Mongabay.co.id

Suku Maras, Penjaga Sejati Lanskap Gunung Maras

 

 

Suku Maras merupakan suku tertua di Pulau Bangka. Suku ini menetap di sejumlah desa yang membentang dari Gunung Maras [705 meter] hingga ke Teluk Kelabat, seperti Desa Berbura dan Desa Pangkal Niur.

Suku yang mengaku keturunan seorang pangeran dari Kesultanan Banten ini, selama beberapa abad telah menjaga Gunung Maras, bukit tertinggi di Kepualuan Bangka Belitung, dari kerusakan. Terutama, dari penambangan timah yang dilakukan Kesultanan Palembang hingga pemerintahan kolonial Belanda.

Bagi suku ini, jika Gunung Maras rusak atau hancur, maka berbagai bencana akan dialami bangsa Indonesia. Mulai dari bencana alam maupun serangan penyakit mematikan.

Selama tiga hari, Sabtu-Senin [26-28/6/2021], Mongabay Indonesia berkunjungan ke lanskap Gunung Maras di Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yang sejak 2016 ditetapkan pemerintah sebagai Taman Nasional Gunung Maras melalui SK 576/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016 tanggal 27 Juli 2016.

Taman Nasional Gunung Maras luasnya 16.806,91 hektar dengan tiga tipologi ekosistem; hutan primer daratan, area berbukit, serta mangrove.

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, di kaki Gunung Maras maupun di wilayah perbukitan hingga pesisir, banyak lahan yang dijadikan perkebunan sawit, karet, dan lada. Khusus kebun sawit, dilakukan sejumlah warga sejak akhir 1990-an. Sementara kebun karet bersamaan dengan kebun lada yang diusahakan masyarakat sejak ratusan tahun lalu.

Meskipun daratan bebas dari penambangan timah—dipercaya masyarakat sudah diampak, tapi perairan seperti sungai dan laut tidak luput dari penambangan timah ilegal.

Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Gunung Maras yang tingginya sekitar 705 meter, merupakan gunung yang sangat disakralkan Suku Maras sehingga dijadikan wilayah adat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berharap wilayah adat terlindungi

“Kami sudah tahu jika wilayah kami masuk Taman Nasional Gunung Maras. Kami senang mendapatkan kabar tersebut,” kata Umran [73], tokoh Suku Maras, yang ditemui Mongabay Indonesia di kediamannya di Dusun Rambang, Desa Berbura, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, Minggu [27/6/2021].

“Kami berharap, Taman Nasional Gunung Maras ini mampu menjaga wilayah Gunung Maras yang kami pahami sebagai wilayah adat, dari kerusakan. Baik dari penambangan timah, perkebunan sawit, wisata, maupun pembangunan lainnya,” kata lelaki yang akrab dipanggil “Mang Um” ini.

Dijelaskan Umran, sejak para leluhurnya datang dari Kesultanan Banten sekian abad lalu, wilayah Gunung Maras, sudah didiami berbagai makhluk hidup. “Bukan hanya manusia, juga beragam satwa dan pohon,” katanya.

Baca juga: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Air terjun di kaki Gunung Maras, ditumbuhi pohon pelawan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Wilayah adat Suku Maras dimulai dari Gunung Maras hingga pesisir Teluk Kelabat, termasuk Pulau Dante, Pulau Padi, dan Pulau Nanas. Wilayahnya mencakup Desa Berbura, Desa Pangkal Niur, dan sebagian masuk Desa Tuik dan Desa Riding Panjang.

Dari masa Kesultanan Palembang, pemerintahan kolonial, hingga pemerintahan Soekarno [Orde Lama], wilayah Gunung Maras sangat terjaga kondisinya. Tidak ada penambangan timah, tidak ada perambahan hutan, tidak ada perburuan satwa, dan tidak ada pembukaan hutan untuk perkebunan.

