Mongabay.co.id

Deru Patok Tanah ‘Istimewa’, Petani akan Terus Bertahan dan Menanam [4]

 

 

 

 

Patok-patok batu tertumpuk di pelataran Balai Desa Karangwuni, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), akhir Mei lalu. ‘Paku’ raksasa sekitar satu meter ini bakal ditanam dalam tanah, hingga menyisakan bagian atas yang tertera ukiran abjad: PAG.

PAG ini kepanjangan dari Paku Alam Ground. Istilah itu mengacu pada bidang tanah yang diklaim sebagai milik Kadipaten Pakualaman, satu dari dua swapraja di DIY. Kadipaten Pakualaman, secara turun-temurun dan dipimpin adipati bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam—berdasarkan UU Nomor 13 Tahun tentang Keistimewaan Yogyakarta merupakan Wakil Gubernur DIY, secara turun temurun pula.

Kadipaten Pakualaman, merupakan salah satu dari dua swapraja di wilayah Yogyakarta. Setiap patok hijau yang tertancap ke tanah adalah simbol klaim Paku Alam atas sebidang tanah. Klaim itu berdasarkan sejarah penguasaan tanah Kadipaten Pakualaman masa penjajahan. Kini, sebagai dasar kepemilikan tanah di Kulonprogo, kabupaten yang berjuluk “Permata dari Tanah Jawa” ini.

Di sejumlah desa lain di Kulonprogo, tapal bercap PAG itu bisa terlihat di berbagai lokasi seperti balai desa, areal pertanian, sekolah, bahkan kuburan. Paniradya Keistimewaan DIY, lembaga urusan keistimewaan di Pemerintah Yogyakarta, mengonfirmasi kalau PAG tersebar di empat kecamatan di Kulonprogo, yakni, Wates, Temon, Galur, dan Panjatan.

Penelusuran Tim Kolaborasi Liputan Agraria ke sejumlah desa menemukan, pemerintah desa—UU Keistimewaan DIY menyebut, sebagai kalurahan—sudah mendata PAG. Patok-patok pun ditemukan di lahan fasilitas umum di desa-desa itu.

Di Desa Bugel, misal, tercatat ada 15-18 bidang PAG. Di Pleret, tercatat 17 bidang PAG, termasuk 10 bidang yang terdaftar sejak 2018.

Sumarni, benarkan klaim Pakualaman atas sejumlah bidang tanah di desanya. Warga Dukuh Karangwuni itu bilang, mereka turun temurun tahu kalau lahan di Karangwuni adalah PAG, atau tanah yang sejak zaman kolonial milik Kadipaten Pakualaman.

Selaku perangkat kalurahan, Sumarni membantu pendataan bidang tanah PAG di desanya. Dia menjelaskan patok bakal ditancapkan pada bidang-bidang tanah yang diklaim PAG, seperti di makam, SD, balai desa, dan lahan pertanian pesisir. Klaim PAG juga area dari tepi laut hingga ke utara sejauh 800 meter.

“Pas pendataan PAG, kami buat kesepakatan mau pakai peta desa atau kesepakatan. Warga minta dari peta desa,” katanya.

Tim Kolaborasi Peliputan Agraria yang menemukan lebih banyak patok PAG di utara Jalan Daendels. Kalau di sisi selatan, letak patok PAG berada di sekitar Jalan Daendels, seperti di SDN Pleret Timur.

 

Baca juga: Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]

Patok PAG di pemakarman di Kulonprogo. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Warga protes

Tak semua warga mengakui klaim PAG. Di Pleret, tanah yang dalam proses pendaftaran PAG ternyata mengantongi status kepemilikan.

Penolakan antara lain terjadi saat Pemerintah Kalurahan Pleret mendata bidang tanah seluas 1.000 meter persegi sebagai PAG, lantas memasang patok PAG di sana. Ternyata, tanah 1.000 meter persegi ini bersertifikat hak milik (SHM) seluas 2.000 meter.

SHM itu milik keluarga mantan Gubernur Jawa Tengah, almarhum Muhammad Ismail (periode 1983-1993), terbitan Badan Pertanahan Nasional pada 2002. Di tanah itu, bahkan berdiri joglo untuk aktivitas warga.

