Mongabay.co.id

Panut Hadisiswoyo dan Misi Penyelamatan Orangutan Sumatera

 

 

Panut Hadisiswoyo tidak pernah menyangka bakal bekerja pada misi penyelamatan orangutan sumatera. Mengingat, latar belakang pendidikannya adalah Sastra Inggris di Universitas Sumatera Utara [USU].

Tumbuh dan besar di Kota Medan, Sumatera Utara, persoalan lingkungan bukan hal asing bagi lelaki kelahiran 1974 ini. Kemampuan Bahasa Inggris, dia maksimalkan untuk penyelamatan hutan sumatera, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

Untuk bisa lebih maksimal dalam hal penyelamatan orangutan sumatera, tahun 2001, Panut dan beberapa temannya mendirikan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre [YOSL-OIC].

Awalnya, YOSL-OIC hanya fokus pada penyelamatan orangutan sumatera. Namun, tuntutan lapangan membuat lembaga ini mengembangkan diri terlibat pada perlindungan satwa, rehabilitasi habitat, restorasi kawasan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Peraih gelar MSc di Oxford Brookes University, UK, ini mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi, atas kiprahnya pada penyelamatan orangutan. Sebut saja penghargaan yang diberikan Ratu Inggris, Queen’s Anniversary Award pada 2008, Whitley Award yang diberikan oleh Keluarga Bangsawan Kerajaan Inggris tahun 2015, Emerging Explorer oleh National Geography pada 2016, dan 35 Global Changemaker yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri Inggris.

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan Panut Hadisiswoya, Ketua YOSL-OIC, yang kami sajikan spesial pada peringatan Hari Orangutan Sedunia, setiap 19 Agustus.

Baca: Hari Orangutan Sedunia: Tantangan Konservasi Berpacu dengan Ancaman Kepunahan

 

Panut Hadisiswoyo selama 20 tahun menjalankan misi penyelamatan orangutan sumatera. Foto: Dok. YOSL-OIC

 

Mongabay: Sejak kapan Anda tertarik “misi” penyelamatan orangutan?

Panut: Sejak SD tahun 1980-an, saya menyukai satwa-satwa yang hidup di hutan tropis Indonesia.

Meski saya tinggal di Kota Medan yang tidak ada hutan, tapi karena tertarik hutan dan satwa, saya selalu memanfaatkan waktu untuk berkunjung ke hutan. Jaraknya, sekitar dua jam perjalanan dari rumah saya.

Tahun 1996, saya lolos seleksi pertukaran pemuda Indonesia – Kanada. Di Kanada saya melihat anak mudanya cukup giat berbicara tentang konservasi dan perlindungan hutan, termasuk satwa di dalamnya.

Sepulang dari Kanada tahun 1997, saya semakin tertarik bekerja di isu konservasi, dan mulai mencari peluang untuk bisa terlibat.

Keinginan saya terwujud. Tahun 1998, saat itu, Unit Manejemen Leuser [UML], lembaga pelaksana program Leuser Development Program [LDP] yang merupakan lembaga kerja sama antara Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia, membutuhkan orang yang bisa mengajari asistem peneliti di Stasiun Riset Soraya, Kabupaten Aceh Selatan, sekarang masuk wilayah Kota Subulussalam, dan stasiun penelitian Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh.

Di stasiun Penelitian Soraya, saya mendapatkan pemandangan luar biasa, di sana saya bertemu langsung orangutan sumatera. Bisa melihat primata ini dalam jarak sangat dekat.

Saya begitu penasaran dan mencari tahu sebanyak mungkin informasinya.

Baca: Dedikasi Luar Biasa Jamartin Sihite untuk Kehidupan Orangutan Kalimantan 

 

Panut tampak menggendong orangutan sitaan. Foto: Dok. YOSL-OIC

 

Mongabay: Kenapa tertarik dengan penyelamatan orangutan?

