Mongabay.co.id

Saatnya Perkuat Komitmen Budi daya dengan Aturan Baru Benih Lobster

 

Pemanfaatan bening benih Lobster (BBL) semakin terbuka dilakukan setelah Pemerintah Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah NKRI.

Peraturan tersebut melarang BBL untuk dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor. Namun sebaliknya, peraturan tersebut mengizinkan pemanfatan BBL untuk kegiatan budi daya perikanan di dalam negeri. Itu artinya, kegiatan penangkapan BBL di alam masih dibolehkan, dengan syarat di atas.

Akan tetapi, bagi Dosen Budi daya Perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) Irzal Effendi, pemanfaatan BBL sebenarnya sudah berjalan sangat baik saat regulasi lama diberlakukan.

Adapun, regulasi yang dimaksud adalah Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), Dan Rajungan (Portunus Spp.) Di Wilayah Negara Republik Indonesia dan diterbitkan saat Edhy Prabowo menjadi Menteri KP.

“Seharusnya tidak terburu-buru untuk menerbitkan Permen (KP) yang baru, karena (Permen) yang lama juga masih bisa diberlakukan,” ungkapnya saat dihubungi Mongabay Indonesia, pekan ini di Bogor, Jawa Barat.

baca : Begini Nasib Nelayan Lobster Lombok Setelah Ekspor Benih Lobster Ditutup

 

Benih lobster yang sudah muncul pigmennya seperti ini tidak laku untuk dijual ke perusahaan eksportir. Mereka menjual ke pembudidaya lokal atau melepas di keramba milik mereka. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Alasan kenapa Pemerintah seharusnya tidak menerbitkan regulasi baru, adalah karena Permen KP 12/2020 dinilai sudah berhasil menghidupkan perekonomian, terutama yang berkaitan dengan BBL. Selama diberlakukan regulasi lama, pergerakan wilayah terjadi sangat signifikan, dan itu berlaku juga untuk para pekerja dan pelaku usaha.

Menurut Irzal, yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah melakukan perbaikan tata kelola Lobster, dari mulai hulu hingga ke hilir. Dengan memperbaikinya, maka pemanfaatan BBL bisa tetap berjalan tanpa ada perubahan.

Akan tetapi, karena regulasi baru sudah diterbitkan dan diberlakukan, situasi di lapangan kembali menjadi abu-abu dan bahkan mencekam. Sementara, di saat yang sama tidak ada perbaikan tata kelola, yang seharusnya menjadi prioritas yang dilakukan.

“Sangat disayangkan. Tapi yang sudahlah, karena sudah keluar (Permen KP), maka yang paling penting adalah bagaimana menyukseskannya dan menjadikannya sebagai perangkat hukum untuk pengembangan budi daya Lobster,” jelas dia.

Dalam pandangan dia, jika regulasi yang baru ingin berhasil dalam penerapannya, maka harus ada kerja sama yang harmonis antara para pihak yang berkaitan. Termasuk, dengan sama-sama menyadari bahwa pemanfaatan yang sangat masuk akal untuk sekarang, adalah dengan melaksanakan budi daya.

Hanya saja, Irzal menyadari jika pemberlakuan Permen KP No.17/2021 hanya akan memperburuk situasi di lapangan saja. Penyebabnya, karena BBL diperbolehkan untuk ditangkap, namun pada kenyataannya itu tidak hanya untuk kebutuhan budi daya di dalam negeri saja.

Lebih dari itu, BBL yang ditangkap kemudian dikirim secara ilegal ke negara tujuan seperti Vietnam dan Singapura. Kedua negara tersebut, selama ini selalu menjadi tujuan untuk ekspor BBL dan jumlah yang dikirim juga terus meningkat dari waktu ke waktu.

baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat

 

Benih bening lobster (BBL) dari barang bukti penyelundupan yang digagalkan Kepolisian Resor Tanjung Jabung Timur, Jambi, Februari 2021 Foto : KKP

 

Jadi, tantangan yang harus dihadapi saat ini oleh Indonesia, bagaimana implementasi Permen KP No.17/2021 bisa berjalan baik dan bermanfaat. Termasuk, dengan mengembangkan budi daya Lobster melalui pemanfaatan BBL di alam.

“Sebenarnya, jika hasil tangkapan masih melimpah, maka budi daya adalah pilihan yang bersifat masih substitutif (pengganti/sekunder) saja. Namun, karena sekarang beda lagi, maka pemanfaatan ya semua (BBL) untuk budi daya saja,” tegas dia.

Bagi Irzal Effendi, dengan diberlakukannya Permen No.17/2021, maka ada tantangan yang harus bisa dilewati oleh para pihak, dan juga Pemerintah Indonesia. Tantangan tersebut, tidak lain adalah bagaimana mengembangkan teknologi untuk budi daya Lobster sejak dari benih hingga siap jual.

Meski berat, namun tantangan tersebut diyakini akan bisa dilewati, karena teknologi adalah sesuatu yang bisa dipelajari oleh para peneliti. Hanya saja, syaratnya Pemerintah mau dan bersungguh-sungguh untuk mengembangkan komoditas tersebut.

