Mongabay.co.id

Perjuangan Tanpa Lelah Suku Maras Menjaga Wilayah Adatnya

 

 

Suku Maras adalah salah satu suku tertua di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Sejak 2016, sebagian besar wilayah hidup mereka masuk Taman Nasional Gunung Maras [16.806,91 hektar]. Tapi, sebelumnya hingga saat ini, Suku Maras terus berjuang melawan kegiatan ekonomi ekstraktif, baik di darat maupun di perairan.

Suku Maras di lanskap Gunung Maras [705 meter], hidup sebagai manusia “amfibi”. Mereka hidup di darat dan air. Wilayahnya seluas 7.737 hektar, yang secara administratif terbagi dua desa, yakni Desa Berbura [3.512 hektar] dan Desa Pangkal Niur [4.225 hektar]. Membentang dari Gunung Maras hingga ke Teluk Kelabat Dalam [32,9 ribu hektar]. Teluk Kelabat terbadi dua, yakni Teluk Kelabat Luar [16,6 hektar] dan Teluk Kelabat Dalam [16,3 ribu hektar].

Sejak akhir 1970-an, Suku Maras berhadapan dengan berbagai kegiatan ekonomi ekstraktif. Setelah bebas dari penebangan liar, tahun 2000-an, mereka berhadapan dengan ekspansi perkebunan sawit dan penambangan timah di Teluk Kelabat.

Masuknya perkebunan sawit di Pulau Bangka sejak akhir 1990-an, turut memengaruhi masyarakat Suku Maras. Sebagian setuju, sebagian besar menolak.

Baca: Suku Maras, Penjaga Sejati Lanskap Gunung Maras

 

Madu pelawan yang didapatkan masyarakat dari Hutan Adat Tukak. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pertengahan 2012, hadir perusahaan PT. Gemilang Cahaya Mentari [GCM]. Mereka akan membuka Hutan Desa Pangkal Niur di Bukit Tukak seluas 300-an hektar untuk perkebunan sawit.

Perusahaan ini mendapat penolakan dari masyarakat. Sebab, menurut sejarahnya, hutan desa tersebut merupakan hutan adat yang merupakan sumbangan lahan dari tiga kelompok masyarakat Kepayang Kelong, Canun dan Terap, yang telah disepakati Kepala Desa Pangkal Niur dengan tiga perwakilan kelompok masyarakat tersebut, pada 1980. Dalam kesepakatan itu, hutan dilarang untuk dijadikan kebun.

Kehadiran perusahaan membuat perpecahan di masyarakat Desa Pangkal Niur. Pemerintah desa dan masyarakat kemudian melakukan voting atau pemilihan suara yang melibatkan perwakilan 1.000 kepala keluarga. Sekitar 900 suara menolak, dan sisanya mendukung masuknya PT. GCM.

Akhirnya, Pemerintah Kabupaten Bangka mengeluarkan Surat Nomor 180/1297/-8/2013, tertanggal 1 Oktober 2013 yang berisi perintah penghentian perusahaan PT. GCM di Desa Pangkal Niur.

Demi menjaga keberadaan hutan tersebut, Pemerintah Desa Pangkal Niur dan tokoh masyarakat, pada 2016 kembali menetapkan kawasan hutan desa tersebut sebagai hutan adat. Namanya Hutan Adat Tukak.

Meskipun berhasil mengusir perusahaan perkebunan sawit, berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, terlihat ada kebun sawit dengan luasan terbatas, di antara kebun lada dan buah. Selanjutnya, penambangan timah liar yang dilakukan di sungai dan laut. Dampaknya, selain merusak kualitas air, juga merusak hutan mangrove yang ada.

Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Inilah pohon nyirih, yang terdapat di tengah hutan mangrove Sungai Semubur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Melawan timah

Sebagian besar wilayah adat Suku Maras di darat, tidak ada penambangan timah. “Semuanya sudah “diampak” leluhur kami,” kata Umran [73], tokoh adat Suku Maras, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [27/6/2021].

Diampak atau ampak merupakan kearifan masyarakat melayu [lokal] di Pulau Bangka dan Belitung untuk membebaskan tanahnya dari kandungan timah.

“Namun, di sepanjang sungai dan perairan Teluk Kelabat Dalam ternyata tidak diampak oleh leluhur kami. Makanya banyak sekali penambangan timah liar di sungai maupun perairan Teluk Kelabat,” kata Deby Nasrullah [24], generasi muda Suku Maras, yang juga Sekretaris FNPTKD [Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam]

Awalnya, penambangan timah ilegal berlangsung di sepanjang DAS [Daerah Aliran Sungai] Layang, Antan, Sungai Primping, yang bermuara ke Teluk Kelabat. “Selanjutnya berlanjut ke perairan Teluk Kelabat, Pulau Dante, termasuk di Teluk Kelabat Dalam, yang berlangsung hingga saat ini,” kata Debi.

Berdasarkan Perda No. 3 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, dinyatakan bahwa Teluk Kelabat Dalam tidak masuk dalam zona pertambangan.

Dampaknya, tentu saja terhadap hasil tangkap ikan di Teluk Kelabat, “Baik jumlahnya maupun kualitasnya, sebab perairan sudah tercemar penambangan timah tersebut,” jelas Debi.

