Mongabay.co.id

Durian dan Manggis yang Begitu Menggoda di Kelekak Suku Jerieng

 

 

Durian [Durio zibethinus Murr.] yang biasa disebut “king of fruit” dan manggis [Garcinia mangostana] yang dikenal sebagai “queen of fruit” merupakan tanaman buah yang wajib ditanam berbagai Suku Melayu di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Setiap tahun, dua buah ini dinikmati masyarakat Bangka hampir bersamaan waktunya.

Minggu [25/7/2021] lalu, Mongabay Indonesia berkunjung ke “kelekak” milik keluarga Atok [Kakek] Husien Ali di Desa Pelangas, Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat. “Kelekak” adalah kebun buahan milik keluarga.

Desa Pelangas, yang sebagian besar keturunan Suku Jerieng, dikenal sebagai salah satu sentra durian, manggis dan cempedak, di Pulau Bangka.

“Kelekak ini luasnya sekitar satu hektar. Ada 50 pohon durian beragam jenis, sekitar 10 pohon manggis, serta belasan pohon cempedak dan pinang,” kata Abdurrachman [28], cucu Atok Husien Ali. “Saya generasi kedelapan Suku Jerieng yang menetap di Desa Pelangas ini,” lanjutnya.

Mengapa menanam durian dan manggis?

“Durian itu buah yang memang paling disukai orang Bangka, juga mungkin orang Melayu lainnya di Indonesia. Artinya, durian itu selain bisa dimakan juga dapat dijual. Sementara manggis, bagi kami sebagai buah pendingin. Jika habis makan durian, kami biasanya makan manggis. Selain itu, manggis juga diyakini sebagai buah obat,” kata Abdurrachman.

Di Desa Pelangas terdapat sekitar 200 kelekak milik 400-an keluarga, yang sebagian besar Suku Jerieng. “Jadi, ada ribuan pohon durian dan manggis di desa kami. Tidak heran kami dikenal sebagai sentra durian, manggis, dan cempedak,” jelasnya.

Baca: Jerit Suku Jerieng, Ruang Hidupnya Terdesak Perkebunan Sawit dan HTI [Bagian 1]

 

Durian yang ada di tanam masyarakat di di Desa Pelangas, Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat dikenal memiliki rasa yang manis dan legit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Setiap tahun, buah durian dijual ke berbagai wilayah Pulau Bangka dan Palembang. Harga jualnya ke pengepul kisaran Rp15-25 ribu per buah. “Sekitar Rp50 juta kami dapatkan, hasilnya dibagi untuk seluruh keluarga,” jelas Abdurrachman.

Cara pembagiannya cukup unik. Pagi hingga sore jatah anak-anak Husien Ali dengan pembatasan waktu kelompok pagi-siang dan siang-sore. Sementara malam, bagian cucunya. “Hasilnya berdasarkan durian yang runtuh/jatuh. Kami hanya mengambil durian yang matang dan jatuh, bukan diambil di pohon,” katanya.

“Ada beragam jenis, kami tidak tahu nama ilmiahnya. Tapi kami punya nama, seperti durian si marpaung, si putri seroja, si tupai belang, si kelemunot, si belimbing, si bungkuk, si salak, si kapas, dan si tegem bumi.”

Nama-nama ini diambil dari bentuknya atau yang paling disukai hewan maupun manusia. “Durian dengan nama si tupai belang, karena paling disukai tupai. Dan, nama durian si marpaung, itu tidak kami sukai karena ada pahitnya. Tapi, ada orang Medan [Tapanuli] yang pernah menetap di sini, yang marganya Marpaung paling senang makan durian ini. Makanya kami sebut durian si marpaung,” ujarnya.

Baca: Tikar Kuang, Upaya Suku Jerieng Pertahankan Hutan Tersisa [Bagian 2]

 

Desa Pelangas dikenal sebagai wilayah sentra durian di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lempok dan tempoyak

Selain menjual buahnya, durian juga diolah masyarakat Suku Jerieng menjadi lempok [dodol durian] dan tempoyak [fermentasi durian].

“Jika melimpah sehingga nilai jualnya turun, kami mengolahnya seperti itu sehingga dapat disimpan lama untuk dikonsumsi atau dijual,” kata Wati [52], anak Husien Ali atau bibinya Abdurrachman.

“Orang Bangka sedikit yang senang tempoyak, banyak dipesan dari Palembang. Harga lempok di sini kisaran Rp90-100 ribu per kilogram. Begitu juga dengan harga tempoyak,” kata Wati.

Cempedak juga menghasilkan pendapatan bagi masyarakat Desa Pelangas, dibeli pedagang dari Palembang dengan harga Rp3-5 ribu per buah. “Kalau musim, banyak truk datang.”

Jika cempedak melimpah dibuat lempok juga oleh masyarakat.

“Tapi, sayangnya saat ini sudah sedikit yang membuat lempok, baik dari durian atau cempedak. Padahal dulunya di sini sentra lempok, baik durian maupun cempedak, yang lumayan memberikan pendapatan bagi masyarakat,” ujar Wati.

Baca juga: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Manggis merupakan buah yang mudah didapatkan di Desa Pelangas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Manggis yang belum dimanfaatkan

Buah yang nyaris tidak memiliki nilai ekonomi adalah manggis. Saat melimpah dari Desa Pelangas, harganya sangat murah. “Harga tertinggi kisaran Rp10 ribu per kilogram. Sehingga warga malas menjualnya. Mereka hanya memakan, dikirim ke keluarga di kota, atau dibiarkan membusuk saat jatuh ke tanah,” sambung Wati.

Terkait hal tersebut, Abdurrachman yang menjabat Direktur Bumdesma [Badan Usaha Milik Desa] Masyarakat Jerieng Gemilang Bersaudara, tengah mencari pasar atau dukungan pengelolaan manggis.

“Katanya, ekstrak kulitnya memiliki harga, tapi kami tidak memiliki teknologi dan pengetahuan untuk mengembangkannya.”

 

Potensi manggis di Desa Pelangas sejauh ini hanya dimakan buahnya, kedepan diharapkan pengembangan manggis untuk diolah ekstrak kulitnya dapat dilakukan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensinya di Desa Pelangas sangat tinggi, ada 2.000-an pohon. Setiap pohon itu menghasilkan ratusan hingga ribuan buah. “Buah manggis itu kulitnya tebal, lebih berat dari isinya. Satu kilogram, mungkin sekitar 800 gram berat kulitnya. Sementara satu kilogram buah manggis, sekitar 20-an biji.

“Diperkirakan, puluhan ton kulit manggis bisa dihasilkan desa kami setiap tahunnya,” jelas Abdurrachman.

 

 

Exit mobile version