Mongabay.co.id

Para Seniman Kampanyekan Lingkungan Hidup Lewat Batik

 

 

 

 

“Melukis Alam Pada Kain Nusantara,” begitulah tajuk diskusi daring dari para seniman batik, akhir Juni lalu. Mereka berbagi cerita soal produksi kain batik, dan pengalaman kerajinan khas Indonesia itu sebagai media kampanye lingkungan hidup.

Terasmitra, kumpulan organisasi yang bergerak kampanye soal lingkungan hidup, selaku penyelenggara mendatangkan beberapa narasumber yang memiliki rumah produksi batik dari beberapa daerah. Ada Tatang Elmy Wibowo dari Leksa Ganesha Batik.

Tatang menceritakan, latar belakang dari aktivis lingkungan hidup terjun jadi perajin batik. Di setiap karya Tatang jadi alat kampanye menjaga alam dan lingkungan hidup.

“Saya berangkat dari NGO lingkungan, dengan latar belakang keluarga pecinta batik,” katanya.

Dia menampilkan, beberapa karya batik dan aksi mengkampanyekan lingkungan di dalam diskusi daring ini. Beberapa motif batik dia munculkan seperti corak berjudul “Cincin Api.”

Corak batik ini memperlihatkan gambar pegunungan di bawahnya ada rumah kuno. “Motif batik ini bercerita nenek moyang kita merancang rumah tempat tinggal zaman dulu tahan bencana alam seperti gempa bumi,” katanya.

Sekilas corak batik ini tidak hanya menggambarkan pegunungan dan rumah. Di beberapa bagian kain, terlihat flora fauna, seperti gajah Sumatera, komodo, harimau dan lain-lain.

Pewarnaan batik yang Tatang bikin juga murni dari pewarna alam. “dari kayu, daun dan lain-lain.”

 

Baca juga : Cerita Alam dan Krisis Lingkungan Lewat Batik Lukis Tatang Wibowo

Tatang Elmi Wibowo, pelukis batik pewarna alam. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dia juga menampilkan, batik corak “tambang dan orang hutan”. Sesuai nama coraknya, batik ini mencoba mempresentasikan ancaman besar perusahaan tambang terhadap ekosistem orangutan. “Kemudian ini ada namanya, batik bawah laut, batik ini menggambarkan keindahan bawah laut kita yang perlu dijaga.”

Desain batik yang dia rancang, tidak lepas dari isu yang sedang dibicarakan. “Maka saya membuat tidak sendiri, bersama kawan-kawan, juga ikut riset isu terbaru,” katanya.

Tak hanya mengkampanyekan lingkungan hidup melalui batik, Tatang juga menggelar pameran batik. Keuntungan yang mereka dapatkan, diberikan kepada masyarakat atau komunitas yang membutuhkan.

Tatang sebutkan, salah satu galang dana bagi perjuangan ekosistem pegunungan kendeng.

Ada juga komunitas pembatik lain, Yayuk Soekardan, pendiri Joglo Ayu Tenan Jewelry & Artfabric MakerSpace. Komunitas ini ada untuk tempat orang-orang bisa belajar dan berkolaborasi tentang kerajinan nusantara termasuk batik.

Salah satu program pokok Yayuk adalah membuat kerajinan kain. Dia menampilkan, beberapa motif batik bercorak daun atau ecoprint dalam diskusi itu.

Yayuk memberikan pemahaman kepada komunitasnya dengan cara menanam tumbuhan yang daunnya diambil tadi. “Betapa pentingnya tanaman, aplikasi daun dalam membuat banyak yang memetik, tetapi kami berkomitmen dan mengajak mereka menanam kembali.”

Penjualan produk kain batik bermotif seperti ini, juga Yayuk jadikan media memperkenalkan tumbuhan kepada konsumen.

Cerita produk dia jelaskan detail seperti jenis tanaman, bahasa latin, dan penjelasan lain. “Meskipun motif daun, tetapi desain batik ini tetap minimalis dan fashionable,” katanya sampil menampilkan video produk-produk batiknya.

Rudi Siswanto dari Batik Kidang Mas Lasem juga bercerita upaya meneruskan tradisi membatik dari keluarga besarnya. Batik Kidang Mas Lasem juga mengangkat budaya Indonesia beragam.

“Batik Kidang Mas Lasem adalah gabungan beberapa budaya yaitu China, Belanda dan Jawa,” katanya.

Meskipun mengangkat budaya, dia terus menyesuaikan corak batik yang cocok untuk anak-anak muda. “Ada batik kendoro kendiri, batik lawas, warna tua seperti karakter pesisir,” katanya.

 

Baca juga: Ayo, Kini Saatnya Berbatik Ramah Lingkungan…!

Siapkan aneka flora yang ingin dicetak pada kain atau kertas. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Limbah batik?

Selain berbicara soal motif batik yang mengangkat isu lingkungan hidup, diskusi ini juga membicarakan metode pengolahan limbah tinta batik yang rentan mencemari lingkungan hidup.

Tatang mengatakan, persoalan limbah batik jadi tantangan. Sampai saat ini, belum ada solusi. “Porsi pewarna batik milik saya kebanyakan alami yang semua organik, hanya 20% pewarna kimia,” ujar Tatang.

Meskipun limbah non organik pewarna batik sedikit, dia tetap mengelola agar tidak mencemari lingkungan hidup. “Saya menyediakan empat penyaring sebelum limbah sampai ke sumur resapan.”

Tatang berharap, pemerintah memfasilitasi tempat pembuangan limbah batik ini. Pasalnya, limbah batik tidak bisa dibuang di Intalasi Pengelolaan Air Limbah. “Kesulitan kita disitu.”

Begitu juga yang disampaikan Rudi, pemerintah berperan besar dalam persoalan limbah batik. “Kalau tempat kami, kita bikin bak kecil di rumah produksi, jadi kalau limbah masuk kesana,” katanya.

Kesulitan pembuatan IPAL batik adalah jarak tempat produksi yang berjauhan.

Yayuk mengatakan, rumah kreatifnya sudah mendapat sertifikasi cleanliness, health, safety & environment sustainability (CHSES). Salah satu yang menjadi penilaian adalah soal pengelolaan limbah.

“Karena kami menggunakan pewarna alam, jadi tidak ada limbah yang membahayakan,” ujar Yayuk.

 

Perajin batik tulis tengah proses membatik. Batik, tak hanya menjaga budaya, juga bisa jadi alat kampanye lingkungan hidup. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Proses membatik. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version