“Ahli waris putranya Pak Ismail, melihat patok (PAG). Akhirnya disampaikan kalau (tanah yang dipatok) sudah SHM. Karena diprotes akhir 2020, kami mengajukan pembatalan pendaftaran PAG, tapi belum ada respons,” kata Jagabaya Desa Pleret, Eko Prasetyo, April lalu. Jagabaya ini sebutan untuk jabatan Kepala Seksi pemerintahan desa di DIY.

Pemerintah Kalurahan Pleret mengajukan pembatalan pendaftaran penyertifikatan tanah untuk PAG. Permohonan pembatalan itu belum juga jawaban Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo.

Eko dan perangkat Pemerintah Kalurahan Pleret juga menghindari pendataan di pesisir, karena kebanyakan bidang tanah sudah menjadi lahan pertanian para petani Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Lahan berpasir hitam yang dulu dianggap ‘gurun’ pasir tandus dan gersang itu sudah menjelma jadi kebun hortikultura dan tambak kelolaan warga.

Kalurahan Pleret, belum memproses pendaftaran PAG, demi menghindari konfrontasi dengan petani lahan pasir, terutama para aktivis PPLP-KP.

“Untuk (tanah PA bagian) selatan, lahan pasir. Kebetulan warga kami ada paguyuban (PPLP). Ketika membicarakan tanah PA, responsnya sangat kurang,” kata Eko.

Serupa terjadi di Kalurahan Bugel, Panjatan, Kulonprogo. Tri Sujoko, Jabagaya Kalurahan Bugel, memilih berhati-hati mendaftar dan penyertifikatan PAG di desanya. Dia berkaca dari pengalaman Pemerintah Pleret yang ditentang warga.

“Masih dipertimbangkan. Desa Pleret aja mendaftarkan kuburan (tanah PA) jadi ramai.”

Sujoko menyebut, status tanah sebagai PAG sebenarnya tercatat dengan jelas di dokumen lama seperti peta desa. “Itu sudah ada datanya. Kelihatan kok tanah PA itu,” katanya sembari membentangkan peta desa di atas meja kerjanya.

 

Baca juga: Petani Hidup Makmur dari Menanam di Lahan pasir Pesisir Kulonprogo [2]

Lahan pasir petani sebagai lahan pertanian profuktif ini disebut masuk dalam konsesi perusahaan tambang. Bukan itu saja, sebagian malah disebut sebagai PAG. Petani pun menolak. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Hidup lagi

Konflik lahan antara petani PPLP-KP dengan perusahaan tambang PT Jogja Magasa Iron (JMI) memasuki babak baru sejak terbit UU Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimewaan DIY).

UU baru itu jadi dasar kelahiran Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta tentang tanah Kasultanan dan Kadipaten, kini jadi dasar pendataan dan pemasangan patok PAG maupun Sultan Ground (SG) di Yogyakarta.

Klaim Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman atas tanah-tanah berstatus SG dan PAG didasarkan hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda melalui Rijksblaad Kasultanan Nomor 16/1918. Rijksblad Pakualaman Nomor 18/1918, menyatakan, Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan SG dan PAG sebagai “tanah milik” dua swapraja di tengah Pulau Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Nomor 16/1918 menyatakan, “Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagunganne Kraton ingsun Ngayogyakarta. Rijksblad Pakualaman Nomor 18/1918 pun punya isi serupa.

Kedua rijksblad itu menyatakan, semua bidang tanah yang belum/tidak bersertifikat hak Eigendom atau hak milik jadi milik Kasultanan Ngayogyakarta atau Kadipaten Pakualaman. Aturan itu diperkuat dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 23/1925 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 25/1925.

Kus Antoro, peneliti agraria mengatakan, penggunaan Rijksblad sebagai dasar mengatur pertanahan di DIY bertentangan dengan UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Diktum IV UU itu menyebutkan, hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlaku UU ini dihapus dan beralih kepada negara. Alhasil, SG dan PAG semestinya dihapus dan jadi tanah negara.