Di sisi lain, dia melihat kalau selama ini pengelolaan isu yang dilakukan oleh KKP masih belum maksimal. Padahal, jika isu Lobster sudah menjadi bagus dan memiliki citra yang baik, maka ketertarikan para pemilik modal untuk mau terlibat juga akan semakin besar.

Jika pengusaha sudah mau terjun, maka teknologi sesulit apapun akan bisa dikuasai dengan cepat. Imbasnya, maka ekonomi juga akan cepat bergerak dan bisa mendorong kesejahteraan para pihak yang terlibat di dalamnya.

Dengan kata lain, jika budi daya Lobster ingin sukses, maka KKP harus bisa bekerja dengan mengelola isu sangat baik, dan bekerja dalam senyap. Selain itu, juga harus senantiasa berkoordinasi dengan para pihak lain yang berkepentingan.

“Kalau dilihat, isu Lobster ini tidak dikelola secara profesional. Padahal, energi yang dikeluarkan untuk besar mengelola isu. Oleh itu, KKP jangan jalan sendiri, namun gandenglah pihak lain juga,” tegas dia.

Dia berharap, semoga saja dengan diterbitkannya Permen KP 17/2021, kondisi bisa menjadi lebih baik dan Pemerintah mau memperbaiki tata kelola Lobster dengan cepat. Sehingga, situasi di lapangan juga tidak menjadi abu-abu lagi, namun pasti menjadi hitam atau putih.

Jika harapan tersebut terwujud, maka keinginan Indonesia untuk menjadi produsen utama di dunia menyaingi Vietnam, akan bisa terjadi. Karenanya, yang harus dilakukan adalah para pihak bergandengan tangan dan melakukan tata kelola Lobster dengan cepat, serta melaksanakan regulasi yang sudah ada.

perlu dibaca : Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir

 

Nelayan Selong Belanak berangkat menangkap bibit lobster. Aktivitas ini dilakukan sejak 2013, bahkan ketika ada larangan ekspor nelayan tetap menangkap bibit lobster. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Penguasaan Teknologi

Tentang harapan ingin menyaingi Vietnam, itu bukanlah impian yang salah. Namun, Indonesia harus bisa menguasai kunci utama yang sejak lama sudah dikuasai oleh Vietnam. Hal tersebut diungkapkan Peneliti Biota Non Ikan (Invertebrata) dari Balai Bio Industri Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BBIL LIPI) Varian Fahmi.

Menurut dia, Indonesia diuntungkan karena memiliki sumber daya Lobster yang masih melimpah. Khusus untuk BBL, sumber daya tersebut juga diketahui masih tersedia di banyak wilayah perairan yang menjadi pusat habitat dari Lobster.

Fahmi menyebutkan, untuk pengembangan budi daya Lobster, saat ini semua pihak juga terus bergerak agar bisa mencapai kesuksesan yang diinginkan. LIPI sendiri bergerak, dengan melaksanakan penelitian secara kontinu dalam beberapa tahun terakhir.

Namun sayangnya, meski sudah melaksanakan penelitian sejak beberapa tahun terakhir, LIPI mengaku masih belum memiliki teknologi untuk melaksanakan budi daya Lobster. Ketiadaan teknologi tersebut membuat pengembangan budi daya Lobster menjadi terbatas.

Pada kegiatan budi daya Lobster sendiri, tahapan yang bisa dilaksanakan adalah dimulai dari pembenihan, pembesaran, hingga pemeliharaan indukan. Untuk tahapan yang pertama, itu adalah proses untuk mengawinkan jantan dan betina hingga bisa memelihara anakannya.

“Tahapan kedua, adalah pembesaran dengan melakukan pemeliharaan anak Lobster sampai ukuran yang siap untuk dikonsumsi. Dan terakhir, adalah tahapan pemeliharaan indukan,” terang dia.

Dari tiga tahapan tersebut, Indonesia baru mampu untuk melaksanakan budi daya di tahapan nomor dua, yaitu pembesaran. Sementara, untuk tahapan lain masih terkendala oleh teknologi yang belum dikuasai.

baca juga : Nelayan Pembudidaya Lobster: Diabaikan dan Berjuang dalam Sunyi [bagian 3]

 

Seorang nelayan budidaya lobster memantau keramba jaring apung miliknya. Penjualan lobster lesu ketika pandemi Covid-19 dan saat yang sama keran ekspor benih bening lobster dibuka. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sejauh ini, negara yang sudah memiliki teknologi di luar pembesaran Lobster, adalah Australia. Itu kenapa, negara tersebut sejak beberapa tahun terakhir sudah mampu melakukan budi daya sejak dari tahapan pembenihan.

Dengan kata lain, dia menerangkan bahwa Indonesia sebenarnya diuntungkan karena memiliki sumber daya yang melimpah dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan riset. Namun, jika hanya menggantungkan sumber daya tanpa melibatkan teknologi, itu juga tidak menjadi maksimal.

