Mongabay.co.id

Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat

 

 

 

 

Dukungan kepada Bupati Sorong terus mengalir. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua yang terdiri dari berbagai organisasi dan individu menyatakan dukungan kepada Bupati Sorong yang kena gugat tiga perusahaan di PTUN Jayapura. Sang bupati tergugat karena melakukan tata kelola dan evaluasi perizinan dengan hasil mencabut izin perusahaan yang melanggar. Perusahaan keberatan atas pencabutan izin-izin itu.

Dukungan kepada Bupati Sorong dibacakan pada diskusi akhir Agustus lalu dihadiri Jhon Kamuru, Bupati Sorong; Mamberob Rumakiek anggota DPD Papua Barat; Silas O. Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi. Kemudian, Pdt. Dora Balubun Ketua KPKC Sinode Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, dan Ida Klasim, tokoh perempuan Suku Moi.

“Apa yang dilakukan Bupati Sorong wujud tanggung jawab dan komitmen mendahulukan kepentingan hak-hak masyarakat adat bagi orang asli Papua dan untuk menjaga kesinambungan alam, ” kata Yohanis Mambrasar, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua.

Perusahaan yang menggugat Bupati Sorong adalah PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA) , dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Bupati Sorong mencabut izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan (IUP) tiga perusahaan ini. Satu perusahaan lain, juga dicabut pada April 2021.

Pencabutan ini berdasarkan evaluasi antara lain, karena mereka tidak melaksanakan kewajiban dalam IUP dan gunakan izin-izin untuk pemanfataan lain. Luas IUP tiga perusahaan ini hampir mencapai 100.000 hektar.

Koalisi menilai, keputusan bupati tepat. Perusahaan-perusahaan ini tidak menghormati hak-hak masyarakat adat hingga layak dicabut. PTUN Jayapura juga diminta tidak mengabulkan gugatan perusahaan.

Persoalan yang terjadi di Kabupaten Sorong, saat ini bagian dari masalah besar pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah di tanah Papua.

 

Baca juga: Izin Dicabut, Perusahaan Sawit Gugat Hukum, Pemerintah Sorong Banjir Dukungan

Aksi massa yang menyuarakan hak-hak masyarakat adat. Aksi Bupati Sorong, mencabut izin di lahan adat itu mereka nilai keputusan tepat. Lahan-lahan itu segera kembalikan ke masyarakat adat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Koalisi nyatakan, politik pembangunan negara dari masa ke masa di tanah Papua, masih mengutamakan kepentingan korporasi dan oligarki. Hal itu tampak dari penguasaan tanah skala besar oleh korporasi didukung kebijakan pemerintah.

Dampak buruk terhadap tanah dan manusia Papua, sudah sangat banyak. Pendekatan pembangunan tak kunjung berubaha. Orang Papua, katanya, terus kehilangan tanah dan hutan yang merupakan sumber penghidupan dan identitas budaya. Krisis lingkungan pun tak terelakkan.

Selain mendukung Bupati Sorong, koalisi juga mendesak pemerintah mencabut berbagai kebijakan yang mengutamakan kepentingan korporasi dan pemodal besar di Tanah Papua. Pemerintah juga didesak menghentikan pemberian izin usaha yang mengeksploitasi tanah dan hutan masyarakat adat Papua. Juga mengevaluasi dan kaji ulang izin-izin dan praktik investasi selama ini.

Sebaliknya, pemerintah harus segera menerbitkan kebijakan peraturan daerah khusus tentang penetapan pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak-hak masyaakat adat atas tanah dan peradilan adat di tanah Papua.

Pemerintah juga harus menyelesaian masalah-masalah pelanggaran HAM dan perampasan tanah skala luas di Papua yang terjadi selama ini.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua ini antara lain terdiri dari Paritas Institute, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Asia Justice and Rights (AJAR), Elsham Papua, Greenpeace Indonesia, PapuaItuKita, LP3BH Manokwari, Tapol.

Ada juga KPKC GKI di Tanah Papua, KPKC Gereja Kingmi Tanah Papua, SKPKC Fransiskan Papua, Elsham, Make West Papua Safe Campaign, Paham Papua, Kontras Papua, LBH Papua, AMAN Sorong, Garda Papua, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan banyak lagi.