 

Aktivitas tambang timah ilegal yang berada di sekitar Pulau Dante, Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Beranjak dari persoalan tersebut, sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai suku yang menetap pada sejumlah desa, di sekitar Teluk Kelabat Dalam, yakni Suku Maras, Suku Lom, Suku Sekak, Suku Jerieng, Suku Ketapik, Suku Kedalek, dan Suku Empeng, membentuk FNPTKD [Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam].

“Harapannya dengan forum ini, masyarakat dan nelayan di sekitar Teluk Kelabat Dalam dapat berjuang bersama. Memadukan suara untuk menolak segala bentuk pertambangan timah yang merusak lingkungan dan kelestarian Teluk Kelabat Dalam.”

Sebenarnya, para tokoh adat dan desa di sekitar Teluk Kelabat Dalam sudah menyampaikan penolakan kepada para penambang. “Namun hal tersebut tidak diindahkan oknum-oknum penambang yang bandel,” katanya.

Metode perjuangan yang kami lakukan, selain melaporkan ke pemerintah dan kepolisian, juga melakukan aksi penolakan di kantor pemerintah maupun di lokasi. “Sebenarnya pemerintah dan kepolisian sudah beberapa kali melakukan razia. Tapi setelah razia, mereka kembali datang.”

Saat ini, ada dua lokasi penambangan liar, yakni di perairan [mulut] Teluk Kelabat Dalam dan kawasan mangrove Pulau Kianak di Sungai Primping.

 

Mangrove ini mengalami kerusakan di wilayah Tanjung Sunur, Desa Pangkal Niur. Terlihat Bukit Maras dari pesisir ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Restorasi mangrove

Saat ini, sekitar ratusan hektar mangrove di kawasan Teluk Kelabat Dalam yang merupakan penyangga Taman Nasional Gunung Maras, mengalami kerusakan.

Pertama, karena tumpahan minyak [BBM] tahun 1970-an. Tumpahan itu mengumpul di kawasan mangrove sekitar Sungai Semubur atau di sekitar Dusun Tuik dan Dusun Pangkal Niur. Banyak mangrove mati.

“Mangrove sulit memperbaiki diri, sebab tumbuh langsung diserang teripit [Cirripedia],” kata Rustam [55], tokoh masyarakat Desa Pangkal Niur.

Teritip adalah hewan dari kelompok udang-udangan [crustasea], tapi sering dianggap sebagai kerang-kerangan [mollusca] karena memiliki cangkang yang keras.

 


 

Kedua, disebabkan tambang liar, seperti di Sungai Primping. Timah yang dicari berada di bawah lumpur di kawasan mangrove tersebut.

“Pohon seperti jenis perepat dan bakau, ada yang roboh dan ada yang sengaja ditebang,” kata Rustam yang juga Ketua Kelompok Teluk Kelabat Lestari, kelompok masyarakat yang terlibat dalam program restorasi mangrove yang dijalankan BRGM [Badan Restorasi Gambut Mangrove] di Kepulauan Bangka Belitung. Kelompok ini akan melakukan penanaman mangrove seluas 40 hektar, di sekitar muara Sungai Semubur.

“Kami ini bukan hanya berkebun juga mencari ikan di sungai dan laut [Teluk Kelabat]. Jadi, kami bukan hanya menjaga lahan dari kerusakan, juga menjaga laut dan mangrove agar terus lestari. Jika mangrove rusak, kami juga yang rugi. Kami senang nian adanya restorasi mangrove ini,” kata Rustam.

Di Desa Pangkal Niur terdapat tiga kelompok masyarakat yang melakukan penanaman mangrove di wilayah Teluk Kelabat Dalam, yakni Teluk Kelabat Lestari [40 hektar], Sunor Jaya [35 hektar], dan Sunor Lestari [40 hektar].

Sementara, kelompok masyarakat yang terlibat dalam restorasi mangrove di lanskap Gunung Maras seluas 365 hektar adalah Desa Pangkal Niur [3 kelompok seluas 115 hektar], Desa Riding Panjang [2 kelompok seluas 100 hektar], Desa Berbura [2 kelompok seluas 100 hektar], serta Desa Tuik dengan satu kelompok seluas 50 hektar.

 

Inilah area mangrove di Pulau Kianak yang berada di tengah Sungai Primping yang rusak akibat penambangan timah liar. Foto udara: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Rustam, yang harus ditanam terlebih dahulu adalah perepat, baru kemudian bakau, nyirih dan lainnya. “Kuncinya pada perepat. Sebab jika perepat tidak ditanam lebih dahulu, maka bibit lainnya akan mati dimakan teripit,” ujarnya.

Di sisi lain, kata Rustam, menanam mangrove itu berbeda dengan menanam pohon di darat. “Ini karena kondisi alamnya. Satu hari, kalau mau ideal dan sempurna, sekitar 50 bibit yang dapat ditanam. Kalau di darat, mungkin dapat ditanam sekitar seratusan pohon sehari.”

“Menanam dengan cara melempar mungkin bisa, tapi hasilnya tidak optimal. Sayang anggarannya, apalagi kondisi negara kita yang tengah sulit seperti sekarang ini,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version