Mongabay.co.id

Apakah Mangrove si Penyerap Karbon Bisa Tergantikan Teknologi?

 

Sejumlah daerah kini mengalami bencana alam yang dipicu makin berkurangnya tutupan mangrove.   Peneliti muda makin tertarik mempelajari dan mencari solusi degradasi mangrove karena potensi penyerapan karbonnya dinilai lima kali lipat dibanding pohon di daratan.

Menyambut peringatan Hari Mangrove Sedunia tiap 26 Juli ini, Mongabay Indonesia juga menghelat diskusi daring dalam program Bincang Alam dipandu Akita Verselita, mengundang Trialaksita S.P. Ardhani, research fellow The Sustainable Wetlands Adaptation and Mitigation Program (SWAMP) dari Center for International Forestry Research (CIFOR).

Sita, panggilan peneliti perempuan muda ini memaparkan hasil penelitiannya di Demak, Jawa Tengah, salah satu daerah yang mengalami degradasi pesisir akibat rusaknya mangrove dalam Bincang Alam bertajuk ‘Mangrove untuk Alam dan Manusia’ pada Jumat (23/07/2021) ini.

Mangrove kini makin populer dengan sebutan blue carbon karena bisa menyimpan karbon jauh lebih besar dibanding hutan tropis. Selain itu banyak jasa ekosistem mangrove bagi alam dan manusia.

Penelitian Sita tersebar di Demak, Banten, Papua, tentang karbon dan sedimentasi. Untuk menilai kemampuan mangrove dalam perubahan iklim terutama kenaikan permukaan laut.

Mangrove dan iklim saling mempengaruhi, tapi iklim berubah berdampak pada kebidupan mangrove. Sita memaparkan iklim berubah karena sejak 1960 suhu rata-rata dunia meningkat mulai 0,25 derajat celcius sampai 2017 jadi hampir 1 derajat. Akibat dari makin padatnya aktivitas manusia yang menambah emisi karbon di atmosfer, dan menyumbang peningkatan suhu rata-rata dunia.

Salah satunya penggunaan batu bara skala industri yang marak setelah penemuan mesin uap. Apa akibatnya bila iklim berubah? “Proses perubahan mencapai ambang batas. Dulu bertahap, pada masanya kan berubah tiba-tiba dan tak diharapkan,” kata Sita.

Banyaknya penelitian dampak perubahan iklim sudah dipresentasikan misal pada pertanian, metamorfosis dan kehidupan kupu-kupu, pada industri pariwisata, dan lainnya.

baca : Upaya Memulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis

 

Trialaksita S.P. Ardhani (bawah) research fellow SWAMP CIFOR dalam acara Bincang Alam Mongabay Indonesia yang dipandug Akita Verselita. Foto : screenshoot acara Bincang Alam

 

Mangrove menurutnya penting sebagai salah satu solusi dampak perubahan iklim karena 23% mangrove dunia ada di Indonesia. Salah satunya, studi kasus di Demak, bencana berulang terjadi. Banjir rob akibat penurunan muka tanah karena pengambilan air tanah dan kerusakan mangrove yang menjaga pesisirnya. Penurunan tanah di Semarang diprediksi 6-7 cm per tahun, dan di beberapa lokasi dua kali lipat lebih tinggi.

Konversi atau alih fungsi lahan mangrove menurut Sita terjadi besar-besaran. Perubahan garis pantai Demak sekitar 41 m persegi per tahun. “Dulu budidaya di tambak, kini harus berubah pekerjaan seperti buruh,” lanjut Sita. Dari catatannya, sekitar 3000 hektar area Demak tenggelam, lebih dari 1 juta orang kehilangan pekerjaan lama.

Potensi karbon tinggi ini diibaratkan jaga satu pohon mangrove sama dengan 5 pohon daratan. Namun ada dinamika karbon. Karbon dari atmosfer lalu masuk ekosistem magrove. Cadangannya dalam bentuk biomassa dalam hutan mangrove. Aktivitas konversi lahan atau mengubah area penangkapan karbon ini menyumbang pelepasan emisi karbon kembali ke atmosfer.

Tambak yang tak bisa digunakan karena sudah terbengkalai masih memiliki fungsi menangkap karbon walau kondisi hidrologis terganggu atau produktivitas ikan menurun. Menurut Sita masih bisa menyimpan karbon, masih bisa akumulasi sedimen yang menyimpan karbon dan ekosistemnya.

