Mongabay.co.id

Damar, Rempah yang “Merajut” Delapan Anak Sungai Musi

 

 

Palembang, sampai sat ini masih dipercaya sebagai pusat pemerintahan Kedatuan Sriwijaya. Prasasti Kedukan Bukit, merupakan bukti Palembang pusat kerajaan yang membangun peradaban bangsa di Nusantara sekitar lima abad [7-12 Masehi]. Sungai Musi, yang panjangnya sekitar 750 kilometer, dan membelah Kota Palembang, merupakan saksi kebesaran Sriwijaya yang berjaya dengan perniagaan rempah-rempah dan mineral.

Dipilihnya Palembang sebagai pusat pemerintahan Kedatuan Sriwijaya, diperkirakan salah satunya Palembang merupakan wilayah perdagangan yang ramai pada masanya. Palembang merupakan pertemuan delapan sungai, yang kemudian disebut anak Sungai Musi. Yakni Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Batanghari Leko, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, dan Sungai Rawas.

Delapan sungai tersebut sebagian besar berhulu di Bukit Barisan, yang saat ini masuk wilayah Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Pada masa lalu, sebelum maraknya perkebunan karet, kopi, sawit, dan pertambangan batubara dan minyak bumi, yang dikembangkan pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia, wilayah itu merupakan kawasan hutan yang kaya flora dan faunanya, serta mineral seperti emas.

Baca: Adanya Kapal Kuno Buktikan Indonesia Penguasa Lautan Asia. Benarkah?

 

Pertujukan tari di repung [kebun] damar di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Foto: Yudi Semai

 

Dikutip dari “Studi Pengelolaan Air Secara Menyeluruh Pada Wilayah Sungai Musi di Republik Indonesia”, disebutkan bahwa DAS [Daerah Aliran Sungai] Musi berasal dari tiga provinsi yakni Sumatera Selatan [96 persen], Bengkulu [3,6 persen], dan Jambi [0,4 persen].

“Kemungkinan besar rempah-rempah yang dibawa masyarakat dari delapan anak Sungai Musi tersebut berupa getahan dan kulit. Misalnya damar [Agathis dammara (Lamb.) Rich.], gaharu [Aquilaria malaccensis], kemenyan [Styrax benzoin Dryand.], dan gambir [Uncaria gambir Roxb],” kata Budi Wiyana, Kepala Balai Arkeolog [Balar] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, pekan pertama September 2021.

“Jadi, pada awalnya rempah-rempah yang dihasilkan dari wilayah sekitar Palembang sebagai ibu kota pemerintahan Kedatuan Sriwijaya, berupa getah-getahan dan wewangian. Sebab tanaman tersebut tumbuh subur di Pulau Sumatera. Sementara cengkih dan kayu cendana, dihasilkan dari wilayah timur Nusantara,” ujarnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan arkeolog dari Balar Sumatera Selatan, banyak ditemukan getah damar berusia ratusan hingga seribuan tahun, di situs sejarah terkait Kedatuan Sriwijaya di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan. Misalnya di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] dan Kabupaten Banyuasin.

“Kami juga menemukan wadah [mangkok] yang diyakini sebagai tempat pengolahan getah damar, karena wadah itu dilapisi damar,” kata Budi. “Belum tahu apakah wadah itu digunakan mengelola damar untuk kepentingan pembuatan perahu dan kapal atau ritual,” lanjutnya.

Baca: Hutan Damar Terjaga, Namun Warga Masih Belum Sejahtera, Mengapa?

 

Pohon-pohon damar mata kucing berusia muda yang ditanam masyarakat di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Jejak damar

Damar merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini tumbuh baik di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Jawa. Bagian pohon damar yang bernilai ekonomis adalah getahnya, diambil dengan cara melukai pohonnya.

Meskipun tidak lagi menjadi sentra produksi damar, tapi beberapa wilayah hulu dari delapan anak Sungai Musi, masih ditemukan pohon damar. Misalnya, di hulu Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan Sungai Rupit.

Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, pohon damar masih banyak ditemukan di wilayah sekitar Danau Ranau, salah satu hulu dari Sungai Ogan, tepatnya di kawasan penyangga TNBBS [Taman Nasional Bukit Barisan Selatan]. 

Banyaknya pohon damar ini dikarenakan masih adanya permintaan getah damar di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, yang merupakan sentra produksi getah damar. Sementara akses dari wilayah Danau Ranau ke Kabupaten Pesisir Barat cukup dekat, sekitar satu jam perjalanan.

Bertahannya damar di wilayah Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, dikarenakan kebun damar atau disebut “repong damar” dikembangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda, yang bertahan hingga saat ini. Pohon yang ditanam ini umumnya jenis damar mata kucing [Agathis dammara].

“Hilang atau berkurangnya tanaman rempah, seperti damar, di Sumatera Selatan, menurut saya karena pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan perkebunan karet dan kopi skala besar, serta mulainya pertambangan minyak bumi dan batubara, yang banyak mengubah hutan. Sementara hutan merupakan habitat tanaman rempah-rempah ini. Selanjutnya, pemerintah Indonesia mengembangkan perkebunan sawit, serta melanjutkan penambangan batubara yang kian banyak membuka hutan,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah Palembang.

Baca juga: Belajar dari Pahmungan, Adat Terus Menjaga Repong Damar

 

Getah damar mata kucing yang masih ada di hulu Sungai Musi dan Lampung. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Tradisi perahu dan ritual

Meskipun getah damar tidak lagi menjadi produk andalan, tapi sebagian tradisi terkait damar tetap bertahan pada masyarakat di sekitar Sungai Musi.

Misalnya, getah damar tetap dibutuhkan dalam pembuatan perahu dan kapal kayu [tongkang]. Mongabay Indonesia melihat hal ini seperti di Sungai Rawas, Sungai Lakitan, Kayuagung, Cengal, Tulungselapan, dan pinggiran Kota Palembang. Getah damar digunakan untuk menutupi pembatas antar-papan perahu atau kapal, termasuk juga untuk menambal kebocoran di perahu atau kapal.

Penguasaan teknologi perkapalan [perahu dan kapal], salah satu kekuatan Kedatuan Sriwijaya untuk menguasai jalur rempah atau maritim di Nusantara.

Budi Wiyana menjelaskan, penemuan arkeologi kapal-kapal tua di sekitar Sungai Musi dan delapan anaknya. 

Jelasnya, berdasarkan berbagai penemuan perahu maupun kapal kayu kuno di Asia Tenggara atau Tiongkok, perahu-perahu kuno yang ditemukan di Nusantara jauh lebih tua usianya. Yang paling banyak ditemukan perahu-perahu kuno itu di pesisir timur Sumatera Selatan. Masanya dari abad ke-5 hingga 8 Masehi. Cirinya, menggunakan teknik ikat dan pasak.

Perahu dan kapal kayu kuno yang terkait Kedatuan Sriwijaya, selain ditemukan di Palembang, yakni Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir [OKI], dan Penukal Abab Lematang Ilir [PALI]. Lokasinya seperti di Samirejo, Paya Pasir, Kolam Pinisi, Tulungselapan, Cengal, TWKS [Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya] Karanganyar, dan Air Sugihan. Di luar Sumatera Selatan seperti di Lambur, Tanjung Jabung [Jambi], Laut Jawa utara [Cirebon], Kota Kapur [Bangka], dan Punjulharjo [Jawa Tengah].

Selain itu, ramainya lalu lintas angkutan air dan laut, dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah situs dermaga atau pelabuhan kuno. Misalnya di muara Sungai Rawas, Sungai Lumpur [Tulungselapan], Sungai Batanghari Leko, Karanganyar [sekitar TWKS, Palembang], dan Kota Kapur [Bangka].

