Mongabay.co.id

Narasi Krisis, Proyek Food Estate dan Respon Pangan di Era Pandemi

Proyek food estate menjadi salah satu program prioritas pada  periode kedua Presiden Joko Widodo. Proyek food estate ini pun masuk menjadi bagian Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.

Proyek tersebut awalnya sebagai bentuk respon pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020 yang dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan nasional. Pemerintah pun bergiat memulai proyek food estate sejak awal Oktober 2020 di bekas lahan program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah.

Namun tampaknya, Pemerintah perlu berkaca dan belajar dari beragam kegagalan proyek sejenis food estate sebelumnya. Seperti kasus program PLG Sejuta Hektar Era Presiden Soeharto, Food Estate semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan terakhir Upsus Pajale (Upaya Produksi Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai) 2015-2017.

Semua proyek itu menunjukan bahwa mitos “krisis pangan” pada akhirnya menjadi dalih bagi akuisisi lahan oleh korporat yang mendorong munculnya krisis lahan dan gangguan distribusi pangan.

Refleksi tulisan ini ingin menunjukan bahwa pada dasarnya pandemi COVID-19 telah mengingatkan kita tentang adanya masalah serius dari rezim pangan korporat yang sejak lama meminggirkan penghidupan rakyat kecil. Dan penyelesaiannya bukan hanya semata dengan pengadaan food estate.

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

 

Ilustrasi seorang petani perempuan sedang menanam padi. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Masalah Krisis Pangan atau Distribusi Pangan?

Proyek food estate pencetakan sawah yang digaungkan saat ini dibuat berdasarkan kajian dari FAO (Food and Agricultural Organization). Dalam laporannya FAO menyampaikan resiko terjadinya krisis pangan dunia akibat wabah virus korona, berdasarkan prediksi atas pengalaman wabah virus Ebola dan “krisis global” tahun 2008.

Padahal sejatinya, di dalam laporan ini FAO menyebut pentingnya pemerintah negara-negara untuk menyiapkan skenario bantuan pangan untuk mengatasi masalah gangguan distribusi pangan, akibat pembatasan arus barang dan migrasi selama wabah virus korona (FAO, 2020).

Kajian dari ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) (2020) bisa menjadi petunjuk serupa. Kondisi gangguan terhadap rantai pasokan pangan yang merebak bersama wabah virus korona, akan menyebabkan terganggunya jalur perdagangan Asia Tenggara yang langsung terkoneksi dengan sektor manufaktur di China.

Studi ini pun memberi indikasi penekanan bahwa masalah krisis bukan persoalan kekurangan makanan, melainkan mengenai gangguan terhadap arus distribusi logistik.

Bagaimana dengan rantai pasokan untuk consumer goods dan bahan pangan?

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyebut rantai pasokan pangan dan penurunan kemampuan konsumen untuk membeli bukan disebabkan tidak tersedianya stok makanan, tetapi lebih kepada distribusi bahan pangan dan daya beli konsumen yang terdampak ekonomi akibat pandemi.

Hal ini ditunjukkan lewat survei persepsi kepada 450 anggota GAPMMI yang menyatakan terjadi penurunan bisnis sebesar 30-40 persen akibat penurunan daya beli konsumen (Ridhoi, 2020).

Data serupa ditunjukkan Amanta dan Aprilianti (2020) yang melihat adanya indikasi peningkatan resiko atas ketahanan pangan di Indonesia akibat kenaikan harga sebagai dampak dari pembatasan impor dan berkurangnya pasokan domestik.

Di sisi lain, Hirawan dan Verselita (2020) menggambarkan terjadinya perubahan situasi sektor pangan pada level produksi dan konsumsi akibat wabah virus korona yang mendorong perubahan arus logistik melalui pasar modern dan jual-beli secara daring.

Beberapa kajian di Indonesia juga berusaha menunjukan permasalahan dalam rantai pasokan pada masa pandemi COVID-19 sebenarnya berakar dari sengkarut rezim pangan secara global.

Di sisi lain, wabah pandemi COVID-19 telah membongkar kerentanan sistem pangan global yang sebenarnya sudah bermasalah sebelum pandemi muncul (IPES-Food, 2020), yaitu :

Pertama, pertanian industri oleh korporasi panganlah yang justru dilihat sebagai penyebab peningkatan zoonosis, terutama akibat peternakan skala besar dan interaksi manusia dengan satwa liar disebabkan pembukaan habitat

Kedua, wabah virus korona sudah membongkar ketidakadilan sistem pangan dunia yang memberi kuasa lebih pada korporasi pangan, tetapi meminggirkan petani kecil. Hal tersebut terbukti dengan korporasi pangan yang justru mendapat pangsa pasar selama pandemi, sedangkan petani rakyat justru terpaksa menelantarkan hasil panennya.