Pada 9 Mei 1984, Presiden Soeharto menetapkan, Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 33/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU Nomor 5/1960 di Propinsi DIY, diisusul Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66/1984 soal pemberlakuan sepenuhnya UU Pokok Agraria di DIY.

Paku Alam VIII, Wakil Gubernur DIY pada 22 September 1984 menandatangani Peraturan Daerah Nomor 3/1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU Nomor 5/1960 di DIY.

Perda yang diundangkan pada 24 September 1984 itu menegaskan, penghapusan seluruh klaim Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman atas tanah berstatus SG dan PAG di DIY.

Penjelasan Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 3/1984 bahkan merinci perundang-undangan daerah yang dinyatakan tidak berlaku. Antara lain, Rijksblad Kasultanan Nomor 16/1918, Rijkasblad Paku Alaman Nomor 18/1918, Rijksblad Kasultanan Nomor 11/1928 jo Nomor 2/1931. Lalu, Rijkasblad Paku Alaman Nomor 13/1928 jo Nomor 1/1931, Rijksblad Kasultanan Nomor 23/1925, dan Rijkasblad Pakualaman Nomor 25/1925.

“Jadi, sudah terang semua klaim yang didasarkan kepada Rijksblaad Kasultanan atau Rijksblad Pakualaman sudah tidak berlaku. Aturan itu sudah dinyatakan tidak berlaku sejak 1984,” katanya.

Namun, katanya, UU Keistimewaan seperti mesin pembalik waktu. UU Keistimewaan menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai Badan Hukum Warisan Budaya yang berwenang mengatur lima hal di DIY, yakni kelembagaan, pertanahan, tata ruang, kebudayaan, dan pengisian jabatan.

“UU Keistimewaan jadi alasan utama perubahan struktur penguasaan tanah di DIY. Aturan Rijksblad yang sudah dihapus diwariskan semangatnya kembali dipakai sebagai landasan mengklaim tanah-tanah swapraja yang dulu sudah jadi tanah negara,” katanya.

Kasultanan Ngayogyakarta mendata semua tanah SG di DIY. Begitu pula dengan Kadipaten Pakualaman, kembali mendata PAG mereka yang sebagian besar ada di Kabupaten Kulonprogo.

 

Baca juga: ‘Pasal Siluman’ dalam RTRW Yogyakarta Beri Jalan Tambang, Tumpang Tindih dengan Proyek Jalan [3]

Hasil panen warga pesisir Kulonprogo. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Dokumen yang diperoleh Tim Kolaborasi Liputan Agraria dari Dinas Pertanahan Kulonprogo merinci PAG yang terdaftar sejak 2017, proses reklaim tanah SG dan PAG itu bahkan diongkosi dengan anggaran Dana Keistimewaan, tak lain adalah anggaran publik bersumber pajak warga.

Klaim PAG itu antara lain di Karangwuni ada enam bidang dengan luas 167.820 meter persegi dan Karangsewu memiliki 40 bidang seluas 34.355 meter persegi. Di Pleret 12 bidang dan Bugel satu bidang, meski belum terdata luasannya. Dari daftar ini, sedikitnya 59 bidang dan lebih dari 200.000 meter persegi atau 20 hektar PAG terdaftar.

Koentjoro Tri Hatmono, staf Kawedanan Keprajan Puro Pakualaman yang mengurusi PAG, meyakini lahan-lahan untuk sarana umum di desa-desa Kulonprogo adalah PAG. “Tidak mungkin kami tidak miliki tanah. Apa tanah kuburan dan jalan itu wakaf dari masyarakat?” katanya.

Koentjoro bilang, pendataan PAG melibatkan Kawedanan Keprajan Puro Pakualaman, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY, dan Badan Pertanahan Nasional. Urutannya, pihak desa diminta mengisi formulir pendataan PAG dari Dispentaru sesuai peta desa.

Formulir itu lalu diajukan ke Dispertaru, Pakualaman, hingga BPN yang akan diverifikasi petugas ukur hingga dipasang patok atau tanda batas. Pernyataan pemasangan patok di sejumlah desa diteken lurah dan Koentjoro.