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Aksi massa mendukung Bupati Sorong mencabut izin kebun sawit di lahan masyarakat adat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Jadi contoh

Pada 27 April lalu, Bupati Sorong mecabut izin empat perusahaan yaitu PT Cipta Papua Plantation, IKL, PLA, dan SAS. Pencabutan izin-izin ini tindak lanjut dari evaluasi izin sawit oleh Pemerintah Papua Barat. Secara keseluruhan, Pemerintah Papua Barat, mencabut belasan izin sawit karena tidak menjalankan kewajiban dalam IUP. Ia meliputi Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, dan Fakfak.

Bupati Johny Kamuru, setahun sebelumnya, pada 14 Agustus 2020, juga mencabut izin PT Mega Mustika Plantation (MMP). Aksi penolakan masyarakat terhadap perusahaan ini sudah berlangsung lama. Puncaknya, pada 9 Agustus 2020, bersamaan dengan Hari Masyarakat Adat Sedunia. Kala itu,, masyarakat aksi ke nupati.

Saat kasi, bupati berjanji mencabut izin MMP. Janji dia tepati. Bertempat di Kampung Dela, Distrik Selemkai, Johny Kamuru membacakan dan menyerahkan surat putusan pencabutan izin MMP.

Pada 2017, Bupati Kamuru menandatangani Peraturan Daerah Nomor 10/2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi di Kabupaten Sorong.

Belum banyak pemerintah daerah di Papua yang membuat Perda Pengakuan Masyarakat Adat di wilayah mereka. Perda ini memberi kepastian hukum bagi masyarakat adat di tengah gempuran investasi yang merampas wilayah adat mereka.

Mamberob Rumakiek, anggota Dewan Perwakilan Derah (DPD) Papua Barat memuji Bupati Sorong untuk keberanian mengambil keputusan mencabut izin perusahaan dan keberpihakan pada masyarakat adat.

Dia bilang, tak banyak kepala daerah di tanah Papua yang berani melakukan itu. “Kami berharap ini diikuti oleh semua pemimpin di Papua maupun Papua Barat, terutama anak-anak adat yang menjad kepala daerah agar melakukan hal sama.”

Ida Klasim, Tokoh Perempuan dari Wilayah Adat Moi juga berterima kasih pada Bupati Johny Kamuru. Baginya, ini bisa jadi momentum pemerintah daerah, dan pusat melihat kembali kebijakan terkait pengelolaan hutan.

“Jika tidak melibatkan masyarakat adat, bagi saya itu sebuah pelanggaran terstrukstrur dan tersistematis oleh negara.”

Dalam pengamatan Ida, wilayah-wilayah yang dikuasai perusahaan juga kantong-kantong kemiskinan. Pemenuhan hak dasar masyarakat mulai dari kesehatan hingga ekonomi masyarakat, sangat rendah.

“Apa yang dilakukan bupati, jadi pintu masuk melakukan tata kelola ruang hidup masyarakat adat, yang bersumber dari penghargaan, penghormatan, perlindungan, keberpihakan, dan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat.”

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua melakukan pedampingan terhadap masyarakat terdampak investasi. Dalam kesempatan pendampingan, dukungan bupati setempat terhadap masyarakat jarang terjadi.

“Tindakan Bupati Sorong ini yang pertama dan langsung terlihat. Dalam beberapa kasus yang kami dampingi, kami bertemu dengan bupati. Beberapa bupati yang memang memiliki persoalan sama. Sayangnya, dukungan terhadap masyarakat adat seperti ini itu baru pertama terjadi,” katanya.

GKI Tanah Papua sudah mengirim surat resmi ke PTUN dan hakim yang menangani perkara gugatan ini, sebagai dukungan kepada pemerintah Kabupaten Sorong.

Silas Kalami, Ketua LMA Malamoi mengatakan, banyak izin-izin sawit di Kabupaten Sorong ada karena keputusan sepihak pemerintah daerah sebelumnya. Pemerintah, katanya, gampang mengeluarkan izin tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

Saat ini, kondisi di Kabupaten Sorong, berbeda. Perda Nomor 10/2017 mengakomodir persetujuan bebas tanpa paksaan terhadap masyaraat adat ketika berhadapan dengan rencana-rencana investasi.

