Mongabay.co.id

Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka

 

 

Perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya sekitar 6 juta hektar atau 79,90 persen dari luas Kepulauan Bangak Belitung, merupakan habitat mamalia laut, seperti dugong. Bahkan, pada kelompok masyarakat tertentu ada tradisi berburu dugong. Mengapa?

Pada zaman kolonial Belanda, dugong telah menjadi hewan buruan bagi Orang Laut [Suku Sekak dan Sawang] yang kini bermukim di sekitar pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Bangka dan Belitung. 

”Nenek moyang kami adalah pemburu dugong handal. Mereka melakukannya secara tradisional menggunakan tombak rampang dan perahu kecil yang biasa disebut perawok atau kulek,” kata Udin [76], tokoh adat Orang Laut [Suku Sawang] di Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, dikutip dari bangka.tribunnews.com.

Hal ini diperkuat adanya ritual “numbak duyung” [menombak dugong] dalam upacara adat “buang jong” yang dilakukan Suku Sawang di Pulau Belitung. Tradisi yang dilakukan antara Agustus hingga November setiap tahun. 

Dikutip dari penelitian berjudul “Tradisi Upacara Adat Buang Jong dalam Konteks Budaya Masa Kini” oleh Aep Saepuloh tahun 2019, disebutkan ritual “numbak duyung” menggunakan mata tombak sangat tajam, dibacakan mantra, kemudian diikatkan seutas tali pada pangkal tombak. 

Namun kini, ritual tersebut hanya sebatas simbol, dialihkan pada kegiatan memancing di laut. 

“Bagi orang Sawang yang tidak bermata pencaharian sebagai nelayan, ritual ini sangat menarik dan biasanya diikuti peserta dengan antusias, sambil mengenang kehidupan nenek moyang mereka yang sepenuhnya mengharapkan hasil laut,” tulis Aep Saepuloh. 

Aktivitas perburuan atau jual-beli dugong di Bangka Belitung juga banyak dipengaruhi oleh sejumlah kepercayaan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir timur Pulau Bangka.

Baca: Ada Apa dengan Dugong?

 

Dugong yang dievakuasi Alobi Foundation dari rumah warga dalam kondisi mati. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Air mata cinta 

Penelitian berjudul “Short Communication: Dugong dugon Müller, 1776 [Sirenia, Dugongidae] in Bangka Island” oleh Randi Syafutra, Wahyu Adi, Muhamad Iqbal dan Indra Yustiani pada 2018, menyatakan bahwa masyarakat di Desa Penyak, Desa Kurau, Desa Batu Beriga, dan Desa Tukak Sadai, percaya bahwa air mata dugong dapat digunakan sebagai ramuan anti-penuaan dan ramuan cinta. 

Khusus di Desa Kurau, yang mayoritas penduduknya merupakan keturunan Bugis, percaya bahwa dugong mati adalah hadiah dari Tuhan, mereka harus mendapatkan daging tersebut. 

“Jika tidak, mereka akan mengalami kemalangan. Kepercayaan lokal ini menyebabkan Desa Kurau menjadi lokasi penting nelayan untuk menjual dugong mati atau dagingnya,” tulis Randi Syafutra dkk.

 Sementara itu, dalam kepercayaan masyarakat Suku Lom yang tersebar di wilayah Utara Pulau Bangka, gigi dugong dapat berperan sebagai anti ilmu hitam. Beberapa bagian dugong [rambut, tulang, gigi, gading, hati, kantong empedu, dan penis] diyakini memiliki kekuatan obat di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Selain itu, tulang dugong juga dipercaya dapat memberikan perlindungan dan keberuntungan. 

Penelitian yang sama juga menyatakan, catatan terkait penemuan dugong sudah ada sejak 1976, namun berdasarkan catatan terbaru dari 1990-an hingga 2017, ada 22 ekor temuan dugong. Di antara temuan tersebut, 81,82 persen dalam kondisi mati dan 18,18 persen masih hidup. Dari jumlah itu, 50 persen ditemukan terjerat jaring insang, 40,9 persen terdampar, dan 9,1 persen terjerat atau terdapat pada jaring penghalang atau “sero”.

 Catatan temuan dugong itu bertambah, ketika ditemukannya seekor anak dugong berusia dua bulan terdampar akibat terpisah dari induknya di sekitar perairan Penggalang Tanjung Ular, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat.

“Temuan dugong akhir Desember 2020, memberi harapan masih adanya populasi dugong di wilayah perairan Bangka Barat. Setelah pada penelitian sebelumnya, tidak ditemukan populasi dugong di wilayah tersebut,” kata Randi Syafutra, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [11/9/2021]. 

Baca: Padang Lamun di Teluk Bogam, Rumah Makan Kawanan Dugong

 

Dugong ini dievakuasi dari rumah warga di Dusun Tanah Merah, Desa Baskara Bakti, Kabupaten Bangka Tengah, Jumat [10/9/2021] lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan terdampar

Jumat [10/9/2021], seekor dugong terjaring nelayan di sekitar Pantai Pasir Padi, Bangka Tengah. Mendengar kabar tersebut, Alobi Foundation dan BKSDA Bangka-Belitung langsung mencarinya. Mereka menemukan dugong tersebut dalam keadaan mati di rumah seorang warga di Dusun Tanah Merah, Desa Baskara Bakti, Kabupaten Bangka Tengah. 

