Mongabay.co.id

Kima dan Potensi Laut Bangka yang Harus Dijaga

 

Kepulauan Bangka Belitung yang menghubungkan Laut Natuna, Laut Jawa, serta diapit Selat Bangka dan Selat Karimata, sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Sebagai gambaran, dari 8,17 juta hektar luasannya, sekitar 6,5 juta hektar atau 79,9 persen adalah perairan.

Perairan ini menjadi penting bagi megabentos, seperti kima sisik [Tridacna squamosa] dan kima kecil [Tridacna maxima] yang hidupnya di terumbu karang.

Megabentos merupakan organisme berukuran lebih dari satu sentimeter, yang hidup di permukaan dasar laut atau di dalam dasar laut. Meliputi biota menempel, merayap, dan meliang. Perannya, sebagai sumber bahan makanan bagi organisme lain.

Megabentos dikelompokkan menjadi dua, yaitu filter feeder [mengambil makanan dengan menyaring air] dan deposit feeder [mengambil makanan dalam dasar laut].

Berdasarkan panduan pemantauan megabentos COREMAP-CTI LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia] tahun 2017, megabentos terdiri dari beberapa organisme seperti teripang, kima, lobster, lola, bintang laut berduri, siput drupella, bulu babi, dan bintang laut biru.

Baca: Beginilah Nasib Kima Di Takabonerate

 

Kima sisik [Tridacna squamosa] yang menempel di atas terumbu karang di perairan Pulau Ketugar, Bangka Tengah, Bangka Belitung. Foto: Arham Hafidh Akbar

 

Jenis megabentos yang banyak ditemukan di perairan Bangka Belitung adalah kima [kima sisik dan kima kecil] dan lola. Sebelumnya, dua jenis kima tersebut merupakan hewan yang dilindungi, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999.

Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan No.106 Tahun 2018, kini hanya Hippopus hippopus [kima tapak kuda atau kima pasir] dan Hippopus porcellanus [kima cina] yang dilindungi.

Khusus di Pulau Bangka, kima banyak ditemukan di seluruh wilayah perairannya. Sebut saja, di Pesisir Tuing, Pantai Turun Aban Sungailiat, Pulau Semujur, Pulau Ketawai, Pulau Ketugar, Perairan Perlang, serta Teluk Limau Jebus, jenis kima yang ditemukan umumnya kima sisik, kima kecil, dan kima lubang [Tridacna corcea].

Baca: Jejak Kima, Kerang Raksasa Dilindungi dalam Kontroversi Tayangan Trans7

 

Kima lubang [Tridacna corcea] yang ditemukan di Perairan Desa Perlang, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah. Foto: Arham Hafidh Akbar

 

Potensi kima

Kima sejauh ini masih dikonsumsi. Selain daging serta otot adduktor yang dimakan, cangkangnya biasanya dijadikan hiasan atau suvenir.

Kima juga diperdagangkan dalam kondisi hidup sebagai biota hias, karena memiliki warna mantel yang cantik dan menyala. Warna mantel menarik ini dihasilkan dari hubungan zooxanthella [alga yang menghasilkan makanan melalui fotosintesis] dengan kima yang tentunya saling menguntungkan [simbiosis mutualisme].

 

Cangkang kima yang telah diambil dagingnya. Foto: Arham Hafidh Akbar

 

Berdasarkan hasil pengambilan data yang kami lakukan bersama komunitas Pinguin Diving Club di perairan Desa Perlang, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, pada 2019-2020 lalu, di 5 titik ekosistem terumbu karang, ditemukan sebanyak sembilan spesies megabentos.

Antara lain Diadema setosum, Diadema antillarium [bulu babi], Drupella cornus, Drupella rugosa [keong pemakan karang], Trochus niloticus [lola merah], Trochus conus, Tectus pyramis [keong lola], Tridacna squamosa [kima sisik], dan Tridacna maxima [kima kecil]. Di sini juga, ditemukan cangkang kima cina yang sudah kosong. Namun yang masih hidup belum ditemukan.

Selama dua tahun riset tersebut, populasi kima sisik dan kima kecil tampak berkurang. Padahal, perairan di Desa Perlang, kondisi terumbu karangnya sangat baik dibandingkan tempat lain di Pulau Bangka.

 

Tumpukkan cangkang kima sisik dan kecil yang sudah diambil dagingnya. Foto: Arham Hafidh Akbar

 

Terumbu karang terancam

Hubungan kima dengan terumbu karang sangat erat. Perburuan terhadap kima yang tidak lestari, selain mengancam populasinya, juga berpotensi merusak terumbu karang.

