO, tetapi punya sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sampai Maret 2016, Sintang Raya menanam 9.300 batang sawit. Sekitar 556 hektar untuk membangun infrastruktur seperti jalan, gedung dan jalur irigasi.

Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan (PBHK), menyatakan, lahan yang diberikan pemerintah untuk Sintang Raya pada 2009 menerabas tanah milik tujuh desa pertanian: Seruat Dua, Seruat Tiga, Mengkalang Jambu, Mengkalang Guntung, Sui Selamat, Sui Ambawang dan Dabong. Dengan HGU, operasi perusahaan kini masuk ke desa lain, yakni, Olak-Olak.

Dalam penelusuran HRW menemukan, Sintang Raya tak berkonsultasi terlebih dahulu dengan warga transmigran dan pendatang sebelum membuka perkebunan. Ganti rugi dinilai tak memadai dan tak ada mekanisme pengaduan apapun bagi mereka yang kehilangan lahan.

Setelah warga protes, pernah ada pertemuan antara tokoh masyarakat dan perwakilan perusahaan. Menurut Abdul Majid, warga Seruat Dua, perusahaan sama sekali tak membahas soal kompensasi.

“Kami punya semua surat izin yang diperlukan dari pemerintah. Silakan bawa 10 pengacara untuk menuntut, kami tunggu,” kata Majid menirukan perwakilan perusahaan.

Warga pun pernah membuat petisi, dengan membubuhkan cap jari, protes ekspansi perusahaan sawit, belakangan mereka menemukan, dokumen itu malah untuk membebaskan lahan.

“Kami dijebak,” kata Amisha.

Di Mengkalang Jambu, beberapa kilometer dari Seruat Dua, pernah ada sosialisasi pada 2005. Menurut warga, sosialisasi hanya memberi tahu warga kalau perusahaan memiliki HGU. Tak ada diskusi soal kerugian yang mungkin baik bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Tak ada juga diskusi soal apakah masyarakat akan pindah, cara memperoleh kompensasi atau penawaran pembukaan kebun plasma seperti amanat UU Perkebunan.

Masyarakat bahkan tidak tahu batas perkebunan sawit milik perusahaan di wilayah mereka.

“Saya tidak tahu apa itu HGU. Semua orang takut tanahnya masuk HGU. Kami takut lahan kami dirampas berbarengan dengan perluasan perusahaan,” kata Aninda, warga Mengkalang Jambu.

 

Baca juga: Menang Gugat Perusahaan Sawit, Warga Kubu Belum Dapatkan Kepastian Hukum


 

Gugatan dan kriminalisasi

Warga juga menempuh jalur hukum. Pada 2015, setelah warga memenangkan gugatan, perusahaan meminta 43 keluarga di Mengkalang Jambu mengakui kalau lahan mereka bagian dari HGU dan perusahaan menjamin kompensasinya.

Ahmad, warga Mengkalang Jambu, bingung karena di desa ini ada 137 keluarga. Ketika perusahaan membayar 43 keluarga untuk lahan seluas 120 hektar, masing-masing Rp10 juta per hektar, ada beberapa keluarga bahkan tak tinggal di sana, namun mewarisi lahan.

Sebagian warga lain menolak kompensasi karena menganggap itu tak adil.

Di Olak-Olak, laporan ini menyebut, Sintang Raya tidak menjalankan uji tuntas hak asasi manusia yang cukup untuk menjernihkan hak pemilikan tanah di Olak-Olak. Akuisisi lahan oleh perusahaan sawit tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan warga terdampak.

Pada 2011, warga Olak-Olak pernah menggugat izin Sintang Raya dan menang. Setahun setelah gugatan, PTUN Pontianak membatalkan HGU Sintang Raya. Proses hukum sampai Mahkamah Agung yang pada 2014 menguatkan putusan PTUN.

Sayangnya, perusahaan maupun Kementerian ATR/BPN gagal menegakkan putusan ini.

“Seolah-olah putusan itu cuma sehelai kertas tak bermakna,” kata Wahyu Setiawan, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat.

Dalam kelelahan warga menuntut eksekusi putusa MA, warga menghadapi kriminalisasi. Pada 2016, warga memanen tandan sawit di area yang menurut warga di lahan mereka.

Perusahaan melaporkan ke polisi kalau warga mencuri. Polisi menyerbu desa dan menangkap massal serta membuat warga takut lalu melarikan diri.

Menurut Wahyu, lebih 300 polisi masuk desa dan menangkap 26 warga serta menetapkan 100 tersangka.

