Mongabay.co.id

Siput Gonggong yang Semakin Sulit Dicari di Teluk Kelabat

 

 

Siput gonggong [Strombus turturella] adalah ikon makanan terkenal dari Kepulauan Bangka Belitung. Siput yang dikeringkan [digoreng], di pasaran harganya mencapai Rp600-700 ribu per kilogram. Namun, sejalan dengan berubahnya kondisi perairan laut, populasinya terus berkurang.

Masyarakat Bangka Belitung selama ratusan tahun sudah mengonsumsi siput yang bentuknya pipih panjang, memiliki ulir meningkat di sepanjang cangkang dan lekukan, dengan cara direbus lalu dioleskan sambal terasi, asam pedas, asam manis, atau sambal kecap. Selain itu, dapat pula dimakan setelah dikeringkan kemudian digoreng dengan taburan garam. Wisatawan yang berkunjung ke Bangka Belitung umumnya membeli siput gonggong yang sudah digoreng.

“Lima tahun terakhir, siput gonggong sulit didapatkan di Teluk Kelabat. Dulu, teluk ini sentranya untuk Pulau Bangka,” kata Kasmini [40], nelayan dari Desa Tuik, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, pertengahan Juni 2021.

Baca: Merusak Teluk Kelabat Sama Saja Menghancurkan Potensi Laut Bangka

 

Mulyono menujukkan siput gongong yang diperolehnya di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain Teluk Kelabat, siput gonggong juga didapatkan di perairan Tanjung Rusa [Pulau Belitung], Pulau Lepar Pongok [Bangka Selatan], Pulau Ketawai [Kabupaten Bangka Tengah], dan Pulau Anak Air [Kabupaten Bangka Selatan].

Satu ekor siput gonggong dijual Rp500 per butir. “Kalau sudah kering, digoreng, kami menjualnya minimal Rp200 ribu per kilogram,” kata Kasmini.

Pencarian dilakukan dari Februari hingga Juni. “Puncaknya Maret lalu. Kami mencari sehari sekitar 6-7 jam, tergantung kondisi fisik dan cuaca,” jelasnya.

Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Sisa cangkang siput gonggong yang tergeletak di sekitar pantai Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia, salah satu jenis moluska gastropoda yang mendiami wilayah pasang surut dengan substrat pasir berlumpur dan terdapat lamun, selain ditemukan di Kepulauan Bangka Belitung, juga di Kepulauan Riau, seperti Pulau Batam, Pulau Setoko dan pulau-pulau lainnya.

“Tahun 2000-an awal, banyak sekali permintaan para pengepul siput gonggong di Belinyu. Katanya, dijual ke Riau. Nah, sekarang, siput gonggong di sini sangat sulit,” kata Haryono [49], Ketua Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam.

Tingginya nilai jual membuat warga atau nelayan memburu dengan niat mendapatkan dalam jumlah banyak. “Mereka kemudian menggunakan cakar kawat yang ditarik dengan mesin. Tapi sejak tiga tahun terakhir tidak ada lagi. Sebab, seluruh masyarakat di sekitar Teluk Kelabat melarangnya,” kata Haryono.

Baca: Menanti Penertiban Tambang Timah Ilegal di Teluk Kelabat

 

Penelitian dilakukan di ekosistem padang lamun yang merupakaan habitat siput gonggong. Foto: Okto Supratman

 

Berdasarkan penelitian Safar Dody dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI pada 2011, dengan judul “Pola Sebaran, Kondisi Habitat dan Pemanfaatan Siput Gonggong [Strombus turturella] di Kepulauan Bangka Belitung”, dituliskan maraknya penambangan timah rakyat sejak 1984 di perairan Teluk Klabat [Teluk Kelabat], telah menyebabkan berubahnya komposisi substrat pada sejumlah areal tersebut. Timbunan lumpur yang dapat membenamkan siput gonggong mendominasi perairan itu. Kondisi yang sangat memengaruhi kehidupan biota, termasuk siput gonggong.

“Substrat pasir dengan kandungan lumpur dalam jumlah tertentu merupakan habitat ideal kehidupan siput gonggong. Namun, bila komposisi substrat didominasi lumpur akan membahayakan siput itu sendiri,” tulisnya.

Intinya, kegiatan penambangan timah berpotensi menurunkan populasi biota perairan, bahkan dapat menuju kepunahan jenis-jenis tertentu, termasuk kematian siput gonggong. Juga, meningkatkan kekeruhan yang menghalangi sinar matahari untuk proses fotosintesa.

 

Siput gonggong yang terkenal dari Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Okto Supratman

 

Dari segi sebaran populasi, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rika Fifiyanti, Okto Supratman, dan Eva Utami, dari Universitas Bangka Belitung pada 2020, dengan judul “Kepadatan Strombus turturella dengan Faktor Lingkungan Perairan Teluk Kelabat Kepulauan Bangka Belitung”, dituliskan terjadi penurunan populasi siput gonggong, dari awalnya 50.000 individu per hektar [penelitian Safar Dody 2011], menjadi `9.460 individu per hektar.

“Rendahnya kepadatan pada penelitian ini, dapat dipengaruhi pola penangkapan yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti trawl, sehingga mengakibatkan penurunan drastis populasi,” ungkap riset tersebut.

 

Terumbu karang yang tertutup lumpur dari aktivitas penambangan timah di perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Areal perlindungan siput gonggong

Habitat siput gonggong di Teluk Kelabat, tulis Safar Dody, tersebar mulai dari Teluk Kelabat Luar hingga bagian tengah. Habitat potensialnya sepanjang pantai sisi barat teluk bagian luar. Hal ini disebabkan beberapa hal, seperti pola arus yang berkembang menyebabkan terakumulasinya nutrien dan tersebarnya larva di areal tersebut, serta banyaknya gosong pasir yang membentuk daerah-daerah terlindung bagi siput gonggong. Selain itu, lokasinya jauh dari permukiman masyarakat.

Terkait terancamnya populasi, Dody menyarankan perlunya penetapan suatu areal perlindungan [suaka] biota laut di Teluk Kelabat. “Pemulihan populasi siput gonggong sebaiknya didukung kegiatan budidaya, sekaligus penebaran induk dan bibit di areal suaka yang dilakukan dan dijaga masyarakat setempat.”

 

Sejumlah warga mencari siput gonggong di sekitar perairan Teluk Kelabat Dalam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Setuju, bila ada areal khusus. Beberapa tahun lalu, ribuan bibit kepiting rajungan dilepas oleh DKP [Dinas Kelautan Perikanan] Bangka Belitung karena kondisinya di Teluk Kelabat sangat sedikit. Sekarang, populasinya membaik,” Lanjut Haryono.

Dia mengatakan, tapi sebelum ada wilayah perlindungan, ada baiknya pemerintah terkait segera menghentikan aktivitas penambangan timah ilegal di Teluk Kelabat. Sebab, nilai siput gonggong itu lebih tinggi dibandingkan timah.

“Caranya sederhana, buat kantor pemantauan di lokasi penambangan tersebut. Isinya bukan hanya polisi, juga anggota tentara. Setahun kantor itu berdiri, saya pikir Teluk Kelabat akan bebas tambang timah liar,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version