Menurut Langka Sani, Ketua Alobi Foundation, sekitar pukul 10:00 WIB, tim Alobi dan BKSDA Bangka-Belitung menerima laporan dugong terdampar di sekitar Pantai Tanjung Bunga. Namun, setelah tiba di lokasi, menurut informasi warga, dugong tersebut telah diangkut sejumlah orang.  

“Kabarnya mau diperjualbelikan atau dikonsumsi.”

 Setelah dilakukan pencarian, dugong sepanjang 2,7 meter dan berat sekitar 260 kilogram tersebut, ditemukan di rumah warga di Dusun Tanah Merah dalam keadaan mati. 

“Setelah dilakukan nekropsi, dipastikan dugong tersebut tertangkap jaring nelayan, bukan terdampar, karena ada bekas luka jaring di sepanjang tubuhnya. Tertangkapnya di sekitar Pantai Tanjung Bunga, bukan Pantai Pasir Padi,” kata Langka Sani.

Sebagai informasi, dugong dilindungi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, serta UU No. 31 Tahun 2004 juncto UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 

Secara internasional, dugong berdasarkan IUCN berstatus Vulnerable atau Rentan terhadap kepunahan dan juga telah masuk dalam Appendix I CITES [The Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora] yang berarti bagian tubuhnya tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.

Baca juga: Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Hamparan padan lamun yang berada di sekitar Pulau Panjang, merupakan habitat dugong. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Sebaran populasi dan ancaman  

Hingga saat ini, belum ada data terkait jumlah populasi dugong di perairan Pulau Bangka. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Randi Syafutra dkk, semua catatan baru temuan dugong diperoleh sepenuhnya dari perairan timur Pulau Bangka. 

Di Pulau Bangka terdapat 19 titik padang lamun, yang tersebar di Pulau Panjang, Pulau Gusungasam, Pulau Ketawai, Pulau Bebuar, Pulau Lepar dan Pongok, Teluk Limau, Teluk Kelabat Luar dan Tanjung Ruh.

“Sebaran populasinya sangat terkait habitat padang lamun. Adanya dugong, menjadi indikator kesehatan ekosistem padang lamun di kawasan tersebut. Sebaliknya, tidak adanya temuan dugong disekitar perairan barat Pulau Bangka, kemungkinan disebabkan aktivitas tambang timah lepas pantai, karena dapat mengurangi kejernihan serta salinitas air laut, menghambat fotosintesis lamun,” tulis Randi Syafutra dkk. 

 

Potret Desa Kurau. Dari kejauhan, terlihat Pulau Ketawai, merupakan titik padang lamun di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Daerah [SLHD] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2016, luas ekosistem padang lamun yang merupakan habitat dugong adalah 44.050,37 hektar. Padang lamun terluas berada di Kabupaten Belitung [10.131,18 hektar] dan yang paling sedikit di Kabupaten Bangka [364 hektar].

Sementara data IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2019, menyajikan tutupan ekosistem padang lamun dalam kondisi kaya atau sehat hanya terdapat di sekitar perairan Selat Nasik, Kabupaten Belitung. Sisanya dalam kondisi miskin, kurang kaya atau kurang sehat. Kondisi padang lamun yang kurang sehat ini disebabkan sedimen dari aktivitas pertambangan. 

Randi Syafutra mengatakan, Dugong sangat bergantung keberadaan padang lamun yang merupakan habitat mereka. “Baik dugong dan padang lamun sangat sensitif dengan perairan tercemar, apalagi di Perairan Bangka sering tercemar akibat penambangan timah lepas pantai [offshore tin mining],” tegasnya. 

 

Tampak aktivitas tambang timah di wilayah pesisir Desa Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah yang marak. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Upaya konservasi

Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melakukan upaya konservasi demi kelestarian dugong. Salah satunya melaui upaya edukasi atau sosialiasi kepada masyarakat desa, mengingat masih seringnya aktivitas jual beli daging dugong. 

“Ancaman perburuan dugong kemungkinan besar masih masif terjadi walaupun sosialisasi pelestarian terus dilakukan,” kata Randi Syafutra.

Dr. Arief Febrianto, Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan proses sosialisasi terkait konservasi dugong di masa pandemi, tidak bisa dilaksanakan secara parsial. 

“Kami berharap, proses edukasi kepada masyarakat bisa dilakukan bersama para stakeholder, baik itu akademisi, media massa, pegiat lingkungan dan sebagainya. Dengan harapan, masyarakat semakin paham akan pentingnya keberadaan dugong,” lanjutnya. 

Masih menurut Arief Febrianto, saat ini belum ada penetapan wilayah konservasi khusus dugong di Kepulauan Bangka Belitung. “Penetapan kawasan konservasi lebih bersifat umum, dimaksudkan untuk menjaga harmonisasi ekosistem agar seimbang,” tegasnya. 

Sebagai informasi, dikutip dari dkp.babelprov.go.id, rincian kawasan konservasi di Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai berikut: 

 

 

Exit mobile version