“Sebelum perusahaan datang, saya tidak pernah melihat polisi di sini. Kalau Anda mau melihat polisi pergi ke kota (Pontianak). Sekarang, polisi sering datang, mengancam saya dan keluarga,” kata Dewi, perempuan Desa Olak-Olak.

Pada Februari 2018, polisi juga menangkap dan memenjarakan Kawan Ayub, Ketua AGRA. Ayub jadi tersangka kasus pencurian dan penjara satu tahun.

Kriminalisasi ini menimbulkan dampak emosional, psikologis, dan finansial serius. Roekato, istri Ayub mengatakan, tak tahu apa yang terjadi saat suaminya ditangkap 23 Februari 2018. Dia baru bisa menemui suaminya setelah dua minggu ditahan.

“Biaya Rp400.000 untuk transportasi itu mahal,” katanya.

Setelah dua bulan lebih Ayub ditahan, ibu dua anak ini mesti menanggung biaya rumah, kebutuhan sekolah anak, memperbaiki sepeda motor dan kebutuhan sehari-hari.

Untuk memenuhi itu Roekato kerja sebagai penimbang, sehari dalam seminggu dengan upah Rp300.000. Barang berikutnya baru datang 20 hari kemudian. Saat itu, dia baru bekerja lagi.

“Saya tak bisa menghasilkan uang sebanyak suami saya.”

 

Konflik warga dan perusahaan. Aksi warga mengambil alih alat berat perusahaan dan merusak jembatan pembatas pada 2012. Foto: dokumen Serikat tani Kubu Raya

 

Dengan kriminalisasi dan intimidasi itu, banyak warga takut, mencabut klaim lahan dan berhenti memperjuangkan tanah sejak bekerja untuk perusahaan. Beberapa orang yang masih memperjuangkan tanah sudah terlalu tua untuk bekerja di perkebunan, atau tak punya tanah atau sumber pendapatan lain.

HRW juga menyoroti pengabaian hak-hak tenurial masyarat yang membuat warga kesulitan akses lahan pertanian dan hutan. Mereka kehilangan pencaharian, makin miskin dan rawan pangan.

Dulu, warga biasa menanam pisang, jagung, nanas, ubi jalar, singkong dan talas.

“Sekarang saya membeli tiga talas besar Rp10.000. Dulu, saya bisa menanam jagung. Sekarang, jagung mahal, saya cuma bisa menanam sedikit,” kata Adiratna.

Perempuan ini kesulitan menanam, selain karena batas tanah desa dan perusahaan tak jelas, juga intimidasi perusahaan. Perusahaan memarkir eskavator dekat lahan Adiratna. Kalau mereka membakar semak-semak untuk membuka lahan, perusahaan padamkan api.

“Orang bilang tanah saya masuk HGU. Dari 180 patok tinggal 30 patok. Saya tidak bisa menanam apa-apa.”

Bahkan keluarga yang mendapat skema plasma di Olak-Olak pun mengatakan, mereka tak pernah tahu lokasi dan ukuran kebun, siapa yang mengolah dan bagaimana distribusinya.

Mereka yang ikut skema ini mengatakan jarang menerima pembayaran.

“Untuk perempuan yang tidak punya tanah, susah,” kata Budiwati, warga yang membuka warung kecil di Olak-Olak.

Untuk bekerja dengan perusahaan, buruh sawit harus mengerahkan keluarga mereka untuk memenuhi target perusahaan, hanya satu orang yang terdaftar. Buntutnya, perempuan tak bisa menyediakan makan cukup dan layak untuk keluarga.

“Yang kami punya cuma gabah kami sendiri. Tak cukup untuk makan tiga kali sehari,” kata Aulia, ibu enam anak dan lima cucu di Olak-Olak.

Bethari, perempuan lain di desa ini bahkan harus menggendong bayi untuk membantu suami memenuhi target di kebun sawit.

“Sekarang, kalau tidak bekerja di perusahaan berarti tidak punya pekerjaan. Kalau punya tanah sendiri saya pasti menggarapnya. Saya tidak perlu takut dipecat atau rugi kalau sakit. Hasil dari pohon kelapa sudah cukup,” kata Aninda, warga Mengkalang Jambu.

 

 

Dampak lingkungan dan iklim

Kehadiran perkebunan sawit skala besar berdampak juga bagi pertanian warga. Hama dan intrusi air laut berdampak pada pertanian dan hasil panen. Seperti dialamo Citra, perempuan di Mengkalang Jambu.

