Mongabay.co.id

Hati-hati dengan Transisi Energi Bersih

 

Sejumlah aktivis dan peneliti mengajak skeptis dengan wacana transisi energi bersih. Energi bersih juga perlu ditelusuri dampak lingkungannya, dan pembangkit energi dari batubara masih dominan sampai 2050.

Hal ini dibahas dalam webinar Bali Bersih dan Lestari tanpa Batubara oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, 25 Juli 2021 lalu dalam program anak muda dan batubara.

Muhamad Hida Lazuardi, peneliti the Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengingatkan kenapa batubara bermasalah. Dimulai dari proses ekstraksi yang melanggar aturan, banyak bekas lubang bekas penggalian batu bara tidak ditutup sehingga banyak makan korban seperti anak-anak.

Batubara juga sumber energi dengan faktor emisi CO2 terburuk dibanding energi lain. “Kalau pakai motor listrik harus dipastikan menggunakan energi selain dari batubara,” ingatnya.

Material ini melepas berbagai zat pencemaran udara, beracun dan berbahaya bagi lingkungan. Bisa menyebabkan hujan asap dan terlepas dalam partikulat sangat kecil sehingga jika terhirup sangat berbahaya. Aneka cemaran logam berat juga mudah terserap di air dan tanah.

Penyusunan UU Energi Baru Terbarukan (EBT) menurutnya bermasalah karena definisi energi baru masih memasukkan turunan batubara. Lazuardi yang akrab dipanggil Elang mengatakan ini upaya greenwashing batubara, memasukkan batubara diubah menjadi gas atau cairan dengan klaim pembakaran lebih bersih.

baca : Setop Bangun Pembangkit Batubara, Saatnya Ramah Bumi dengan Energi Terbarukan

 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

Dikutip dari berkas naskah akademik UU EBT di laman DPR RI ini, pemerintah merujuk Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim pada tahun 2015 di Paris, Perancis bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030.

Hasil COP 21 yang dikenal dengan Paris Agreement dan kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), menegaskan pentingnya pencapaian target ambang batas peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius dan berupaya menekan batas kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius di atas suhu bumi pada masa praindustri.

Berdasarkan uraian di atas dan besarnya potensi sumber energi alternatif khususnya dari sumber terbarukan, memaksa pemerintah untuk memprioritaskan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Tujuannya tentu untuk mencapai kedaulatan, ketahanan, dan kemandirian energi nasional.

Data resmi pemerintah menunjukkan bahwa potensi sumber energi terbarukan Indonesia mencapai 441,7 GW tetapi baru 9,07 GW atau 2% yang dimanfaatkan. Untuk mencapai upaya ini, pemerintah telah menetapkan visi pengoptimalan penggunaan EBT.

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) misalnya, pemerintah telah menetapkan peran EBT paling sedikit mencapai 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Secara tidak langsung, kebijakan penerapan peran EBT ini sebenarnya juga telah diperkuat secara politis dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Sumber energi baru diartikan sebagai sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tidak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal). Sementara itu, sumber energi terbarukan diartikan sebagai sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

baca juga : Menyoal Transisi Energi Sektor Transportasi

 

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Elang menyebut gasifikasi dan likuifaksi batubara ditemukan dalam kebijakan energi nasional dan kebijakan di sektor perindustrian. Gasifikasi batubara membuka peluang mengubah batubara menjadi produk petrokimia.

Dalam berkas naskah akademis UU EBT ini juga disebutkan penjelasannya. Gas metana batu bara (coal bed methane) adalah gas alam yang dihasilkan dari coal beds yang terbentuk dari proses coalification dan transformasi dari berbagai material tumbuhan/tanaman menjadi batu

bara. Gas metana batu bara banyak terdapat di AS, Canada, dan Australia termasuk di Indonesia yang sebagian besar terdapat di wilayah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan.

Terkait batubara tercairkan (liquified coal) berdasarkan pendapat dari NEDO (lembaga pengkajian teknologi Jepang), terdapat dua metode untuk mengkonversi batubara menjadi bahan bakar cair yakni direct liquefaction, batubara dilarutkan pada temperatur dan tekanan tinggi. Kedua, indirect liquefaction, batubara digasifikasi untuk membentuk syngas (campuran hidrogen dan karbon monoksida).

Elang mengajak anak muda juga terlibat dalam pengawasan dokumen penyusunan perencanaan energi seperti memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui rapat dengar pendapat, maupun sosialisasi. Untuk menuju batubara yang bersih banyak tahapan yang diperlukan. Bagaimana mengelola limbah berbahaya atau B3 pada lingkungan. “Energi batubara itu murah untuk produsen tapi mahal bagi masyarakat,” sebutnya.