Ketiga, pangan yang selalu dipandang sebagai komoditas menyebabkan buruh-buruh formal dan informal yang mengalami penurunan atau bahkan tidak memiliki penghasilan selama pandemi virus korona menghadapi penurunan daya beli atas makanan.

Baca juga: Kala Proyek “Food Estate” Bisa Makin Sulitkan Petani dan Dorong Krisis Pangan

 

Ilustrasi pasar sayur dan buah. Distribusi pangan menjadi masalah di era pandemi. Foto: aeab@ di bawah lisensi CC BY-NC-ND 2.0

 

Waspadai Cengkeraman Rezim Pangan Global

FAO (2020) menganggap bahwa bantuan makanan akan mendorong distribusi kelebihan produksi di negara-negara Utara untuk diberikan pada negara-negara Selatan yang menghadapi problem kerawanan pangan.

Artinya “krisis” yang digambarkan oleh pemerintah maupun FAO tersebut tidak terjadi dalam arti sebenarnya, melainkan konsekuensi dari problem akut dari sistem pangan global. Penguasaan lahan oleh korporasi besar pun tidak menjawab distribusi pangan berkeadilan yang dapat diakses oleh warga negara.

Yang terjadi, para petani yang terjerat rezim pangan berusaha bertahan sendiri sejak masa awal pandemi COVID-19.

Petani bermodal adalah yang paling terdampak pandemi COVID-19 disebabkan kesulitan menjual komoditas mereka secara komersial. Sebaliknya petani kecil kurang terpengaruh disebabkan produksi yang dihasilkan adalah untuk kebutuhan rumah tangga.

Sedangkan, komunitas petani kecil berusaha bertahan dan membantu menyelesaikan masalah kerawanan pangan dengan memberikan hasil pertanian pada mereka yang membutuhkan sejak masa awal pandemi.

Sebagai contoh, Anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Serdang Bedagai misalnya, memberikan hasil panennya kepada para tetangganya yang membutuhkan. Di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, anggota SPI juga memberikan hasil panen padinya kepada tetangga sembari menjadikannya sumber pendapatan (spi.or.id, 2020).

Di Muaro Jambi dan Sukabumi, misalnya anggota SPI membagikan sayuran. Di Bogor, anggota SPI mengorganisir petani untuk ikut mendistribusikan hasil panen bagi yang membutuhkan. Di Tuban, anggota SPI membagikan benih pada petani maupun warga sekitar lingkungannya (spi.or.id, 2020).

Dengan bergotong royong, hasil pertanian surplus di satu komunitas memungkinkan petani menyumbangkan hasil panen kepada mereka yang membutuhkan, melalui cara barter.

Di Indramayu, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) melakukan barter bahan pangan dengan Paguyuban Tani Tenajar. Kegiatan barter pangan menjadi bagian dari Gerakan Lumbung Nelayan yang diinisiasi untuk mengatasi dampak wabah virus korona (Gandarasa, 2020).

Langkah swadaya yang dilakukan oleh para petani, nelayan dan peternak di atas menunjukan masyarakat di akar rumput bergerilya untuk bertahan hidup tanpa jaminan negara dengan memanfaatkan jejaring yang dimiliki.

Jejaring ini kemudian saling mencoba mendistribusikan produk yang mereka miliki kepada komunitas lain yang membutuhkan.  Komunitas petani kecil, nelayan, dan masyarakat lain justru saling berkolaborasi sendiri untuk bertahan hidup di tengah pandemi.

Baca juga: Walhi: Hutan dan Masyarakat Adat Papua Terancam Proyek Food Estate

 

Ketahanan pangan harus dibangun dengan tetap memperhatikan lingkungan masyarakat beserta sosial budayanya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Belajar Kembali dari Sejarah

Studi yang dilakukan oleh McCarthy, Vel dan Afiff (2012) menyebut pada dasarnya narasi mengenai “krisis pangan” dan “ketahanan pangan” tak bisa dilepaskan dari muatan politis pemerintah untuk menjaga stabilitas politik, demi menjamin pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman adanya krisis politik pada tahun 1960-an, -yang menyebabkan tumbangnya Presiden Soekarno, menjadi pembelajaran bagi rezim Orde Baru untuk secara serius mencapai “swasembada pangan”. Ini dilakukan demi mencegah terulangnya keresahan sosial.