Pemerintah daerah, perusahaan, atau investor yang perlu tanah, harus memberikan penjelasan kepada masyarakat adat. Masyarakat berhak menolak atau menerima, atau mengusulkan bentuk pembagunan lain di wilayah mereka.

“Ini waktunya di mana pemerintah daerah berpihak pada masyarakat adat. Karena itu, kami bersama teman-teman organisasi masyarakat sipil, bersama Aliansi MAsyarakat Adat Nusantara mendukung penuh tindakan Bupati Sorong.”

 

Baca juga: Bupati Sorong Cabut Izin Kebun Sawit Perusahaan di Wilayah Adat Moi

Aksi mahasiswa di depan PTUN Jayapura, mendukung Bupati Sorong yang kena gugat tiga perusahaan sawit karena mencabut izin mereka. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kembalikan ke masyarakat adat

Berbagai pihak mendorong agar lahan-lahan dengan izin dicabut segera kembali ke masyarakat adat, bukan untuk investasi baru.

Silas biang, berdasarkan aturan, tanah harus kembali ke pemilik ulayat. Apalagi, masyarakat adat di wilayah-wilayah itu belum pernah melakukan pelepasan.

Adapun aturan dalam Perda Nomo 10/2017 menyebutkan, Masyarakat Adat Moi tidak boleh mengalihkan tanah kepada pihak lain. Yang akan digunakan adalah sistem kontrak.

Kalau ada marga-marga atau individu yang tanda tangan pelepasan tanah adat ke pihak lain, bisa digugat oleh saudara lain dengan gunakan perda ini.

“Perda ini kekuatan masyarakat adat untuk mempertahankan hak-haknya atas tanah, hutan, dan kebudayaannya.”

Saat in, LMA Malamoi terus mendorong pemetaan wilayah adat dan penulisan sejarah marga-marga dan sub marga di wilayah adat Malamoi. Dari tahapan pemetaan dan penulisan sejarah, selanjutnya lembaga adat mengadakan sidang adat untuk mencapai kesepakatan atas pemetaan dan sejarah yang dibuat.

Setelah proses ini selesai, hasil didorong ke bupati agar menerbitkan suray keputusan tentang pengakuan marga, wilayah adat, dan sejarah mereka.

LMA Malamoi mendorong pengakuan hak masyarakat adat, wilayah adat, dan sejarah mereka melalui peraturan daerah, peraturan bupati dan SK bupati. Dewan Adat Malamoi juga terus memperkuat kelembagaan adat di distrik sampai kampung hingga mampu memjaga wilayah adat masing-masing.

Dari pengalaman, masyarakat adat kehilangan lahan adat melalui proses-proses tidak adil. Saat proses peralihan, pengetahuan terbatas dan gampang melepaskan lahan adat. Keadaan ini, katanya, dampak dari tidak ada pendampingan dan kekosongan regulasi yang melindungi.

“Di Kota Sorong ini ada satu marga sudah tidak punya tanah lagi. Itu terjadi di Klamono, ada satu marga yang punya kampung di wilayah sawit. Itu hanya tinggal di dalam wilayah HGU sawit. Tanah sudah tidak ada.”

Bupati Sorong Johny Kamuru mengatakan, wilayah-wilayah dengan izin dicabut untuk kepentingan masyarakarat adat. Dia berharap, dukungan dari berbagai elemen. Dia meyakini keputusan yang diambil sudah tepat.

“Dari beberapa kajian, kita putuskan dicabut. Demi kelangsungan masyarakat yang hidup di sana. Demi kelestaian lingkungan, alam, demi kesinambungan pembangunan, demi Undang-undang, demi hak asasi manusia dan berbagai macam pertimbangan, akhirnya izin-izin ini kita cabut.”

 

 

******

Foto utama:  Bupati Sorong, di halaman PTUN Jayapura, usai hadiri sidang gugatan perusahaan yang izinnya dicabut. Dukungan terus mengalir pada sang bupati. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongbay Indonesia

Exit mobile version