Mongabay.co.id

Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

 

Sejak 2014, puluhan ribu warga yang menetap pada belasan desa di tepian Teluk Kelabat, Pulau Bangka, berjuang membebaskan teluk tersebut dari aktivitas penambangan timah laut.

Puluhan ribu warga tersebut merupakan keturunan tujuh suku melayu di Pulau Bangka, yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng.

Pada 1 Mei 2021 lalu, berlangsung aksi berujung bentrokan antara masyarakat dengan penambang timah di Teluk Kelabat. Satu rumah di Desa Pangkalan Niur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, dibakar warga. Rumah tersebut merupakan “mess” para penambang timah liar. Bentrokan tersebut juga menyebabkan sejumlah warga dan penambang mengalami luka-luka.

Aksi penolakan tersebut dikarenakan masih adanya kegiatan penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat. Padahal, berdasarkan Perda No. 3 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, dinyatakan bahwa Teluk Kelabat tidak masuk dalam zona pertambangan.

Baca: Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

 

Perairan Teluk Kelabat Dalam dengan pemandangan Bukit Maras. Laut Teluk Kelabat menjadi sumber kehidupan tujuh suku melayu di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pascabentrokan tersebut, Kepolisian Kabupaten Bangka, menyatakan penambangan timah di Teluk Kelabat adalah ilegal. Kepolisian dan TNI AL berulangkali melakukan penertiban penambangan timah liar di perairan Teluk Kelabat.

Abdul Fatah, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, saat bertemu dengan Aliansi Solidaritas Selamatkan Teluk Kelabat, 25 Mei 2021 lalu, menyatakan penambangan timah di perairan Teluk Kelabat itu ilegal.

“Petanya sudah jelas, aktivitas penambangan bukan di sana zonasinya. Berarti ini ilegal,” kata Abdul Fatah dikutip dari babelprov.go.id.

Baca: Suku Lom dan Legenda Akek Antak yang Menjaga Perairan Tuing Ratusan Tahun

 

Seorang nelayan sedang mengangkat jaringnya di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Minggu [13/6/2021], Mongabay Indonesia ke Teluk Kelabat. Terlihat adanya kegiatan penambangan timah. Sebab, kepulan asap dari mesin sejumlah ponton mengepul ke udara.

“Saat diprotes mereka berhenti, saat razia mereka berhenti, tapi kemudian kembali beraksi,” kata Haryono, Ketua Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam kepada Mongabay Indonesia.

Baca: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

Ikan Selangat, hasil laut unggulan dari perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Teluk Kelabat simbol keharmonisan

Teluk Kelabat luasnya 32,9 ribu hektar. Teluk ini dua cekungan. Cekungan pertama [utara], menghadap Laut Natuna yang berada di Kabupaten Bangka. Sebutannya Teluk Kelabat Luar [16,6 ribu hektar].

Cekungan kedua [selatan] di Kabupaten Bangka Barat, yang merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Maras. Dinamakan Teluk Kelabat Dalam [16,3 ribu hektar].

Posisi teluk ini di depan Gunung Maras. Sehingga ketika berada di periaran Teluk Kelabat seakan terus diawasi Gunung Maras, bukit tertinggi di Kepulauan Bangka Belitung. Tingginya 705 meter.

Ada 12 desa di pesisir Teluk Kelabat. Yakni Desa Pusuk, Tuik, Beruas, Rukam, Semulut, Kampit dan Baki yang masuk Kabupaten Bangka Barat. Sebagian lagi adalah Desa Berbura, Pangkalan Niur, Bukit Tulang, Rinding Panjang dan Belinyu di Kabupaten Bangka.

“Semuanya merupakan permukiman dari tujuh suku melayu di Pulau Bangka, yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng,” kata Haryono.

Baca juga: Menjaga Suku Lom, Menyelamatkan Pulau Bangka dari Kerusakan Lingkungan

 

Kasimini [kiri], perempuan dari Desa Tuik yang memanfaatkan laut Teluk Kelabat Dalam untuk mencari kerang, siput, lokan dan rumput laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selama belasan abad, atau jauh sebelum mulai adanya aktivitas penambangan timah di Pulau Bangka, dari era Kesultanan Palembang dan pemerintah kolonial Belanda dan Inggris, berbagai suku ini memanfaatan perairan Teluk Kelabat sebagai sumber makanan dan ekonomi.

“Perairan Teluk Kelabat merupakan media komunikasi antar-Suku Melayu di sini. Di perairan ini kami tidak pernah konflik, kami saling menghormati. Bahkan, etnis Tionghoa juga dapat memanfaatkan Teluk Kelabat. Dapat dikatakan perairan ini simbol keharmonisan berbagai suku yang hidup di sepanjang tepian Teluk Kelabat. Ini laut adat kami,” jelas Haryono.

