Mongabay.co.id

Catatan Seorang Jurnalis: Emmy Hafild dan Metamorfosis Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia

Dari kacamata seorang pekerja pena, Emmy Hafild adalah sosok names make news. Pernyataannya berani, tegas dan tanpa tedeng aling-aling sehingga menjadi layak kutip, bahkan seringkali menjadi judul berita.

Karena gayanya yang berani, tidak heran jika Emmy adalah mantan direktur WALHI yang paling dikenal. Coba kunjungi mesin pencari Google, ketik keyword “Walhi, Emmy Hafild”. Ada 52.700 hasil (berita media online atau informasi online). Data itu saya cek pada 4 Juli 2021 pukul 17.30 WIB

Emmy Hafild wafat di Sabtu malam, 3 Juli 2021, karena penyakit kanker paru-paru yang diidapnya sejak tiga tahun lalu. Meskipun jasadnya telah menyatu dengan bumi, kenangannya tetap berjejak.

Pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP 13) di Bali tahun 2007, saya wawancarai Emmy, saat itu dia Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara. Emmy hadir dengan kapal Rainbow Warrior.

Saat itu dia mengkritik pimpinan delegasi Indonesia yang memfasilitasi broker karbon. Presiden COP-13 waktu itu Menteri LH Rachmat Witoelar, penasehatnya Profesor Emil Salim dan ketua panitia pelaksana adalah Agus Purnomo. Tulisan saya di majalah Tempo, saya beri judul “Gerilya Broker di Konferensi Bali.”

baca : Bela Lingkungan Hidup Sejak Muda, Selamat Jalan Emmy Hafild…

 

Emmy Hafild. Foto : akun facebook Emmy Hafild

 

Dari Deli Serdang hingga Lawalata

Emmy Hafild yang bernama lengkap Nurul Almy Hafild dibesarkan di area perkebunan. Ayahnya adalah pegawai perkebunan di Petumbukan, Sumatera Utara sekaligus pendukung Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada saat dia SMP, Emmy menyaksikan ayahnya ditangkap aparat keamanan dan ditahan selama enam bulan dengan tuduhan korupsi.

Dia percaya penangkapan itu berbau politis, karena ayahnya tidak bersedia masuk ke Golkar yang saat itu menjadi salah satu mesin utama rezim Orde Baru. Emmy kecil pun menyaksikan ketidakadilan dalam bentuk diskriminasi.

Kolam renang di komplek perkebunan hanya untuk anak staf perkebunan, sementara anak buruh tidak boleh berenang. Lalu, bioskop juga hanya untuk staf dan pegawai kantor perkebunan, sedangkan buruh dan keluarganya hanya bisa nonton layar tancap.

Saat SMA, ia dan keluarganya pindah ke Jakarta. Emmy lalu kuliah di Institut Pertanian Bogor jurusan Agronomi pada tahun 1978. Saat itu mahasiswa di berbagai perguruan tinggi unjuk rasa menentang Orde Baru.

Di kampus, Emmy aktif di sejumlah organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. Di dalam kampus, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam IPB, Lawalata. Sementara di luar kampus, dia menjadi anggota Yayasan Indonesia Hijau — sebuah lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan.

Saat itu kampus bergejolak. Aktivis mahasiswa UI, ITB, Universitas Padjajaran dan IPB ditangkap militer. Termasuk Soeryo Adiwibowo, mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB dan salah seorang pendiri kelompok pecinta alam Lawalata IPB. Saat itu mahasiswa IPB melakukan aksi mogok belajar.

Saya wawancarai Dr Soeryo Adiwibowo, pada Senin, 5 Juli 2021. Soeryo, sekarang dosen di Fakultas Ekologi Manusia, IPB University. Soeryo bilang mahasiswa yang menjadi anggota Lawalata tidak harus fisiknya kuat, bahkan yang disabilitas juga diterima.

Lawalata tidak mengikuti model Mapala UI atau Wanadri Bandung yang terkenal dengan aktivitas mahasiswa untuk mendaki gunung di dalam dan luar negeri. Sebaliknya memupuk kesadaran lingkungan.