“Tapi, lihat sekarang. Sejak tahun 1970-an, wilayah ini mulai dirusak. Diawali perambahan hutan, kemudian pada 1990-an masuk kebun sawit, dan terakhir sejak 2000-an mulai ada penambangan timah,” katanya.

 

Pohon berbura yang banyak ditemukan di dalam hutan Gunung Maras. Sebuah desa yang didiami Suku Maras pun dinamakan Desa Berbura. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Aktivitas pendakian [wisata] juga melahirkan gangguan. Misalnya, wilayah-wilayah yang menurut kami tidak boleh dimasuki atau dikotori, justru dilanggar para pendaki.

“Intinya kami mengharapkan para pengelola Taman Nasional Gunung Maras benar-benar melindungi wilayah ini, khususnya wilayah adat kami. Juga, sebaiknya ditanam kembali pohonan asli wilayah ini seperti nyatoh, meranti, tabak atau gaharu tenggelam,” lanjutnya.

Saat ini, kata Umran, wilayah adat Suku Maras yang mulai rusak adalah wilayah Sunur hingga Sungai Semubur yang banyak ditanami sawit, sejak akhir 1990-an.

Terhadap para pendaki atau wisatawan ke Gunung Maras, mereka harus menghormati adat atau mematuhi pantang larang. Pastinya, tidak melakukan asusila.

 

Inilah trek pendakian Gunung Maras. Pendaki dilarang membuat api unggun saat berada di gunung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perda perlindungan masyarakat adat

Berbagai persoalan yang menimpa berbagai bangsa dan negara di dunia, kata Umran, dikarenakan hilang dan punahnya aturan adat di dunia, termasuk di Indonesia.

“Lihatlah saat ini. Dunia menangis, negara amburadul. Negara mana yang aman? Ya, karena adatnya sudah hancur. Masyarakat adatnya hilang. Padahal masyarakat adat itu terbukti ratusan tahun menjaga kedamaian dunia,” katanya.

Apakah Bangka membutuhkan peraturan daerah [perda] perlindungan masyarakat adat?

“Saya sangat berterimakasih, kalau negara ini, pemerintahan ini, bisa menjunjung adat, membuat peraturan adat. Yang melindungi adat. Adat itu bukan hanya untuk menyelamatkan Bangka, tetapi seluruh dunia. Saya memikirkan nasib anak cucu ke depan, bukan hanya memikirkan diri sendiri,” kata tokoh adat yang memilih hidup sendiri di rumahnya yang sederhana.

 

Empat generasi Suku Maras, yang merupakan pembauran antara berbagai Suku Melayu dengan Suku Jawa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rustam [55], ketua Kelompok Teluk Kelabat Lestari, sebuah kelompok masyarakat Desa Pangkal Niur yang peduli dengan Teluk Kelabat mengatakan, perda perlindungan masyarakat adat di Bangka Belitung merupakan upaya luar biasa untuk menyelamatkan hutan, sungai, dan laut.

“Alam di Bangka yang selama ini lestari, karena dijaga masyarakat adat. Jadi, adat harus dilestarikan lagi,” katanya.

Ratno [44], pengurus Hutan Adat Tukak di Desa Pangkal Niur menjelaskan, hadirnya perda sangat diharapkan. Perda yang lebih menjamin keberadaan hutan adat kami yang luasnya kisaran 250-an hektar.

“Jika hutan adat ini diambil pihak lain, maka kami kehilangan banyak sumber kehidupan, baik obat-obatan, pendapatan dari madu, air bersih di musim kemarau, maupun kebutuhan kayu.”

Menurut dia, masyarakat adat bukan hanya menyelamatkan hutan atau alam, juga menjaga adat-istiadat yang saat ini mulai luntur.

“Bukan kami menolak moderenisme, tapi bukankah budaya moderen yang masuk ke Indonesia saat ini membuat orang kehilangan etika, tamak, pudar rasa kemanusiaan, dan berperilaku bebas atau tidak bermoral,” katanya.

 

 

Exit mobile version