Berbagai aturan adat diperlakukan tujuh suku tersebut di Teluk Kelabat, hingga saat ini. Misalnya, menangkap ikan hanya menggunakan jaring, pancing, menombak dan bubu. Jaring dan bubu yang digunakan tidak boleh ditinggalkan terlalu lama [melewati satu hari], sebab berbagi ruang dengan nelayan lain.

Yasrizal, warga Desa Beruas menuturkan, “Secara adat, di sini kami sepakat tidak menggunakan alat tangkap skala besar seperti trawl, bom ikan, racun dengan bahan kimia, dan lainnya. Pada intinya, kami sepakat melestraikan laut Teluk Kelabat.”

Terkait mangrove, dia menyatakan, ada larangan menebang pohon secara berlebihan atau dijadikan sumber ekonomi, seperti papan atau membuat arang. Hanya boleh menebang untuk keperluan kapal, dermaga, atau rumah. Ukurannya minimal sepelukan orang dewasa.

“Sejumlah suku juga melakukan tradisi sedekah laut di perairan ini,” katanya.

 

Tiram, potensi hasil laut di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, ada berbagai pantangan jika mencari ikan di perairan Teluk Kelabat. Misalnya, perempuan yang tengah datang bulan dilarang mencari ikan. Kemudian, jangan membawa daging-dagingan, telur, dan ketan saat melaut.

Berbagai Suku Melayu di pesisir Teluk Kelabat merupakan masyarakat bahari. Mereka memanfaatkan daratan dan laut sebagai sumber pangan dan ekonomi. Di darat, mereka berkebun lada, karet, buah, serta menanam padi. Sementara di laut, mereka mencari ikan.

“Jadi, jika perairan Teluk Kelabat ini dirusak oleh penambangan timah atau ekonomi merusak lainnya, itu artinya sama dengan menghancurkan keberadaan tujuh Suku Melayu di sekitar Teluk Kelabat. Teluk ini bukan semata sumber pangan dan ekonomi, tapi merupakan bagian dari budaya kami, identitas kami,” jelas Haryono.

 

Suip, warga Desa Tuik yang setiap hari mencari ikan di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya ekonomi, tapi harga diri

Sejumlah tokoh dari berbagai suku di perairan Teluk Kelabat, yang bertemu dengan Mongabay Indonesia di Pulau Nenas, sebuah pulau yang berada di Teluk Kelabat, menyatakan akan terus berjuang membebaskan laut adatnya dari penambangan timah.

“Secara adat, kami warga di sini sepakat untuk bersama melestarikan laut Teluk Kelabat. Ini merupakan amanah para leluhur. Jadi, kami akan terus berjuang mempertahankan teluk ini dari kerusakan, terutama dari penambangan timah,” kata Yasrizal, warga Dusun Beruas.

“Kami juga meminta pemerintah untuk ikut bersama menjaga Teluk Kelabat Dalam, seperti ancaman tambang timah liar. Berdasarkan RZWP3K, Teluk Kelabat bebas dari tambang. Bila penambangan timah dibiarkan, jelas akan merusak terumbu karang, mangrove beserta ikan-ikannya. Jika Teluk Kelabat hancur, kami pun hancur,” katanya.

 

Asap hitam tampak berasal dari aktivitas penambangan timah di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Zakaria, warga Desa Bakit, yang setiap hari mencari rajungan, kepiting bakau menggunakan bubu mengatakan, kekompakan berbagai Suku Melayu di Teluk Kelabat membuat perairan ini terjaga. Sama-sama menjaga lingkungan.

“Adanya tambang timah di Teluk Kelabat Dalam, membuat kami khawatir. Karena limbah tambang itu yang membuat hasil tangkap nelayan di sini berkurang. Limbah mempunyai pengaruh terhadap air, bahkan dasar laut dibuatnya berlubang. Mangrove itu tempat bertelur udang, kepiting, ikan, dan lainnya.”

Suip, warga Desa Tuik menuturkan senada. Menurut dia, warga sepakat menolak, karena merusak kehidupan ikan. “Namun ini bukan sebatas ekonomi, ini persoalan harga diri. Kami selama turun menurun menjaga teluk ini, jelas tidak menerima dirusak oleh segelintir orang demi kepentingan ekonomi mereka.” 

 


 

Yang memanfaatkan perairan Teluk Kelabat juga para perempuan.

Kasmini, warga Desa Tuik, setiap hari mencari beliung, kerang, siput, lokan dan lainnya. Hasilnya lumayan banyak, sekali mencari bisa dapat satu hingga dua kilogram.

“Sebelum ada tambang timah, ikan di sini segar-segar. Sejak kegiatan ini datang, rasanya berbeda dan jumlah [populasi] juga berkurang. Misalnya, hasil kerang tidak sebanyak dulu.”

Menurut dia, sudah seharusnya kelestarian Teluk Kelabat dijaga. “Kami mohon pemerintah segera menertibkan penambang timah. Jika pemerintah tidak mampu, kami tetap berjuang menjaganya,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version