“Badan saya kecil dan tidak kuat secara fisik, namun diterima di Lawalata,” kata Emmy waktu perayaan HUT ke 40 tahun Lawalata pada tahun 2015.

Pada masa pembinaan menjadi anggota Lawalata, Emmy dan sahabat dekatnya, Hanni Adiati dan Ratih Purbasari, banyak menyedot perhatian. Setiap selesai kuliah, ketiganya memungut bungkus permen dan aneka sampah di dalam kelas. Oleh teman-temannya, mereka dijuluki sebagai petugas dinas kebersihan.

Lulus dari IPB, pada 1982, Emmy terjun total di Yayasan Indonesia Hijau. “Saya sangat suka terlibat di Indonesia Hijau, karena dapat menyalurkan salah satu kesukaan saya: bekerja di lapangan,” sebut Emmy, seperti tertulis dalam Apa dan Siapa Tempo.

Setelah dua tahun berkiprah di sana, dia bergabung dengan Skephi (Sekretariat Kerjasama Kelestarian Hutan Indonesia) hingga 1988. Setelah itu, Emmy berlabuh di WALHI menangani program isu-isu khusus.

Tidak berapa lama, Emmy lantas menerima beasiswa Fulbright untuk belajar Master of Science dalam Studi Lingkungan di University of Wisconsin dan lulus tahun 1994. Usai berguru di luar negeri, dia kembali ke WALHI dan menjadi Direktur Eksekutif WALHI periode 1996-1999 dan 1999-2001.

baca juga : Saatnya Cari Wakil Rakyat dan Pemimpin Berkomitmen Lingkungan

 

Emmy Hafild saat menikmati suasana pantai pada Oktober 2014. Foto : akun facebook Emmy Hafild

 

Kerja-Kerja Politik WALHI

Saat Emmy gabung WALHI di tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mengkampanyekan reformasi lingkungan hidup yang berfokus pada hal-hal makro, yang meliputi kebijakan dan kelembagaan lingkungan.

Kampanye WALHI pun mulai keras menyoroti dampak pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua. Pada Desember 1989, WALHI menggugat enam pejabat negara yang mengizinkan pembangunan pabrik pulp dan rayon, PT Inti Indorayon Utama di Porsea, Sumatera Utara.

Kasus ini adalah kali pertama NGO melakukan legal standing. Ini catatan pembaharuan hukum acara di Indonesia, karena sebelumnya Indonesia menganut “asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum.”

Pada saat menjadi koordinator program khusus, Emmy menangani dua kasus penting yaitu Freeport dan Proyek Lahan Gambut sejuta hektar. Saat itu, proyek Freeport sangat misterius, tidak ada yang tahu bagaimana beroperasinya dan apa dampak dibuangnya tailing ke sungai.

Ketika Freeport meminta izin untuk menaikkan produksinya dari 64.000 ton/hari menjadi 240.000 ton atau dari Gunung Ertsberg yang sudah habis ke Gunung Grassberg, perusahaan ini mesti mengurus proses Amdal.

WALHI dapat 4 dokumen Amdal yang tebal. “Kami harus baca. Itu saya bawa tidur, jadi bantal dibaca berminggu-minggu,” kata Emmy. Persoalannya WALHI belum pernah datang ke lokasi Freeport.

Lewat lobi tingkat tinggi, Emmy bersama koleganya Suraya Afif, Dea Sudarman dan Desi Harahap akhirnya mendapat kesempatan. Mereka diterbangkan dengan pesawat charter Freeport ke Timika, lalu jalan darat ke Tembagapura. Emmy mengatakan bahwa mereka harus menjalankan diplomasi yang ramah, meskipun di dalam hati berontak.

Mereka mengunjungi semua open pit, tempat pengolahan, naik lift gantung terbesar di dunia dan naik helikopter untuk melihat langsung Gunung Carstenz yang terkenal.

Seusai kunjungan, mereka memfokuskan advokasi pada dua hal, yaitu aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM). Hasil dari kampanyenya, sebagian besar tuntutan WALHI dipenuhi Freeport dalam Rencana Kelola-nya.

