Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor di Sulsel, Pemda Dinilai Abai pada Hasil Kajian

 

Hujan deras yang melanda sejumlah daerah di Sulawesi Selatan beberapa hari ini menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor di tiga kabupaten bagian selatan Sulsel, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng dan Sinjai.

Di Kabupaten Jeneponto, titik bencana berada di Kecamatan Tarowang, Binamu, Arungkeke dan Batang yang dipicu oleh hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah tersebut pada Rabu (7/7/2021) pukul 02.00 WITA. Tinggi muka air (TMA) banjir dilaporkan berkisar antara 50-200 centimeter.

“Dari bencana tersebut, satu warga di Kecamatan Tarowang dilaporkan meninggal dunia. Selain itu, banjir juga menyebabkan sebanyak 13 rumah rusak berat, 43 rumah rusak ringan dan lima kantor pemerintahan mulai pelayanan kesehatan, pendidikan serta UPTD Kecamatan Tarowang terendam,” ungkap Abdul Muhari, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam rilis BNPB, Kamis, 8 Juli 2021.

Di Kecamatan Binamu, sedikitnya 26 rumah di Kelurahan Balang Toa dan 15 rumah di Kelurahan Balang terendam banjir. Di Kecamatan Arungkeke, ada 10 rumah yang mengalami rusak berat akibat diterjang banjir dan 30 rumah dilaporkan rusak ringan. Di Kecamatan Batang, tiga unit rumah dilaporkan mengalami rusak berat dan delapan lainnya rusak ringan akibat terdampak banjir

baca : Banjir dan Longsor, Bukti Rusak Parahnya Lingkungan Sulsel

 

Banjir yang terjadi di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Foto: BNPB

 

Di Kabupaten Sinjai, sedikitnya ada empat kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan satu desa di Kecamatan Sinjai Utara yang terdampak banjir dan longsor, meliputi Kelurahan Biringere, Kelurahan Balangnipa, Kelurahan Bongki dan Kelurahan Lappa di Kecamatan Sinjau Utara, kemudian Desa Panaikang di Kecamatan Sinjau Utara. Dari banjir tersebut, sedikitnya ada delapan KK yang terpaksa harus mengungsi.

Di Kabupaten Bantaeng, terdapat empat kelurahan di Kecamatan Bantaeng, tiga kelurahan di Kecamatan Bissappu dan satu desa di Kecamatan Pajukukang terdampak banjir dengan tinggi muka air 50 sentimeter.

Dari wilayah yang terdampak tersebut, tercatat sekitar 1.000 rumah yang ditinggali oleh 1.000 KK atau 5000 jiwa terdampak banjir. Jumlah tersebut hingga kini masih dalam proses pendataan.

Berdasarkan prediksi akumulasi curah hujan tanggal 9-14 Juli 2021 dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sebagian wilayah di Sulawesi Selatan masih berpotensi hujan sedang hingga lebat. Selain itu, wilayah lain di Pulau Sulawesi seperti Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara juga diprediksi akan mengalami fenomena yang sama hingga lima hari ke depan.

“Melihat dari hasil monitoring prakiraan cuaca dari BMKG tersebut, pemangku kebijakan di daerah diharapkan dapat mengambil kebijakan yang dianggap perlu dalam rangka peningkatan kapasitas, kesiapsiagaan dan mempersiapkan mitigasi bencana. Masyarakat juga diimbau untuk waspada terhadap potensi bahaya hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor maupun angin kencang,” katanya

baca juga : Derita Warga Terkena Banjir dan Longsor di Masa Pandemi

 

Banjir yang menggenangi Kabupaten Sinjai, Sulsel, awal Juli 2021. Foto : Armansyah Dore

 

Menurut Muhari, kerjasama antar wilayah dapat membantu untuk meningkatkan kesiapsiagaan bersama, baik yang berada di wilayah hulu maupun hilir di suatu kawasan.

“Masyarakat juga dapat secara mandiri melakukan pengecekan potensi cuaca hingga tingkat kecamatan melalui aplikasi Info BMKG dan mengetahui tingkat risiko di daerah masing-masing melalui aplikasi InaRISK BNPB,” katanya.

 

Evakuasi Basarnas Sulsel

Terkait bencana banjir dan longsor ini, Basarnas Sulsel telah menerjunkan personelnya yang ada di Makassar dan Bantaeng untuk bergerak melakukan evakuasi ke tempat yang terdampak.

“Pagi tadi kami menerima informasi ada wilayah terdampak banjir di Bantaeng dan Jeneponto, karenanya Basarnas Sulsel langsung menerjunkan personel dari Makassar dan Pos SAR Bantaeng menuju ke lokasi terdampak,” ungkap Djunaidi, Kepala Kantor Basarnas Sulsel, Kamis, 8 Juli 2021.

Proses evakuasi yang dilakukan Basarnas Sulsel bersama Tim SAR Gabungan fokus di wilayah Torowang Kabupaten Jeneponto karena daerah ini yang ketinggian air cukup tinggi mencapai 2 meter. Tim SAR Gabungan berada di wilayah terdampak hingga sore menjelang maghrib, memantau ketinggian air menggenang yang berangsur surut.