Jika tambak masih produktif, nilai karbonnya terlihat tinggi padahal dari hasil sedimentasi pakan udang atau ikan, jadi angkanya menurut Sita bisa menipu. Karena itu, tambak produktif bisa dikelola lebih baik dengan ramah lingkungan untuk pencegahan merilis karbon ke atmosfer yang menyumbang gas rumah kaca.

Dari sisi adaptasi perubahan iklim, perubahan elevasi permukaan air laut sekitar 2,8 mm/tahun dari penghitungan di lokasi atau in-situ dan 3,2 mm/tahun menurut data satelit. Ada juga peneliti yang mengumpulkan 48 studi yang sudah dipublikasikan, kalau mangrove alami bisa mencegah kenaikannya.

baca juga : Bangun Jalan Tol di Pesisir Utara Jateng, Mangrove Direlokasi, Mungkinkah? 

 

Sampah plastik yang terdapat di kawasan mangrove di Demak, Jawa Tengah. Foto : Celine van Bijsterveldt

 

Memilih jenis mangrove

Melestarikan mangrove tak hanya perkara menanam, tapi menyesuaikan jenis yang ditanam dengan kondisi alamnya. Ada banyak jenis mangrove, misal Rhizophora sp. bentuk perakarannya seperti mencengkeram. Sedangkan Avicennia sp akarnya lebih rapat, jika ada sedimen akan menjebak lebih banyak. Bak kantong yang besar menyimpan karbon dari atmosfer.

“Aksi kita sangat berarti. Perilaku terhadap mangrove, lebih merawat. Misal terus menerus menanam sangat sulit, tapi juga merawat. Aksi menentukan kondisi, agar terhindar dari kejadian ekstrem kekeringan, banjir, badai, rob,” ajak Sita.

Iklim adalah pengingat terbaik, mengingatkan manusia berubah untuk memperbaiki diri dan lingkungan. Jika tidak berubah maka menurut Sita akan lahir lagi peradaban yang runtuh. Dampak perubahan iklim, tak mampu merespon dan beradaptasi. “Mengajak panik bersama, rumah kita terbakar. Mari mengubah perilaku,” imbuhnya.

Aksi yang bisa dilakukan ada dua, langsung dan tidak langsung. Misalnya jika dekat pesisir langsung melihat kondisi area mangrove, menanam dan merawat. Aksi tidak langsung, misalnya jika musisi membuat lagu yang mendekatkan isu mangrove dan mengurangi limbah untuk mengurangi emisi dari kegiatan sehari-hari seperti pengurangan sampah.

Akita juga bercerita saat ke Pekalongan mendengar curhat warga tentang seringnya banjir rob, limbah batik, permukaan air tanah makin turun.

Peserta diskusi merespon dengan pertanyaan sederhana tapi penting. Mangrove di Jakarta apakah bisa menolong terhindar dari rob? Sita menjawab, jika mangrove masih kecil, baru bibit, maka masih rentan dan fungsinya belum optimal. Harus dijaga agar bisa tumbuh besar. Saat menanam mangrove harus tahu areal yang sesuai. Jika tanam saat musim hujan, sulit tumbuh dengan baik.

baca juga : Restorasi Gambut dan Mangrove Butuh Rekulturisasi?

 

Wisatawan lokal yang mengunjungi hutan bakau Mageloo, Ndete, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Indah Kurnia di Solo bertanya kenapa bisa tumbuh di air asin, dan apakah ada tanaman lain yang jadi pilihan untuk memperkuat pesisir dan menyimpan karbon? Mangrove dinilai mengurangi intrusi air laut dan tahan hidup di area ekstrim. Misalnya ada spesies yang sekresi, mengeluarkan kelenjar membuat Avicennia bisa lebih tahan. Ada morfologi yang mendukung mangrove tahan pada stres akibat kondisi buruk di pesisir dan mengurangi kadar salinitas di air asin. Halnya kepiting, buat lubang untuk mengurangi salinitas air.

Muhammad Nandi bertanya kalau terlalu banyak kepiting apakah tidak merugikan mangrove? Dari pemantauannya, Sita menyebut kepiting suka buah mangrove. Buah yang jatuh akan menumbuhkan bibit baru jika kondisinya mendukung, dan memiliki survival rate lebih tinggi. “Kalau terlalu banyak kepiting akan mengganggu regenerasi mangrove, semua buah yang potensial jadi bibit akan hilang,” jawabnya. Namun di sisi lain kepiting bantu menggemburkan tanah dan mengontrol ekosistem mangrove. Kuncinya adalah keseimbangan.