Terumbu karang di Perairan Desa Perlang, yang luasnya sekitar 100 hektar, nyatanya juga terancam. Banyak kapal nelayan, dari luar daerah juga, yang melepaskan jangkarnya di ekosistem terumbu karang, membuat terumbu karang rusak atau patah. Pelepasan jangkar umumnya dilakukan saat gelombang air laut tinggi.

Nelayan umumnya mencari ikan yang hidup di terumbu karang, dengan cara mancing dan memasang bubu. Seperti kakap, kerapu, ketarap, atau jebung. Sementara, kima diambil jika mereka melihat atau menemukannya di antara terumbu karang.

 

Limbah jaring yang tersangkut di terumbu karang di Perairan Tuing, Kabupaten Bangka. Foto: Arham Hafidh Akbar

 

Meski kima sisik dan kima kecil tidak lagi dilindungi, atau boleh dimanfaatkan secara terbatas, akan tetapi upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, pegiat lingkungan, maupun masyarakat harus ada.

Sebab pengambilan kima sisik dan kima kecil yang tidak lestari dapat mengancam keberadaan terumbu karang, habitatnya megabentos dan biota laut lainn. Selain itu, hilangnya kima pada ekosistem terumbu karang dapat menyebabkan perairan menjadi kotor, dipenuhi endapan lumpur. Jika terumbu karang banyak endapan lumpur, maka terancam rusak, seperti diserang alga.

Sebagai informasi, luasan terumbu karang hidup di Kepulauan Bangka Belitung sekitar 12.474,54 hektar [analisis citra satelit 2017]. Sekitar 50 persen berada di Pulau Bangka.

Khusus di Pulau Bangka, secara umum kondisi terumbu karang dalam kategori sedang [25 – 49,49 persen] hingga kategori baik [50 – 74,9 persen], jika mengacu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2001 Tentang Baku Mutu Kerusakan Terumbu Karang. Baku mutu dihitung berdasarkan kriteria terumbu karang yang hidup.

Dapat dikatakan, sangat sedikit kondisi tutupan terumbu karang dengan kategori sangat baik [75 – 100 persen] di perairan Bangka. Salah satu terumbu karang yang baik itu, yang berada di Desa Perlang.

 

Karang jenis acropora di perairan Desa Perlang, Bangka Tengah. Foto: Arham Hafidh Akbar

 

Apa yang harus dilakukan?

Berdasarkan Rencana Aksi Konservasi [RAK] Kima di Indonesia, ada tiga aspek utama konservasi yang dilakukan, yaitu upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Pemanfaatan berkelanjutan tentunya harus memperhatikan tiga aspek, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi.

Sementara, pendekatan sosial kepada masyarakat pesisir dengan memberi pemahaman untuk menjaga dan melestarikan ekosistem pesisir harus bijak dilakukan.

Hal paling penting, guna menjaga kelestarian terumbu karang di perairan Bangka, maka pemanfaatan kima atau jenis megabentos lainnya harus dilakukan secara berkelanjutan. Misalnya, diberlakukan sistem kuota atau waktu terbatas pengambilannya.

Hal ini dapat pantau, jika kima hanya dijual di pasar tradisional pada waktu [bulan] dalam satu tahun, serta konsumen dibatasi volume pembeliannya.

Selain itu, penggunaan jangkar kapal diganti dengan tiang penambat tali kapal. Tiang-tiang itu ditancapkan di area pasir, yang tidak ada terumbu karangnya. Serta, penggunaan jaring di wilayah terumbu karang diperhatikan kembali.

 

* Arham Hafidh Akbar, Alumni Program Studi Manajemen Sumber Daya Perikanan Universitas Bangka Belitung. Aktif di Yayasan Serumpun Karang Konservasi, Pangkalpinang, Bangka. Tulisan ini opini penulis.

 

Referensi :

Akbar, AH. Adibrata, S. Adi, W. 2019. Sosiasi Megabentos dengan Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Desa Perlang Bangka Tengah, Bangka Belitung. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan 13 [2], 173-177, 2019.

COREMAP CTI. 2017. Panduan Pemantauan Megabentos. Jakarta: Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan. ISBN 978-602-6504-12-8.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2001 Tentang Baku Mutu Kerusakan Terumbu Karang.

Rencana Aksi Nasional [RAN]. 2015. Konservasi Kima. Periode 1: 2016-2020. Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut.

 

 

Exit mobile version