“Alhamdulillah, air yang tadi menggenang berangsur-angsur surut dan tim kami yang memantau memastikan tidak ada lagi warga membutuhkan evakuasi sebelum bergerak kembali ke kantor,” kata Djunaidi.

Tim SAR Gabungan mengevakuasi sebanyak 19 orang di wilayah Jeneponto dan 8 orang di wilayah Bantaeng. Warga yang dievakuasi terdiri dari lansia, ibu-ibu dan anak-anak hingga balita.

perlu dibaca : Menilik Mitigasi dan Penanganan Pasca Banjir Masamba

 

Upaya evakuasi dampak banjir yang dilakukan Basarnas Sulsel prioritas pada lansia dan balita. Foto: Basarnas Sulsel/Mongabay-Indonesia.

 

Penyebab Banjir dan Longsor di Sinjai

Menanggapi bencana banjir dan longsor ini, terkhusus di Kabupaten Sinjai, Armansyah Dore, Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah Sinjai, menjelaskan bahwa secara topografi wilayah kota Sinjai diapit dua sungai besar, di wilayah utara yang berbatasan dengan Bone terdapat Sungai Tangka dan di wilayah selatan terdapat sungai Manggottog. Secara spesifik, penyuplai air yang melintasi drainase kota adalah aliran air dari arah Bukit Gojeng dan aliran air dari arah Tanassang.

Dua aliran air tersebut kemudian diarahkan pada tiga penampang drainase kota Sinjai, sepanjang jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Persatuan Raya, serta Jalan Wolter Mongisidi.

“Posisi aliran air, semestinya drainase Jenderal Sudirman lebih tinggi dibanding dua lainnya agar aliran air tidak terhambat hingga masuk ke Sungai Magootong sebagai aliran menuju ke Teluk Bone,” jelasnya.

Menurutnya, kondisinya saat ini penampang darainase ini tidak demikian, dimana penampang di Jenderal Sudirman lebih rendah sehingga penampang drainase tengah yakni Persatuan Raya justru berubah menjadi tanggul penahan air.

baca juga : Walhi Sulsel: Gunung Paleteang Pinrang Terancam Tambang Galian Batuan

 

Banjir yang menggenangi Kabupaten Sinjai, Sulsel, awal Juli 2021. Foto : Armansyah Dore

 

Faktor kedua adalah masih minimnya drainase terusan yang menghubungkan 3 penampang tersebut hingga masuk ke aliran sungai Maggottong sehingga ketika volume air meningkat, saluran air tidak lagi mampu menampung dan mengalirkannya.

“Hal ini semakin diperparah dengan pemberian izin pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan di wilayah perkotaan.”

Armansyah menilai solusi yang dirancang Pemda Sinjai dengan menyiapkan lahan 5 Ha untuk pembangunan embung tidak akan berdampak signifikan selama saluran drainase tidak direvitalisasi dan dilakukan terobosan-terobosan yang sesuai kondisi lapangan, mengingat posisi embung tersebut hanya akan menampung air dari aliran Tanassang, tetapi tidak menampung aliran dari Gojeng.

 

Abai pada Kajian

Armansyah juga mengkritik abainya Pemda terhadap hasil kajian yang telah dilakukan sejumlah pihak terkait penanganan banjir dan longsor di Kabupaten Sinjai.

Menurutnya, pasca banjir bandang yang melanda Sinjai pada tahun 2006 lalu sudah banyak hasil penelitian yang dapat dijadikan rujukan dalam penanganan bencana di Sinjai. Misalnya hasil riset SRP Payo-Payo, Perkumpulan Kaluhara dan paling mutakhir penelitian Muhlis Salfat, seorang akademisi dari Makassar.

“Sayangnya hasil tersebut belum menjadi pertimbangan serius bagi Pemkab dalam merumuskan kebijakan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemda malah melakukan studi banding ke Semarang untuk mengatasi banjir sedangkan secara kontekstual masalah yang berhasil ditangani Semarang tidak sama dengan masalah yang masih terjadi di Sinjai, hal itu terbukti dengan terjadinya banjir ini kembali,” katanya.

 

Pohon yang tumbang menutupi jalan akibat longsor di Kabupaten Sinjai, Sulsel, awal Juli 2021. Foto : Armansyah Dore

 

Armansyah juga menilai upaya penyelesaian banjir selama hanya sebatas kegiatan seremonial tidak menyentuh substansi kajian penanganan banjir yang sesungguhnya, upaya membangun embung sebagai penampungan air masih sebatas wacana.

“Pelibatan civil society yang bersentuhan langsung dengan penanganan bencana selama ini belum dilakukan dengan baik, sehingga upaya penanganan banjir yang direncanakan cenderung eksklusif, lamban dan berbasis program yang normatif bukan subtantif.”

 

 

Exit mobile version