Hanya satu tuntutan yang belum dipenuhi Freeport yaitu pemrosesan limbah atau tailing. Perusahaan itu tetap membuangnya ke sungai. “Tetapi WALHI yang membuka data-data Freeport ke dunia,” ujarnya.

Media ternama internasional seperti Asian Wallstreet Journal, NY Times, Time Magazine, dan lainnya memberitakan hasil investigasi dan kampanye WALHI soal Freeport. Majalah Time lalu menganugerahkan Emmy sebagai salah satu tokoh Hero of The Planet 1999.

“Bagi saya, penghargaan itu merupakan kemenangan gerakan lingkungan hidup, bukan buat saya pribadi,” katanya.

baca juga : Menaruh Keberlanjutan di Meja Perundingan dengan Freeport

 

Emmy Hafild terpilih sebagai salah satu tokoh Hero of The Planet 1999 oleh Majalah Time

 

Saat menjadi Direktur Eksekutif WALHI, Emmy terus mengkritisi korporasi. Salah satunya PT Kelian Equatorial Mining (KEM) di Kalimantan Timur, milik Grup Rio Tinto.

Beberapa kali Emmy bertemu dengan Presiden Direktur PT KEM dalam negosiasi penutupan tambang. Perjuangan WALHI berhasil. Kata Emmy, masyarakat setempat mendapat kompensasi cukup besar, nilainya Rp60 miliar.

Emmy membawa WALHI semakin nyaring mempermasalahkan persoalan lingkungan. Menurutnya, WALHI harus bersentuhan dengan masalah-masalah struktural dan politik. Sebutnya, persoalan lingkungan di Indonesia adalah persoalan politik.

“Semua kerusakan lingkungan terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik,” ujar Emmy seperti tertulis dalam website walhi.or.id/sejarah.

Karena percaya gerakan lingkungan tak akan lepas dari persoalan struktural, Emmy terlibat dalam pembentukan gabungan LSM antikorupsi dan aksi-aksi melawan kekuasaan Orde Baru.

Setelah selesai di WALHI, Emmy menjabat Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, Direktur Program Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, dan Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.

Soeryo Adiwibowo menilai Emmy memiliki peran signifikan bagi gerakan lingkungan hidup dan demokratisasi di Indonesia. Emmy bergabung ke WALHI saat organisasi ini gencar melakukan advokasi lingkungan.

“Pada saat kekuasaan Presiden Soeharto masih kuat, Emmy berani ambil posisi menantang. Emmy selalu hadir dalam momen penting Indonesia menuju negeri yang demokratis.”

Sebut Soeryo, Emmy berkontribusi dalam metamorfosis gerakan lingkungan. Awalnya gerakan lingkungan fokus pada peningkatan kesadaran publik, lalu menjadi gerakan yang lebih advokatif.

Sebut Soeryo, gaya advokasi Emmy itu menjadi warisan penting bagi Lawalata, WALHI serta organisasi lingkungan lainnya. Banyak junior yang diajak Emmy, yang kini menjadi tokoh.

Sebut saja Abdon Nababan, Ambrosius Ruwindrijarto Mia Siscawati, Tri Nugroho, Arimbi Heroeputri, Hening Parlan, Farah Sofa, Deddy Yevri Sitorus, Julia Kalmirah, Raja Siregar, Abetnego Tarigan, Reza Damanik, Andreas Iswinarto dan lainnya.

 

Emmy Hafild saat menjadi Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara. Foto : Greenpeace

 

Menjadi Politisi Partai Nasdem

Pada Pemilihan Pesiden 2014, Emmy mendukung pasangan Jokowi-JK. Tiga tahun kemudian, saat usianya 59 tahun, dia bergabung dengan Partai Nasionalis Demokrat (NasDem).

Meski banyak parpol yang melamarnya. Dia mengklaim, NasDem adalah partai yang serius dalam menjaga NKRI, memiliki visi berjangka panjang, dan konsisten mengangkat isu restorasi.

