Mongabay.co.id

Krakatau yang Selalu Menarik untuk Diteliti

 

 

Menyebut nama Krakatau, pikiran kita akan selalu terbanyang pada gunung api di Selat Sunda yang meletus hebat pada 1883 silam.

“Pak Jamalam, ayo cepat turun!” begitu teriakan para mahasiswa pada 7 Juli 2018 lalu, mengingatkan Jamalam karena ada pergerakan dari Gunung Anak Krakatau. Mendengarkan teriakan itu, Prof. Jamalam Lumanraja, peneliti cum dosen Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung [Unila], yang tengah asik meneliti, segera turun. 

“Kami tim dosen dan mahasiswa, saat itu melakukan pengamatan di Krakatau, mengambil  sampel,” katanya Sabtu, 21 Agustus 2021, saat ditemui di kampus Unila.

Menurut dia, Anak Krakatau pada 2018 lalu memang rajin “batuk” dan mengeluarkan lava pijar. Puncaknya, empat bulan setelah riset, gunung api yang ada di Selat Sunda itu erupsi, mengakibatkan tsunami pada 22 Desember 2018.

“Saat kami ke sana sebelum ada letusan, masih banyak tumbuhan. Namun, setahun setelahnya kami kembali, Agustus 2019, sudah tidak ada apa-apa lagi.”

Bagi Prof. Jamalam, Gunung Anak Krakatau yang sering disebut Krakatau, memiliki historis sangat menarik. Berawal dari Krakatau Purba yang meletus dan menyisakan tiga pulau: Sertung, Panjang, dan Rakata, kemudian meletus kembali pada 27 Agustus 1883, membuat gempar dunia.

Dalam buku “Lampung dan Masa Depan Sumatera” terbitan Mongabay Indonesia Juli 2021, disebutkan suara ledakan pada 1883 terdengar hingga India, Australia, dan Pulau Rodrigues yang tak jauh Afrika; serta gelombang pasangnya tereteksi hingga Jepang.

“Krakatau muncul ke permukaan tahun 1927, terus tumbuh, dan erupsi pada 2018 itu membuat tingginya sekitar 300-an meter. Fenomena alam ini membuat kami tertarik untuk melakukan penelitian,” ujarnya.

Baca: Jika Terjadi Tsunami Akibat Krakatau Erupsi, Begini Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Mencapai Pantai

 

Penampakan Gunung Anak Krakatau 3 bulan setelah erupsi pada 22 Desember 2018. Foto: Dok. KLHK/BKSDA Bengkulu-Lampung

 

Menurut Jamalan, erupsi pada 2018 itu menjadikan peneliti dapat melihat pembentukan tanah mulai dari awal. Hal ini erat kaitannya dengan pergerakan bumi yang membentuk bahan induk tanah.

“Ini dipengaruhi iklim, topografi, mahkluk hidup lain, dan waktu. Hubungannya dengan waktu, kami sangat tertarik dengan erupsi yang terbaru karena membuat keadaannya menjadi nol.”

Hasil riset yang dilakukan setelah erupsi itu menunjukkan, mulai ada makhluk hidup berupa mikroba dan fungi. Namun belum ada tanaman di sana.

“Kami juga mencoba simulasi proses pembentukan tanah dengan curah hujan. Penelitian dilakukan dengan pencucian [leaching] terhadap tephra [batuan vulkanik atau magma] Anak Krakatau. Kami mekaukan simulasi pembentukan tanah, biasanya karena air dari lapisan atas tercuci kemudian di bawah akan terbentuk liat.”

Dalam perkembangannya, setelah di-leaching selama tiga bulan, sampel yang diteliti mulai menunjukkan pelapukan. Bahan organik yang ada pada tanah juga mulai meningkat.

“Tetapi memang hasilnya belum nyata benar. Bahan organiknya dan kapasitas tukar kation [KTK] selama tiga bulan meningkat,” terangnya.

Baca: Fase Konstruksi, Gunung Anak Krakatau Berproses Membangun Tubuhnya

 

Gunung Anak Krakatau yang meneluarkan asap awal April 2020. Foto: KPHK Kepulauan Krakatau

 

Menarik untuk penelitian

Prof. Jamalam menjelaskan, banyak penelitian yang bisa dilakukan di areal Gunung Anak Krakatau. Dari sisi geologi, dapat dipelajari tiga pulau terisa dari letusan Krakatau Purba. Dari sisi biodiversiti, dapat ditinjau keragaman vegetasinya.

Diharapkan, kedepan akan ada pusat studi Krakatau yang bisa digunakan untuk penelitian semua bidang keilmuan. “Para ilmuan sangat tertarik dengan Krakatau, dari bidang keilmuannya masing-masing. Saya pikir ini menjadi aset nasional, bahkan aset dunia,” tuturnya. 