Presiden Soeharto pun berusaha menciptakan akses beras murah bagi warga miskin termasuk pada pengembangan infrastruktur pertanian secara masif.

Meski “Swasembada Beras” tercapai pada tahun 1980-an, -namun akibat konsumsi yang tidak seimbang dengan produksi, membuat pemerintah Orde Baru mengambil jalan untuk membuat program food estate 1 juta hektar lahan gambut untuk proyek pencetakan sawah.

Investasi besar-besaran, pengiriman tenaga kerja dari Jawa dan rekayasa teknologi dilakukan untuk mencapai ambisi tersebut. Namun proyek ini gagal dan dihentikan pada tahun 1999 saat Soeharto lengser. Penyebabnya, karena rekayasa lahan gambut yang tidak dipahami, bahkann pada akhirnya menjadi sumber penyebab kebakaran lahan dan hutan.

McCarthy et.al., (2020) pun menyebut alih-alih menjadi “lumbung nasional,” proyek food estate justru akan menjelma menjadi skema bagi korporasi pangan transnasional dan perusahaan dalam negeri untuk mengakuisisi lahan skala besar di pulau-pulau luar Jawa.

Setelah Orde Baru tumbang, versi baru proyek food estate lewat narasi “ketahanan pangan” selain dijadikan upaya negara untuk memenuhi stok juga ditumpangi kepentingan untuk meningkatkan budidaya komoditas ekspor seperti kelapa sawit. (McCarthy et al., 2011).

Wabah pandemi COVID-19 ini seakan telah membuka tabir bahwa rezim pangan korporat terbukti rentan dan tidak dapat mencukupi hak atas pangan bagi rakyat kecil apalagi dengan rantai pasokan yang mudah goyah.

Masalah krisis lahan akibat pencetakan sawah skala besar menyebabkan problem konflik agraria dengan masyarakat adat, penurunan daya dukung lingkungan, dan lain-lain. Tentu, sudah semestinya realitas tersebut dijadikan pembelajaran oleh para pengambil kebijakan.

 

Referensi

Amanta, F., & Aprilianti, I. (2020). Kebijakan Perdagangan Pangan Indonesia saat Covid-19.

Association of Southeast Asian Nations. (2020). Economic Impact of COVID-19 Outbreak on ASEAN.

FAO. (2020). Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Addressing the impacts of COVID-19 in food crises April–December 2020: FAO’s component of the Global COVID-19 Humanitarian Response Plan.

Gandarasa, G. (2020). Barter, Cara Bertahan Nelayan dan Petani Indramayu di Tengah Pandemi. Pikiran-Rakyat.Com.

Hirawan, F. B., & Verselita, A. A. (2020). Kebijakan Pangan di Masa Pandemi COVID-19. CSIS Commentaries DMRU-048-ID

IPES-Food. (2020). COVID-19 and the crisis in food systems: Symptoms, causes, and potential solutions.  

McCarthy, J., Afiff, S., & Vel, J. (2011). A Land Grab Scenario for Indonesia? Diverse Trajectories and Virtual Land Grabs in the Outer Islands. International Conference on Global Land Grabbing 6-8 April 2011, 1–28.

McCarthy, J. F., Vel, J. A. C., & Afiff, S. (2012). Trajectories of land acquisition and enclosure: development schemes,virtual land grabs, and green acquisitions in Indonesia’s Outer Islands. The Journal of Peasant Studies, 39(2), 521–549.

McCarthy, J. F., Winarto, Y. T., Sitorus, H., & Kutanegara, P. M. (2021). COVID-19 and food systems in Indonesia. In COVID-19 and food systems in the Indo-Pacific: An assessment of vulnerabilities, impacts and opportunities for action (pp. 41–92). ACIAR.

Ridhoi, M. A. (2020). Krisis Pangan Dunia Menghantui Indonesia. Katadata.Co.Id.

spi.or.id. (2020). Inisiatif-Inisiatif Petani SPI di Desa-Desa Untuk Tetap Tegakkan Kedaulatan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19 : Hari Perjuangan Petani Internasional. Spi.or.Id.

 

* Anggalih Bayu Muh. Kamim, penulis adalah Pegiat Kajian Agraria, Alumni DPP FISIPOL UGM. Artikel ini adalah opini penulis

 

 

 

Exit mobile version