Dia menjadi calon anggota DPR dari daerah pemilihan Flores, Lembata, Alor, Nusa Tenggara Timur pada Pemilihan Legislatif 2019. Namun gagal lolos ke Senayan. Pada kepengurusan Partai Nasdem periode 2019-2024, Emmy menjabat sebagai ketua Departemen Maritim.

Apa yang menyebabkan Emmy masuk ke dalam partai?

Emmy bilang dia galau melihat kondisi politik dan lingkungan di Tanah Air. Perjuangannya bersama WALHI sudah dikenal publik, namun apa artinya jika tidak bisa memperbaiki sistem.

Dalam suasana hati seperti itu dia teringat nasehat wartawan senior Aristides Katoppo pada lima belas tahun lalu. Aristides, mantan Pemred Sinar Harapan, menyarankannya terjun ke dunia politik agar bisa leluasa berjuang dan menyuarakan kepentingan masyarakat.

“Jadi dorongan utama saya masuk dalam sistem adalah upaya untuk melakukan sesuatu yang bersifat makro dan berdampak masif,” ujar Emmy lagi.

Saat itu, Emmy sadar usianya tidak lagi muda. Namun dia kukuh. “Aging is privilege. You are never too old to set another goal or to dream another dreams.” Dia mengutip CS Lewis.

Apakah Emmy berhasil mewujudkan keinginannya di Partai Nasdem? Soeryo Adiwibowo   menjelaskan bahwa Emmy akhirnya menyaksikan sendiri kekuatan oligarki yang membajak politik dan demokrasi di Tanah Air.

“Dia akhirnya realistis, tetap di Nasdem namun tidak terlalu aktif seperti pada awalnya. Mungkin dia merasa hanya sebagai tempelan saja.”

Menurut Soeryo, demokrasi di Indonesia masih prosedural, bukan substantif. Ada kelembagaan demokrasi seperti partai, pemilu, pers dan kelompok masyarakat sipil. Akan tetapi, proses pengambilan keputusan dikendalikan oleh oligarki.

“Walhasil sosok idealis, kritis dan pendobrak seperti Emmy Hafild sulit masuk ke sistem tersebut,”

Meski demikian, Emmy tidak lantas berdiam diri melihat situasi sosial yang dirasakan mengganjal perasaannya. Dia membela Gubernur DKI Jakarta Basuki Purnama atau Ahok yang dituduh menista agama.

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, dia pendukung utama pasangan Basuki Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat. Termasuk memberi dukungan bagi kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta yang direstui pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini.

 

Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, memberikan penjelasan tentang wilayah yang dijadikan penebangan berskala industri saat jumpa pers di Jakarta, Rabu, 12 April 2006. Foto : TEMPO/ Fransiskus S.

 

Emmy pun menjadi penasehat Menteri LHK Siti Nurbaya, yang juga sesama politisi dari Partai Nasdem. Dia membela dengan gigih kebijakan KLHK, termasuk ketika memutuskan kerja sama dengan WWF, dan saat KLHK dikecam Greenpeace dan lembaga swadaya masyarakat lainnya.

Terakhir Emmy juga jadi penasihat senior untuk Komisaris Utama PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE). Perusahaan ini pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru, Sumatera Utara.

Proyek ini kontroversial, karena terkait dengan lokasinya yang berada di hutan habitat orangutan. Tak urung WALHI, tempatnya dulu berjuang, pun dia kritik. Emmy menuduh WALHI hanya ikut-ikutan lembaga lainnya.

“WALHI adalah pemimpin. Dalam advokasi nasional dan internasional untuk isu-isu lingkungan hidup Indonesia yang ditanganinya, WALHI adalah leader bukan follower,” kata Emmy dalam surat terbuka yang ditulisnya pada 23 September 2019.

Emmy memang tokoh sarat kritik dan vokal. Tak hanya lawan, kawan pun tak luput dia kritik. Namun bagaimana pun kiprah Emmy akan tetap dikenang sebagai salah satu tokoh perempuan gerakan lingkungan di Indonesia.

 

***

 

* Untung Widyanto, penulis adalah wartawan lingkungan dan anggota Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

 

Exit mobile version