Jika pun berusaha mengejar ketertinggalan dari Vietnam yang sudah lebih dulu maju, Indonesia juga dinilai harus berjuang dengan sangat keras. Pasalnya, negara komunis tersebut kini sudah menguasai teknologi dan infrastukturnya dengan sangat baik.

“Bahkan, negara tersebut sudah bisa menyebarkan penguasaan teknologinya hingga ke pembudidaya ikan skala kecil, bukan industri. Ini akan sangat sulit dikejar oleh Indonesia,” jelas dia.

Tak hanya teknologi, Indonesia saat ini juga kalah dari Vietnam untuk tahapan pembesaran. Lagi-lagi, karena teknologi diklaim sudah dimiliki negara tersebut, membuat tahapan pembesaran menjadi lebih efisien dan menghasilkan kuantitas banyak, dengan kualitas yang terjaga.

Dalam tahapan pembesaran, ada infrastruktur bernama bak pemeliharaan, dan kemudian ada teknik pemurnian air yang akan digunakan kembali. Untuk proses yang terakhir, Vietnam sudah memiliki teknologinya, dan Indonesia belum.

Kemudian, persoalan lain kenapa Indonesia masih tertinggal dari Vietnam, adalah karena Indonesia belum bisa menerapkan efisiensi penggunaan pakan pada budi daya Lobster. Selama ini, Indonesia banyak mengandalkan pakan buatan impor, dan atau pakan alami seperti ikan.

“Jadi butuh waktu lama untuk melaksanakan pembesaran Lobster dari bening benih (Puerulus) hingga layak untuk dikonsumsi. Agar bisa mencapai ukuran minimal 200 gram, itu diperlukan waktu pemeliharaan setidaknya setahun,” papar dia.

Dengan segala keterbatasan yang ada sekarang, pengembangan budi daya Lobster di Indonesia akan melalui proses yang sangat panjang. Untuk itu, perlu komitmen kuat dengan dukungan regulasi yang tepat, agar pengembangan bisa tetap berjalan baik ke depannya.

Varian Fahmi menyebutkan, LIPI akan terus melakukan penelitian untuk bisa menemukan teknologi dan juga strategi yang tepat dalam memanfaatkan BBL sebagai bagian dari budi daya perikanan. Demikian juga dengan infrastruktur, LIPI akan terus meningkatkan agar bisa lebih baik lagi.

baca juga : Nelayan Lobster : Saatnya Budidaya (bagian 4)

 

Nursiwan menunjukkan lobster jenis mutiara yang dipelihara di keramba miliknya di dekat Gili Beleq, Jerowaru, Lombok Timur, NTB. Sejak berhasil membuat pakan campuran, pertumbuhan lobsternya sangat cepat. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Panduan Pemanfaatan

Pada Desember 2020, KKP mengumumkan bahwa pengaturan Lobster memasuki babak baru. Jika sebelumnya melalui Permen KP 12/2020, pemanfaatan BBL bisa dilakukan untuk kegiatan ekspor, maka pengaturan tersebut sudah tidak berlaku lagi pada Permen KP 17/2021 yang baru diterbitkan.

Menurut Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar, regulasi yang baru diberlakukan tersebut menegaskan bahwa pemanfaatan BBL tetap bisa dilakukan, hanya dilarang untuk ekspor. Untuk itu, penangkapan BBL di alam masih tetap diperbolehkan, namun dengan memperhatikan sejumlah catatan.

Di antaranya, adalah harus memperhatikan estimasi potensi sumber daya ikan (SDI), jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfataan SDI yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan dan/atau rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan).

“Penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus spp.) atau lobster yang belum berpigmen hanya dapat dilakukan untuk pembudidayaan di wilayah negara RI,” ungkap dia.

Kemudian, penangkapan didasarkan pada kuota dan lokasi penangkapan BBL yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan/rekomendasi dari Kajiskan.

Selanjutnya, penangkapan hanya dapat dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan BBL dan telah ditetapkan. Nelayan Kecil yang belum terdaftar dalam Lembaga Online Single Submission (OSS) dapat melakukan penangkapan sepanjang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

perlu dibaca : Pengembangan Lobster Tak Lagi Fokus pada Benih

 

Nelayan menunjukkan lobster hasil tangkapannya. Di Lamongan, lobster bukan termasuk tangkapan utama oleh nelayan setempat. Seringkali lobster tersangkut jaring ketika nelayan menangkap ikan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, pengambilan BBL dari alam juga wajib menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang bersifat pasif dan ramah lingkungan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zaini Hanafi.

Lalu, nelayan juga wajib melaporkan hasil tangkapannya ke pemerintah daerah ataupun dinas setempat, agar bisa terpantau secara baik. Hasil laporan tersebut kemudian diteruskan ke Pemerintah Pusat melalui KKP.

Sementara, Plt Dirjen Perikanan Budi daya KP Tb Haeru Rahayu menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun peraturan turunan agar lebih detail lagi dan praktis. Selain itu, saat ini juga tengah disusun Pedoman Umum Budidaya Lobster, Kepiting dan Rajungan.

 

Exit mobile version