Nibung [Oncosperma tigillarium] yang masih ditemukan di wilayah dataran rendah di Sumatera Selatan, merupakan kayu yang dijadikan bahan perahu dan dermaga di masa Kedatuan Sriwijaya. “Saat ini sebagian masih menggunakan nibung dalam membuat perahu, dermaga, dan rumah panggung, meskipun keberadaannya mulai berkurang,” kata Budi.

 

Seorang warga di Desa Muara Megang, tepian Sungai Lakitan, tengah membuat perahu. Dia menggunakan getah damar sebagai penambal cela antar papan perahu. Foto: Yudi Semai

 

Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang, kepada Mongabay Indonesia, menjelaskan berbagai tradisi pada masyarakat sekitar Sungai Musi, seperti tradisi sedekah sungai, baik yang dilakukan secara komunal maupun perorangan, tetap menggunakan kayu damar. Kayu damar dibakar, seperti halnya kemenyan atau gaharu.

Tradisi ini, selain mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, juga menjaga keberadaan makhluk hidup di Sungai Musi agar tidak mengganggu manusia. 

Masyarakat melayu di Sumatera Selatan, mengenal sejumlah nama makhluk halus yang hidup di Sungai Musi dan anak-anaknya, seperti mambang, jerambang, jelambang, yang dikenal seperti mambang mayang terurai, mambang tali arus, mambang datuk hitam, dan mambang datuk merah.

 

Dua anak ini mungkin adalah generasi belasan dari masyarakat yang menetap di tepian Sungai Musi. Foto: Yudi Semai

 

Pembauran

Masyarakat yang tersebar pada delapan anak Sungai Musi, memiliki beragam bahasa. Misalnya Bahasa Melayu, Komering, Ogan, Lematang, Kayuagung, Jawa dan Pedamaran.

“Meskipun berbeda bahasa, tapi mereka memiliki kesepakatan untuk menyebut damar,” kata Budi Agung Sudarmanto dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia.

“Asumsi saya, damar memang merupakan produk rempah yang dihasilkan berbagai suku yang hidup di sepanjang Sungai Musi dan delapan anaknya. Kesepakatan kata damar memperlancar proses transaksi ekonomi terkait rempah,” lanjutnya.

“Kesamaan kata damar ini membuktikan adanya interaksi antarsuku di Sumatera Selatan. Damar sebagai salah satu produk rempah andalan Kedatuan Sriwijaya hingga masa Kesultanan Palembang, mampu menjalin keharmonisan antarsuku melalui perekonomiannya,” kata Agung.

Selain bahasa, tradisi perahu dan ritual yang menggunakan damar, “Juga telah menjalin komunikasi antarsuku di Sumatera Selatan, khususnya yang hidup di sekitar Sungai Musi dan delapan anaknya,” kata Husni Tamrin.

 

Hadirnya kelompok perempuan peduli Sungai Musi merupakan kabar baik yang harus didukung semua pihak demi kelestarian sungai tersebut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Satu kosa kata hilang

Damar sangat penting dengan jejak sejarah Kedatuan Sriwijaya, sehingga sangat penting dilestarikan. Pohon damar merupakan jejak sejarah Kedatuan Sriwijaya di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan. 

“Sriwijaya merupakan bukti sebuah pemerintahan yang mampu mengelola sumber daya alam di Nusantara secara berkelanjutan, yakni rempah-rempah, salah satunya damar,” kata Yenrizal Tarmizi. 

“Pohon damar hilang, maka terancam pula tradisi membuat perahu dan kapal kayu, serta ritual sungai pada masyarakat Sumatera Selatan,” ujar Husni Tamrin.

Pohon damar memang harus dilestarikan. Syukur jika kembali menjadi andalan ekonomi Indonesia seperti di masa lalu. “Sebab, jika pohon damar hilang, maka satu kosa kata Bahasa Indonesia akan hilang,” jelas Budi Agung Sudarmanto.

 

 

Exit mobile version