Mongabay.co.id

Merusak Teluk Kelabat Sama Saja Menghancurkan Potensi Laut Bangka

 

 

Teluk Kelabat merupakan teluk terluas [32,9 ribu hektar] di Kepulauan Bangka Belitung. Teluk yang terletak di utara atau “tanduk” Pulau Bangka, diperkirakan sudah dikunjungi kapal-kapal dagang sejak seribuan tahun lalu, terutama yang berasal dari Semenanjung Indochina [Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, dan Myanmar] dan Tiongkok, sebelum menuju Palembang [Kedatuan Sriwijaya] maupun ke Selat Bangka, menuju Pulau Jawa. Begitu pun sebaliknya dari Sriwijaya [Sumatera], Majapahit [Jawa] yang ingin ke Tiongkok maupun Semenanjung Indochina.

Di Teluk Kelabat, kapal-kapal dagang tersebut selain berniaga dengan penduduk setempat, juga berlabuh guna memperbaiki kapal, mengambil perbekalan air tawar dan makanan. Juga, menghindar terjangan angin Timur, angin Barat dan Selatan, yang dapat menciptakan badai dan gelombang tinggi di Laut Natuna atau Laut China Selatan.

Komoditas yang dibeli pedagang dari masyarakat lokal, misalnya getah [resin] dan kayu gaharu, kemenyan, lada, dan lainnya. Di kawasan hutan Gunung Maras, yang berbatasan langsung dengan Teluk Kelabat, saat ini masih ditemukan pohon gaharu yang tumbuh liar.

“Di masa Kedatuan Sriwijaya, kami memperkirakan kapal-kapal sangat ramai di Teluk Kelabat. Bahkan kami memperkirakan pada masa itu laut di teluk ini cukup dalam, tidak sedangkal sekarang akibat tertimbun lumpur dan pasir yang dibawa arus sungai, hujan, dan penambahan daratan oleh hutan mangrove,” kata Haryono [49], tokoh masyarakat Desa Pusuk, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [13/6/2021] lalu.

“Teluk Kelabat ini daerah terbuka, buktinya begitu banyak suku melayu, yang mungkin para leluhurnya berasal dari berbagai wilayah di Nusantara,” ujar Ketua Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam ini.

Tercatat tujuh suku melayu di sekitar Teluk Kelabat yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng.

“Berdasarkan cerita tutur, sejumlah suku mengaku leluhurnya dari Vietnam [Funan], Sriwijaya, Majapahit, Malaysia, hingga Suku Lanun [Filipina Selatan]. Namun saat di sini mereka hidup dengan adat dan tradisi setempat, yang utamanya sangat menghormati alam, sebagai karakter orang melayu,” jelas Haryono.

Baca sebelumnya: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Tampak perahu nelayan berada di sekitar perairan Teluk Kelabat dengan latar belakang Bukit Maras. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tiga ekosistem

Kedalaman perairan Teluk Kelabat kisaran 1-10 meter. Terdiri ekosistem estuaria [muara sungai], ekosistem karang, dan ekosistem mangrove.

Teluk Kelabat terdapat dua cekungan. Cekungan pertama [utara] seluas 16,6 ribu hektar, menghadap Laut Natuna yang berada di Kabupaten Bangka, disebut Teluk Kelabat Luar. Cekungan kedua [selatan] seluas 16,3 ribu hektar di Kabupaten Bangka Barat, yang merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Maras. Dinamakan Teluk Kelabat Dalam.

Terdapat empat tanjung di Teluk Kelabat, yakni Tanjung Penyusuk, Tanjung Melata, Tanjung Ruh dan Tanjung Matong.

Kedalaman perairan di Teluk Kelabat Luar kisaran 10 meter, sementara kedalaman perairan di Teluk Kelabat Dalam kurang dari 10 meter. Bahkan sekitar 5 kilometer dari garis pantai [mangrove], pembatas Taman Nasional Gunung Maras dengan Teluk Kelabat, kedalamannya hanya satu meter.

Sejumlah sungai bermuara ke Teluk Kelabat, antara lain Sungai Antang, Sungai Tumbulan, Sungai Pancor, Sungai Sepang, Sungai Simbubur, Sungai Layang, Sungai Rumpa, Sungai Kajur, Sungai Simpang, Sungai Antan dan Sungai Primping. Sungai Antan dan Sungai Primping berhulu di Gunung Maras [705 meter] yang berada di Taman Nasional Gunung Maras.

Terdapat 12 pulau kecil di Teluk Kelabat. Yakni Pulau Nanas Besar, Pulau Nanas Kecil, Pulau Dante, Pulau Mengkubung, Pulau Kambing, Pulau Medang, Pulau Kelapa, Pulau Anakan Kelapa, Pulau Lengkuas, Pulau Pisang, Pulau Bebiri, Pulau Putri.

Serta, terdapat dua pulau [delta], yakni Pulau Nek Aji di Sungai Antan, dan Pulau Kayu Anak atau Kianak di Sungai Primping. Dua sungai ini berhulu di Bukit Maras [705 meter], dan berhulu di Teluk Kelabat.

Dari belasan pulau tersebut, hanya Pulau Mengkubung yang pernah dihuni manusia. “Sekarang tidak ada lagi. Di pulau itu tersisa empat makam tua,” kata Haryono.

Meskipun belasan pulau tersebut tidak berpenghuni, tapi pulau-pulau itu menjadi persinggahan para nelayan jika ingin mencari air tawar, atau menghindar dari badai dan hujan lebat yang disertai petir.