Herman, salah satu peserta diskusi menyampaikan informasi jika mangrove sekitar Teluk Kelabat, Bangka Belitung rusak berat karena tambang ilegal. Sita yang pernah melewati Babel juga mengaku kaget karena dari kejauhan kelihatan bagus, air biru tapi ternyata dari lokasi lubang tambang timah yang tak digunakan.

Ada juga yang penasaran, apakah mangrove bisa ditanam di pegunungan agar makin bisa ditanam makin banyak. Ada jenis mangrove asosiasi, misal ketapang termasuk mangrove tapi kemampuan dan fungsinya berbeda dair jenis mangrove di area intertidal atau pasang surut air laut. Jadi memiliki perbedaan dalam menangkap karbon.

Sarjan menambahkan, jika rehabilitasi mangrove tapi gagal bagaimana solusinya? Banyak hal perlu dipertimbangkan saat menentukan area penanaman, misal faktor oseanografi. Jika arus besar, bibit sulit tumbuh. Jenis mangrove ditentukan cocok di substrat apa, dan pasang surutnya. Menurut Sita akan buang waktu dan biaya jika memaksakan spesies yang tak cocok dengan areal tanam dan cuacanya.

Melihat perannya, apakah ada teknologi yang bisa mengganti fungsi mangrove dalam perubahan iklim? Sita meyakini tak bisa digantikan, karena sudah terbukti mampu menyerap karbon. Tapi untuk konteks mitigasi perubahan iklim tak hanya berpaku pada mangrove juga kegiatan sehari-hari untuk mengurangi emisi.

perlu dibaca : Rehabilitasi Mangrove Hadapi Berbagai Tantangan

 

Nelayan dari Suku Bajo di pesisir Teluk Tomini, tepatnya di kampung Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanfaatkan mangrove untuk mencari ikan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Areal kritis

Menurut data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dari 3,3 juta hektar hutan mangrove di Indonesia, luasan yang kondisinya sudah masuk kritis mencapai 637 ribu ha atau mencakup 19 persen dari luas keseluruhan ekosistem mangrove.

Untuk menghentikan kerusakan, program rehabilitasi mangrove kini sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Tahun ini, KKP melaksanakan rehabilitas di atas lahan seluas 2.791,17 ha.

PEN dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang berasal dari 2021 dan ABPN tambahan 2021. Mengingat masuk PEN, program rehabilitasi akan bermanfaat untuk membantu ekonomi masyarakat yang terlibat sebagai tenaga kerja.

Indonesia masih terus berjuang memulihkan ekosistem hutan bakau (mangrove) yang kondisinya saat ini sedang kritis dan menyebar di seluruh provinsi. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan, mangrove yang kondisinya kritis saat ini ada yang berada di dalam kawasan hutan dengan luas mencapai 460 ribu ha atau mencakup 72,18 persen dari total ekosistem mangrove yang kritis.

Selain itu, ada juga ekosistem mangrove yang sudah kritis namun lokasinya ada di luar kawasan hutan dengan luas mencapai 177 ribu ha. Luasan tersebut mencakup 27,82 persen dari total luas lahan kritis ekosistem mangrove yang saat ini ada.

Salah satu peristiwa degradasi yang nyata terlihat adalah di kawasan taman hutan rakyat mangrove Tahura Ngurah Rai, Bali. Pelindo mereklamasi laut dan berdampak pada kematian puluhan hektar mangrove yang sudah tumbuh besar menjadi benteng Bali selatan.

Mangrove juga dihormati dalam konteks tradisi dan relijius keagamaan karena fungsinya itu. Sebuah pura dibangun di tengah hutan mangrove Tahura puluhan tahun lalu. Pura Prapat Nunggal namanya. Dari namanya bisa diartikan sebuah kawasan hutan mangrove Prapat yang menyatu. Namun, kini makin tercabik kerapatannya, membuat daratan Selatan Bali makin rapuh dari risiko bencana.

“Ini pura khayangan jagat, melindungi alam sekala dan niskala,” ujar Jero Mangku Pura Prapat Nunggal. Perempuan pengampu pura ini sukarela menjaga dan membantu persembahyangan sekitar 25 tahun. Pura ini simbol rasa syukur pada hutan mangrove yang memberi limpahan oksigen, pangan, dan melindungi pesisirnya dari risiko bencana air rob, gelombang, dan lainnya.

 

Mangrove mati dengan lumpur mengering dan terlihat pecah-pecah di Teluk Benoa, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version