Panut: Setelah banyak perjumpaan dengan orangutan liar di hutan Leuser, saya kagum dengan mamalia besar yang hidup di atas pohon ini. Orangutan mampu menggantungkan tubuhnya dengan cengkraman jari-jari kaki yang kuat, itu kekuatan super yang tidak dapat ditandingi manusia.

Belum lagi orangutan betina yang berdedikasi penuh membesarkan anaknya selama delapan tahun, tanpa mau digauli orangutan jantan sampai anaknya benar-benar mampu bertahan hidup sendiri di hutan. Mulai dari memanjat pohon hingga membuat sarang dari ranting-ranting. Ini adalah kehidupan ‘motherhood’ yang tidak dapat dilakukan manusia juga.

Setelah saya dalami, saya semakin kagum karena genetik orangutan itu nyatanya hampir sesempurna manusia. Perbedaannya hanya tiga persen. Artinya, semua struktur tubuh orangutan sangat mirip dengan manusia. Ini menunjukkan, banyak ilmu pengetahuan yang sangat perlu dipelajari oleh kita, sebagai “saudara tua” orangutan.

Orangutan merupakan pemakan buah, mengkonsumsi buah-buahan hutan sebagai makanan utama hampir 60 persen. Biji buah-buahan yang keluar melalui kotoran dan tersebar di lantai hutan, akan tumbuh. Secara tak langsung, orangutan telah membantu menyebarkan benih pohon di hutan.

Pengelolaan ini memang kompleks dan tak terlihat dengan jelas oleh manusia. Padahal, kehidupan harian orangutan sumatera di habitatnya, dari pagi hingga malam hari, telah membentuk hutan secara utuh. Orangutan telah membantu memperbaiki struktur vegetasi pohon hingga mengontrol serangga tertentu.

Baca: Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya

 

Perburuan orangutan untuk dijadikan hewan peliharaan masih terjadi, ini dikarenakan adanya permintaan. Foto: Dok. YOSL-OIC

 

Mongabay: Berapa estimasi populasi orangutan sumatera saat ini?

Panut: Sekitar 14.000 individu yang hidup di Kawasan Ekosistem Leuser. Jumlah ini diperkirakan hanya 10% dari populasi mereka di awal tahun 1900-an.

 

Mongabay: Bagaimana kondisinya, populasi maupun habitatnya?

Panut: Populasi orangutan sumatera saat ini terbagi delapan kelompok meta populasi yang tidak saling terhubung. Dari delapan kelompok tersebut terdapat dua kelompok orangutan reintroduksi yaitu di Jantho, Provinsi Aceh, dan Bukit Tiga Puluh, Jambi.

Enam kelompok lainnya merupakan populasi liar yang sudah mengalami ancaman karena habitatnya mengalami degradasi akibat berbagai aktivitas manusia. Ada ancaman perluasan lahan pertanian, pembangunan jalan, pembangunan permukiman, dan infrastruktur lainnya.

Bila deforestasi tidak dapat dihentikan, diprediksi populasi orangutan tidak akan bertahan secara jangka panjang.

Baca: Orangutan For Beginners: 7 Fakta Upaya Kelestarian Orangutan

 

Orangutan sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Konflik orangutan dengan masyarakat terus terjadi, apa penyebabnya?

Panut: Habitat yang terfragmentasi dan mengecil menyebabkan orangutan terisolasi di kantong-kantong habitat yang tidak memiliki daya dukung cukup. Hal ini memaksa orangutan berkelana di landskap yang sudah dikelola manusia untuk mendapatkan sumber pakan.

Akhirnya, orangutan dianggap sebagai hama dan insiden konflik makin sering terjadi ketika tingkat toleransi manusia terhadap kehadiran orangutan di lanskap manusia semakin rendah. Ujungnya, terjadi pembunuhan orangutan. Ada juga perburuan untuk dijadikan satwa peliharaan, terutama anak orangutan.

 

Mongabay: OIC sering melakukan rescue orangutan yang berkonflik dengan masyarakat, apakah kegiatan ini mudah dilakukan?

