Mongabay.co.id

Indonesia Capai ‘Net Sink’ Sektor Hutan dan Lahan pada 2030?

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, Indonesia bisa mencapai penyerapan bersih karbon (net sink) sektor hutan dan lahan (forest and other land use/FoLU) pada 2030. Sisi lain, masih banyak beragam pekerjaan rumah agar ambisi ini terwujud.

Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, ini bisa tercapai lantaran pemerintah sudah mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap penurunan emisi sektor kehutanan. Setidaknya, ada empat langkah penting yang berhasil KLHK identifikasi.

Pertama, pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi hutan (REDD+) yang selalu jadi pokok perhatian di sektor kehutanan. “REDD+ ini sudah kita jalankan sejak 2014 di lapangan,” katanya dalam temu media daring soal Indonesia’s Forest and Other Land Use (FoLU) Net Sink by 2030, pekan lalu.

.Dia menyebut, salah satu keberhasilan implementasi REDD+ terlohat pada 2016-2017. Saat itu, terjadi penurunan emisi sekitar 11 juta ton CO2 ekuivalen.

Kedua, menjalankan sustainable forest management. Setidaknya, ada tiga langkah mencapai ini, yaitu, menerapkan pengurangi dampak pembalakan di HPH supaya penebangan tak mengakibatkan emisi, mendorong generasi natural hingga penerapan sistem silvikultur intensif.

Ketiga, rehabilitasi lahan. Rehabilitasi lahan, dengan sistem rotasi termasuk bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan ataupun daerah aliran sungai.

Keempat, pengelolaan lahan gambut yang dinilai berkontribusi paling besar dalam penurunan emisi. Untuk mencapai ini, katanya, perlu pemulihan vegetasi, pengayaan tanaman di gambut terdegradasi dan pengelolaan tata air.

“Ini paling penting dalam mencegah emisi di gambut, baik dalam dan luar izin.”

 

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

 

Tekan deforestasi

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi ambisi pemerintah ini. Namun, katanya, niatan ini harus dengan perhitungan matang.

Dia bilang, ada ‘jalan terjal’ untuk mencapai ini lantaran pemerintah harus bisa memastikan tak ada deforestasi lebih dari 2 juta hektar sampai 2030.

Berdasarkan dokumen long-term strategy on low carbon and climate resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) dijabarkan, kalau Indonesia memiliki kuota tujuh juta hektar deforestasi.

Berdasarkan hitungan, periode 2010-2030, kuota deforestasi per tahun sekitar 200.000 hektar. Pada 2031-2050, deforestasi hanya boleh sekitar 100.000 hektar per tahun.

Dari data aktual, deforestasi 2010-2020 cukup signifikan.. “Hingga kalau kita hitung jatahnya itu 2 juta hektar hingga 2030.”

Untuk itu, perlu upaya serius memastikan kuota deforestasi tidak lebih dari 2 juta hektar. Dengan begitu, Indonesia bisa mencapai net sink sektor FoLU. “Harus ada implementasi kebijakan serius supaya bisa sampai di kuota itu,” kata Nadia.

Madani., katanya, pernah memberikan masukan pada pemerintah, seperti mendorong moratorium pemberian izin di hutan sekunder.

Berdasarkan perhitungan Madani, setidaknya ada potensi 9,4 juta hektar kawasan hutan sekunder bisa masuk dalam peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). “Itu area yang clean and clear, ya. Jadi, kalau itu bisa masuk, bisa bantu tambah pengurangan deforestasi.”

Luasan hutan yang tak bisa tereksploitasi harus diperluas karena ada potensi muncul kebijakan-kebijakan baru yang kontradiktif dengan komitmen iklim Indonesia ini.

“Ada program pemulihan ekonomi nasional, proyek strategis nasional dan food estate yang semuanya bisa memicu deforestasi. Sangat kontradiktif,” kata Nadia.

Alue Dohong menyebut, salah satu proyek strategis nasional, Ibu Kota Negara Baru (IKN), tak akan berpengaruh besar dalam perhitungan emisi dan deforestasi. Pasalnya, inti IKN merupakan kawasan yang sudah mendapatkan perizinan hutan tanaman industri.

“Jadi, bukan hutan primer. Bisa kita pakai karena bukan hutan primer, tapi kawasan HTI yang kita konversi menjadi kawasan inti IKN,” katanya.

Dia juga menyebut, pembangunan HTI sebagai strategi pengurangan emisi. Secara alami, katanya, HTI akan menyebabkan sekuestrasi karbon.

“Artinya, kita remove CO2 di atmosfer lewat proses fotosintesis. Menanam HTI itu proses penyimpanan karbon.”

Pendapat Alue diamini Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa. Saat dihubungi terpisah, Mahawan mengatakan, penyerapan karbon karena HTI jauh lebih besar ketimbang semak belukar.

Biomassa HTI disebut Mahawan lebih besar dari semak belukar yang dibiarkan tumbuh.

HTI juga berperan penting dalam penyerapan karbon sepanjang masa tumbuh yang memakan waktu 8-10 tahun. Saat panen, karbon lepas pun tidak besar karena penebangan hanya sepersepuluh dari jumlah yang ditanam dalam satu siklus.

“Tetap ada penyimpanan karbon sekalipun saat panen.”

Menurut Alue, pemerintah tengah menyiapkan pedoman net sink terkait penanaman pohon. Penghitungan faktor emisi pada setiap pohon berbeda-beda.

“Misal, kita tanam pohon ramin atau pohon sukun, itu kapasitas formulasi tingkat sekuestrasi karbon berbeda-beda. Kami sedang siapkan panduan penghitungannya.”

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

Keterlibatan masyarakat?

Mahawan meminta, tak melupakan keterlibatan masyarakat dalam upaya mencapai net sink di sektor FoLU pada 2030. Banyak contoh, masyarakat justru mampu berperan dalam mempertahankan kondisi hutan dan manfaat nilai kayu dan non kayu.

“Seperti di Jawa, hutan rakyat itu sangat berperan dalam mencapai itu,” katanya.

Meskipun demikian, ada persoalan lain yang perlu jadi perhatian. Salah satu, kapasitas masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat dan perbaikan kawasan hutan tertinggal karena sebagian besar lahan dulu dikuasai konglomerat.

Ada juga tantangan mendorong transisi sistem sosial di masyarakat. “Seperti di Papua, tadinya masyarakat berburu, lalu kita dorong social forestry. Itu perlu kita perhatikan dan fasilitasi,” katanya.

Jadi, kunci mencapai ini ada di dalam pendampingan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas, kemampuan berorganisasi dan modal.

“Kalau ini bisa dipastikan, keterlibatan masyarakat ini bisa mendorong target penurunan emisi. Apalagi, dengan industri di sektor kehutanan ini sedang turun saat ini.”

 

*****

Foto utama: Hutan Laman Kinipan, yang sudah botak karena masuk izin konsesi sawit. Benarkah bisa  net sink dari sektor hutan dan lahan, kalau hutan-hutan masyarakat termasuk hutan masyarakat adat yang menjaga hutan malah ditebangi karena izin sudah keluar? Foto: Save Our Borneo

Exit mobile version