Baca: Menanti Penertiban Tambang Timah Ilegal di Teluk Kelabat

 

Dua warga menyusuri mangrove mencari kerang di sekitar Teluk Kelabat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sementara Pulau Nanas Besar saat ini menjadi lokasi kunjungan wisata. Hamparan pasir putih dan batu granit menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal yang ingin berakhir pekan bersama keluarga di pulau tersebut. Mandi dan menyantap makanan laut merupakan daya tarik berwisata di Pulau Nanas Besar.

“Sebenarnya pulau-pulau lainnya dapat dikembangkan sebagai lokasi wisata. Tapi, butuh kelompok yang mampu mengelolanya secara baik, terutama terkait tata lingkungan. Sampah merupakan persoalan utama pada setiap lokasi wisata,” ujarnya.

Di Pulau Nanas Besar ini juga terdapat budidaya rumput laut yang dikerjakan kelompok pemuda Desa Pusuk, yang dibantu sejumlah nelayan. “Sudah dicoba tiga bulan lalu. Sebagian berhasil, selain sebagai sumber ekonomi, juga membantu perbaikan lingkungan perairan Teluk Kelabat yang mulai rusak oleh penambangan timah,” kata Haryono.

“Jika budidaya rumput laut di Pulau Nanas Besar berhasil, ada kemungkinan akan dikembangkan di sekitar pulau lainnya,” lanjutnya.

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Masyarakat sekitar Teluk Kelabat Dalam membudidayakan rumput laut, tepatnya di Pulau Nanas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mangrove

Sebagian besar mangrove di Teluk Kelabat masih terjaga. “Mangrove terjaga karena masih banyak warga yang mencari kerang merah, siput gonggong, dan kepiting. Mereka ini berada di depan jika ada yang coba merusak mangrove. Para nelayan juga sangat sadar pentingnya peranan mangrove sebagai sumber pangan dan tempat bertelur ikan,” kata Yasrizal, warga Desa Beruas, kepada Mongabay Indonesia.

Diperkirakan, seperempatnya merupakan kawasan lindung. Misalnya di sebelah timur [Kabupaten Bangka] mangrovenya masuk kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Maras. Taman nasional ini luasnya sekitar 16.806,91 hektar, yang terdiri dari tiga ekosistem; hutan primer daratan, perbukitan, serta mangrove. Belum ada data terpublikasi mengenai luasan mangrove di pesisir Teluk Kelabat yang masuk Taman Nasional Gunung Maras.

Kawasan mangrove Teluk Kelabat yang masuk Kabupaten Bangka Barat sebagian masuk kawasan Hutan Lindung Pantai Jebu Bembang dan Jebu Antan. Hutan Lindung Pantai Jebu Bembang seluas 10.105 hektar, dan Hutan Lindung Pantai Jebu Antan seluas 2.161 hektar.

“Kami tidak tahu berapa luas mangrove di Pesisir Teluk Kelabat yang masuk hutan lindung. Bagi kami, semua mangrove harus dilindungi, sebab secara adat atau turun menurun kami dilarang merusaknya,” kata Yasrizal.

“Kami hanya mengambil kayu di kawasan mangrove sesuai kebutuhan. Dilarang diambil untuk diperjualbelikan,” ujarnya.

Pada 2007-2008 terjadi pembabatan hutan mangrove di Teluk Kelabat oleh kegiatan penambangan timah di wilayah pesisir. Selain itu terjadi pula penebangan untuk kebutuhan pembuatan arang. “Saat ini mulai berkurang atau tidak ada lagi,” lanjutnya.

Jenis mangrove di Teluk Kelabat sama dengan wilayah pesisir berlumpur lainnya di Bangka, yakni perepat [Sonneratia alba], bakau [Rhizophora], nyiri batu [Xylocarpus moluccensis], nipah [Nypa fruticans Wurmb], nibung [Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum], juga api-api [Avicennia].

 

Seorang nelayan menunjukkan Ikan Manyung [Ariidae], hasil tangkapannya di sekitar perairan Teluk Kelabat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kekayaan laut

Langka Sani, Ketua Umum Animal Lovers Bangka Indonesian [Alobi] Foundation, Bangka, kepada Mongabay Indonesia mengatakan pesut terkadang ditemukan di sejumlah perairan air tawar di Pulau Bangka. “Setahu, kami yang sudah ditemukan pesut di Sungai Upang dan Sungai Kota Waringin,” ujarnya, Minggu [20/6/2021].

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Frensly D Hukom dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI pada 2010 berjudul “Keanekagaraman dan Kelimpahan Sumberdaya Ikan di Teluk Klabat, Perairan Bangka Belitung” terumbu karangan hanya ditemukan di Teluk Kelabat Luar. Sementara, Teluk Kelabat Dalam komunitas terumbunya bersifat parsial dan sangat sedikit.

 

Foto drone Teluk Kelabat yang dihiasi perbukitan Maras. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tercatat 108 jenis ikan dalam 25 famili. Ditemukan 36 jenis ikan karang yang menjadi target [ikan pangan], dua jenis ikan indikator, dan 70 jenis ikan kelompok mayor. Sepuluh jenis ikan yang dominan atau 87 persen dari keseluruhan jumlah ikan yang ditemukan.

Yang paling dominan ikan ekor kuning [Caesio cuning] dan ikan petek [L. splendens]. Ikan ekor kuning banyak ditemukan di perairan Teluk Kelabat Luar di wilayah terumbu karang bersifat bergerombol, sementara ikan petek dominan di Teluk Kelabat Dalam, yang perairannya dangkal dan keruh.

“Beranjak dari sejarah dan kekayaan alamnya, kami terus berjuang mempertahankan kelestarian Teluk Kelabat dari kerusakan. Apakah itu penambangan timah, perambahan mangrove, maupun kegiatan ekonomi merusak lainnya,” papar Haryono.

 

 

Exit mobile version