Panut: Evakuasi dari kondisi konflik itu berisiko tinggi bagi keselamatan orangutan. Perlu tim yang dibekali perlengkapan dan SOP sangat ketat, baik dari segi medis maupun keselamatan, bagi tim rescue.

Evakuasi untuk tujuan translokasi merupakan pilihan akhir ketika diketahui kehidupan orangutan di lokasi konflik sungguh membahayakan.

Masyarakat yang merasa dirugikan dengan kehadiran orangutan dan yang menganggap orangutan tidak selayaknya hidup di lanskap manusia, menganggap positif upaya evakuasi. Ada juga yang menolak evakuasi dengan alasan keberadaan orangutan dapat mendatangkan manfaat, misal untuk tujuan pengembangan wisata.

 

Mongabay: Bagaimana dengan perburuan liar?

Panut: Perburuan terus terjadi karena ada demand dari pihak-pihak yang mau menyuplai orangutan untuk dijadikan peliharaan maupun sebagai koleksi kebun binatang.

Belum ada hukuman berat bagi pemelihara orangutan menyebabkan perburuan selalu ada. Sesungguhnya, pemelihara orangutan itu merupakan mata rantai perdagangan liar yang harus dipantau selalu.

Baca: Sudah Saatnya Pemelihara Orangutan Diproses Hukum

 

Air jernih dan pepohonan lebat merupakan pemandangan indah yang terpancar di hutan Batang Toru, tempat hidupnya orangutan tapanuli. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apa saja yang telah dilakukan YOSL-OIC untuk penyelamatan orangutan?

Panut: Banyak hal. Mulai edukasi, sosialisasi, pemulihan habitat terdegradasi, perlindungan habitat, evakuasi orangutan dari perdagangan dan konflik, operasi penegakan hukum hingga pemberdayaan masyarakat di sekitar habitat orangutan untuk peningkatan kesejahteraan..

Kerja-kerja tersebut harus terus dilakukan, demi mendukung pemerintah menyelamatkan satwa berharga ini dari kepunahan.

 

Mongabay: OIC sering membantu pemerintah melakukan penyitaan orangutan peliharaan, apakah itu mudah?

Panut: Sulit, bahkan harus melalui proses intimidasi dan ancaman. Yang lebih sulit lagi adalah membawa pemelihara orangutan ke proses hukum.

Baca: SRAK Orangutan 2019-2029 Diluncurkan, Strategi Apa yang Diutamakan?

 

Tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia: pongo abelii, pongo tapanuliensis, dan pongo pygmaeus. Sumber: Batangtoru.org

 

Mongabay: Apa yang harus dilakukan agar orangutan tetap aman di habitatnya?

Panut: Perlindungan total habitat orangutan harus dijadikan prioritas, diikuti penegakan hukum optimal, sebagai upaya pencegahan perburuan dan perdagangan.

Selain itu, desa-desa di sekitar habitat sebagai desa konservasi harus dijadikan prioritas dengan diberikan program-program insentif, guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan begitu, tingkat partisipasi masyarakat untuk melindungi orangutan meningkat.

Moratorium izin konsesi baru juga diberlakukan, didukung dalam aturan RTRW, sehingga hutan yang merupakan habitatnya orangutan terjaga. Populasi orangutan terlindungi.

 

Mongabay: Pesan Anda untuk generasi muda?

Panut: Generasi muda harus ikut terlibat melestarikan sumber daya alam Indonesia. Ketidakpedulian generasi muda akan membawa bencana bagi generasi berikutnya.

Hal paling penting adalah, bekerja di isu perlindungan hutan dan satwa liar tidak melihat latar belakang pendidikan. Siapapun bisa terlibat, meski orang tersebut tidak memiliki pendidikan yang tinggi.

Saya telah membuktikan. Saya dulu kuliah di jurusan Bahasa Inggris dan saya bisa bekerja di isu konservasi.

 

 

Exit mobile version