Hal senada disampaikan Astriana Rahmi Setiawati, Dosen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Menurut dia, Krakatau merupakan laboratorium alami yang menarik perhatian banyak pihak.

Astriana melakukan penelitian terkait pedogenesis atau ilmu yang mempelajari proses pembentukan tanah. Dia juga meneliti sifat fisik dan kimia tanah di Anak Krakatau.

“Hasil muntahannya berbagai macam partikel. Ada yang berukuran boom, blockly, kerikil, pasir vulkanik, dan abu vulkanik. Sekitar gunung, yang berukuran pasir paling banyak. Sementara abunya terbang ke pulau-pulau sekitar,” jelasnya di kampus Unila, Sabtu [21/82021].

Menurut dia, ada korelasi antara ketinggian permukaan dengan ukuran tanah yang terbentuk. Karena saat Krakatau memuntahkan isi perutnya, partikel yang lebih besar tidak terlempar terlalu jauh dari kawah gunung. Sementara, partikel yang ukurannya lebih kecil terlempar lebih jauh.

“Jika sudah dimuntahkan, otomatis yang berukuran lebih berat dekat dengan sumbernya. Makanya, semakin ke atas kita akan menemukan partikel yang lebih besar.”

Astriana menjelaskan, vegetasi juga mempengaruhi proses pembentukan tanah. Semakin banyak organisme di dalam tanah, semakin intensif pelapukan yang terjadi.

“Kalau ada organisme, proses pelapukkan tanah semakin cepat. Makanya di bagian bawah Anak Krakatau sebelum erupsi, sudah ada yang membentuk tanah liat karena dibantu akar tanaman cemara,” paparnya. 

Baca juga: Lampung dan Masa Depan Sumatera: Catatan Menjaga “Kemerdekaan” Alam Indonesia

 

Asap dari Gunung Anak Krakatau yang terlihat pada awal April 2020. Foto: KPHK Kepulauan Krakatau

 

Bukan tempat wisata

Edarwan, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung, menuturkan kawasan Krakatau tidak bisa dijadikan destinasi wisata. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut merupakan cagar alam. 

“Jadi yang boleh menyentuhkan kaki di sana harus memiliki izin. Itu juga hanya untuk keperluan riset dan pendidikan,” terangnya, Selasa, 24 Agustus 2021. 

Walaupun kawasan Gunung Anak Krakatau memiliki daya tarik, dia merekomendasikan untuk berwisata ke pulau lain di Provinsi Lampung. 

“Potensi yang ada di sekitar Anak Krakatau tentunya taman laut. Maksudnya, beberapa mil dari kawasan gunung tersebut boleh. Kita bisa snorkling, diving, atau menikmati alam yang memang sangat mungkin dilakukan,” katanya.

Menurut dia, Pemerintah Lampung Selatan ingin mengajukan penurunan status kawasan Gunung Anak Krakatau dari cagar alam menjadi kawasan taman wisata alam. Namun, wacana itu tidak direalisasikan karena mendapat masukan dari berbagai pihak.

“Sebelum terjadi erupsi terakhir ini, ada pemikiran bahwa pemerintah ingin menurunkan status sebagian kecil, ada bagian-bagian tertentu yang bisa kita jadikan objek wisata, tapi hanya bagian kecil. Itu sempat ditinjau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” jelasnya.

 

Anak Krakatau, gunung api aktif yang diperkirakan terbentuk sejak 1927. Foto ini diambil pada April 2015. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Krakatau berstatus Cagar Alam dan Cagar Alam Laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 85/Kpts-II/1990 tanggal 26 Februari 1990 seluas 130 hektar. Kawasan cagar alam menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 28 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dapat dimanfaatkan sebagai penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan konservasi alam, serta pemanfaatan plasma nutfah untuk menunjang budidaya.

Syarifudin, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi [KPHK] Krakatau SKW III BKSDA Bengkulu-Lampung, menjelaskan perlu beberapa prosedur untuk dapat melakukan riset ke Anak Krakatau. Antara lain menyerahkan surat dan proposal kegiatan penelitian dan mempresentasikan apa yang akan dikerjakan.

“Dari pihak BKSDA mengawasi kegiatan,” jelasnya, Selasa [24/8/2021] 

Irhamuddin, Pengendali Ekosistem Hutan SKW III BKSDA Bengkulu-Lampung, menambahkan upaya yang dilakukan pihaknya dengan melakukan sosialisasi di wilayah cagar alam.

“Dalam pengelolaannya, kami melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada tiap masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan wisata di Gunung Anak Krakatau,” pungkasnya. 

 

* Chairul Rahman ArifMahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Tertarik menulis isu lingkungan.

 

 

Exit mobile version