Dia pernah punya sekitar 1.000 batang kelapa dengan lahan 450 patok. Sebelumnya tak pernah ada serangan hama. Sembilan tahun perusahaan datang dan membuka lahan, kelapa terkena hama. Dia kehilangan hampir seluruh batang kelapa dan sembilan musim panen.

“Sekarang tinggal tiga pohon,” katanya pada 2018.

 

Kebun sawit perusahaan yang mengklaim lahan warga hingga digugat ke PTUN. Sampai Mahkamah Agung, warga memenangkan gugatan ini. Sayangnya, eksekusi lamban. Amar putusan MA saja belum sampai ke PTUN Pontianak. Foto: Aseanty Pahlevi

 

Kumbang adalah predator terbanyak di perkebunan sawit. Belum lagi tikus yang menyerang sawah di area yang berdampingan dengan kebun sawit.

Diah, warga lain juga merasakan sama. Dia sudah tanam padi sejak 1957. Biasa panen gabah keluarga Diah yang cukup untuk keluarga besar mereka. Sejak 2012, mereka nyaris frustasi tak mau membuka ladang lagi karena terserang hama terus.

Di musim kemarau, warga menghadapi intrusi air laut dan memperburuk hasil panen. Warga bilang, salinitas tanah juga meningkat hingga produksi sayur dan gabah menurun.

Warga berunjuk rasa minta air dibendung 20 kilometer dari luar.

“Perusahaan tidak setuju,” kata Abdul Majid, tokoh masyarakat Seruat Dua.

Ekspansi perkebunan sawit, tak hanya berdampak pada masyarakat yang gunakan lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian. Dengan membiarkan sebagian besar lahan gambut utuh, memungkinkan pertanian komersial skala besar berkontribusi pada kerusakan iklim serius secara global.

“Ketika penggunaan lahan gambut untuk pertanian komersial, Indonesia membiarkan penghancuran besar-besaran satu penyerap karbon terpenting di dunia, sekaligus menghambat upaya pengurangan emisi karbon untuk mencegah hasil terburuk dari perubahan iklim global,” kata Nnoko-Mewanu.

Lebih dari 10 tahun terakhir, HRW telah mengingatkan, pengelolaan lahan dan kehutanan buruk di Indonesia memiliki implikasi global yang parah.

Secara khusus, katanya, Indonesia punya peran kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim global karena kekayaan alam yang melimpah di hutan, termasuk lahan gambut yang berperan sebagai penyerap karbon.

Praktik penggunaan lahan beremisi tinggi di Indonesia, katanya, berkontribusi jadikan negeri ini salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.

Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, katanya, pembukaan hutan alam di Indonesia, termasuk gambut, merupakan salah satu sumber emisi terbesar. Selain berkontribusi pada krisis iklim, kabut asap saat hutan-hutan ini dibakar akan menyeberang ke negara tetangga, juga mengancam kesehatan masyarakat.

Kalau tata kelola lemah di sektor kehutanan dan perkebunan tidak ditangani memadai, Indonesia berisiko gagal memenuhi komitmen domestik dan internasional untuk signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca, dan akan memperburuk masalah hak asasi manusia.

Mongabay berupaya konfirmasi kepada Sintang Raya dan Miwon Indonesia. Telepon kedua kantor ini diterima oleh bagian humas dan marketing. Keduanya meminta Mongabay mengirimkan email.

Dua hari setelah peluncuran laporan ini, Mongabay mengirimkan email kepada kedua perusahaan untuk konfirmasi soal temuan-temuan HRW dan menanyakan upaya yang dilakukan perusahaan baik memenuhi putusan MA maupun menjalankan prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia. Hingga tulisan ini terbit, Mongabay belum menerima tanggapan baik dari Sintang Raya maupun Miwon Indonesia.

Pada Miwon Indonesia, Mongabay juga hendak verifikasi afiliasi Sintang Raya, seperti tertera dalam website mereka.

Nnoko-Mewanu mengatakan, pemerintah, perlu menyelidiki dan memberi sanksi kepada perusahaan sawit yang tak mematuhi UU pengadaan tanah dan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan.

“Pemerintah Indonesia seharusnya memperkuat hak atas tanah masyarakat pedesaan.”

 

Masyarakat Kubu memperlihatkan perkebunan yang harus dilepaskan perusahaan setelah warga menang gugatan sampai kasasi. Di areal yang bersengketa ini tanaman masyarakat kerap dirusak perusahaan. Foto: Aseanty Pahlevi

 

******

Foto utama: Ilustrasi. Konversi lahan hutan gambut di Kalimantan jadi  perkebunan sawit. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version