Indira Suryani, tim hukum judicial review UU Mineral dan Batubara (Minerba) dari LBH Padang menjelaskan kenapa aktivitas pertambangan kerap ditolak masyarakat karena saat mendapat izin, tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Ada yang digusur untuk mengubah alam dan perusahaan tidak melakukan pemulihan lingkungan. Para perusahaan tambang juga ada yang tidak membayar pajak, tidak setor jaminan reklamasi pasca tambang, dan tidak melakukan reklamasi pasca tambang.

Dalam Pasal 162, warga bisa dikriminalisasi karena setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Jalan Terjal Transisi ke Energi Terbarukan

 

Lokasi eksplorasi geothermal Wae Sano, Kecamatan Sano Ngoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto dunia-energi.com

 

Sejak ada dalam UU No.4/2009, sudah digunakan untuk mengkriminalisasi warga penolak tambang (contoh di Sulawesi Tenggara, Banyuwangi, dan Bangka. Rumusan pidananya, menurut Indira tidak jelas dan dapat digunakan untuk siapa pun, karena tidak jelas ukurannya.

“Pemerintah sudah tahu aktivitas tambang ini berbahaya, tapi tetap diberikan jaminan izin,” keluhnya. Selain itu, batubara menimbulkan flying ash bottom ash (FABA), proses batubara menghasilkan abu terbang dan abu di bawah, termasuk cemaran berbahaya dan beracun. Abu bawah terlihat namun abu terbang tak terlihat terhirup dan mengendap di paru-paru masyarakat yang hidup di sekitar PLTU.

Dikeluarkannya FABA sebagai limbah berbahaya menurut Elang karena diklaim tidak ada yang mati. Padahal meracuni dalam jangka panjang. “Parameternya tak hanya objek itu mati atau tidak. harus tes ecotoxic, dampak pada tanah, air, kanker, dll. Logam berat memiliki dampak ke lingkungan,” sebutnya.

Hendro Sangkoyo, Peneliti Utama School of Democratics Economicst (SDE) memberikan perspektif kapitalisme dan kesadaran ekologis terkait industri batubara dan transisi energi baru ini. Rakyat disebut hanya jadi obyek, akibat politik pengetahuan dan reproduksi kapital. “Krisisnya tidak diatasi dan perusakannya tidak diperbaiki,” katanya tentang rezim batubara dan energi baru ini.

Ia mengkhawatirkan situasi ketika publik sibuk merencanakan peralihan energi bersih, tapi negara masih ekspor batubara. Akhirnya tidak memedulikan persyaratan kesehatan dan lingkungan. Menurutnya batubara masih tetap merajai sampai 2050. Bahkan sebagian besar ekspor.

“Kita menyediakan lahan mengandung (menyimpan) karbon, digadaikan untuk beri hak perusahaan yang mengotori untuk beri kompensasi. Alam diperlakukan sebagai pasar sebagai transaksi,” tuturnya.

baca juga : Pandemi, Waktunya Beralih ke Energi Ramah Lingkungan

 

Seorang teknisi sedang memasang PLTS atap. Foto : shutterstock

 

Hendro menolak imperialisme energi ini dan berharap hadirnya energi rakyat. Seluruh kebijakan low carbon economy harus diperiksa. Agar tak menimbulkan biaya ekologis lebih tinggi.

 Elang menyontohkan pemeriksaan kebijakan energi bersih. Misalnya ada bagian dari bahan baku solar turbin berdampak pada hutan Amazon di Ekuador, untuk mencari kayu balsa yang dinilai paling kuat dan ringan lalu diekspor ke China.

Jika menelusuri sumber energi ia menyarankan mempelajari environmental safeguard termasuk EBT. Selain itu kajian lingkungan hidup strategis melihat kawasan dikelola. Produknya RPJMN, RTRW, Amdal, dan lainnya.

Dalam kasus PLTU Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng, Bali, cemaran batubara sudah merusak tanah, irigasi, dan lainnya. Ada juga kasus PLTG Bintuni, gas dibongkar dengan ledakan buatan, tingkat keasaman naik ke permukaan mencemari air, dan menimbulkan korban.

“Jangan sampai pintu dibuka, gunakan hak veto pada proyek berbahaya. Pasti tak mudah. Hidup itu perlawanan dan penyembuhan,” sebut Elang.

Exit mobile version