“Kami diikutsertakan (saat pengukuran) selaku pemilik tanah, soalnya kami juga belum tahu tanah itu,” katanya akhir April lalu.

Setelah pendataan dan pematokan tanah, BPN akan menerbitkan sertifikat hak milik atau (SHM PAG). Kalau sertifikat terbit, warga yang menempati bidang tanah itu harus mengurus Surat Kekancingan, semacam surat izin Kadipaten Pakualaman kepada warga untuk menggunakan bidang tanah itu, dengan membayar biaya sewa tanah kepada Pakualaman.

Menurut Koentjoro, penerbitan SHM PAG tidak serta merta membuat warga pengguna tanah itu angkat kaki. “[Tanah yang terbit sertifikatnya] tetap boleh dikerjakan [warga], tapi administrasi harus diajukan. Selama ini liar semua.”

Klaim PAG atas tanah itu mengalirkan banyak uang kepada Kadipaten Pakualaman, misal, dalam ganti rugi tanah proyek Yogyakarta International Airport (YIA). Dari total 587 hektar tanah yang dibebaskan untuk proyek itu, 163 hektar diklaim sebagai PAG, kendati selama ini sebagian besar digarap petani.

Walhasil, Kadipaten Pakualaman menerima Rp701 miliar dari total Rp4,1 triliun ganti rugi dari pemerintah.

Puro Pakualaman, KRT Projo Anggono mengatakan, kasus ganti rugi bandara, Pakualaman tetap memberikan ganti rugi atas tanaman dan tanah masyarakat. “Kalau (ganti rugi) tanah tetap ke PA, kita tetap kasih tali asih ke petani. Ya semua (tanah) di ladang petani,” kata Projo, 21 Aplril lalu.

KPH Kusumoparastho, Pengageng Urusan Pambudayan Pura Pakualaman, mengatakan, ganti rugi yang diterima Kadipaten Pakualaman dari bandara makin memperbaiki perekonomian Puro Pakualaman. “Sudah membaik, sudah rada klimis karena (ganti rugi dari) bandara ne payu (laku). Kan paksa dijual,”ujar Kusumoparastho.

Pakualaman terus melanjutkan pendataan dan pemasangan patok PAG. Kata Koentjoro, pendataan PAG mengikuti program pemerintah dan Pemerintah DIY. “Ikuti prosedur yang ada. Kalau mentok, tinggal [sultan atau adipati] selaku gubernur atau wakil gubernur minta, bisa tidak dinas menyelesaikan. Kami juga tidak imingi atau beri janji untuk mau didata. Selama ini kan mereka sudah mengerjakan dan dapat hasil dari PAG,” kata Koentjoro.

 

Spanduk penolakan tambang pasir di pesisir Kulonprogo. Foto: Tim Kolaborasi Liputan Agraria

 

Kepentingan tambang?

Widodo, Koordinator Lapangan PPLP-KP, mengatakan, para petani lahan pasir keras menolak pendataan dan pemasangan patok PAG di Kulonprogo. Bagi mereka, sejak awal klaim PAG itu merupakan kepentingan JMI agar mengosongkan area yang tertera dalam kontrak karya perusahaan tambang pasir besi itu.

Logika para petani PPLP-KP sederhana, dari 2.977 hektar area yang tertera kontrak karya JMI sebagai wilayah tambang pasir besi, luasan 1.263 hektar masuk klaim sebagai PAG. Para petani juga tahu, di balik JMI itu, ada JMM, kepemilikan saham dikuasai bangsawan Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diakses pada 7 September 2021 menunjukkan, 210 dari total 300 lembar saham JMI dikuasai Indo Mine Ltd, sebuah perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas saham dimiliki Rajawali Group.

Sekitar 90 lembar saham lain JMI, setara 30%, dimiliki PT Jogja Magasa Mining (JMM), perusahaan tambang lokal di DIY.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diakses 5 Maret 2021 merinci, siapa saja pemegang saham JMM dengan jumlah mencapai 300 lembar. Sekitar 90 lembar saham JMM dikuasai PT Mitra Westindo Utama. Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi menguasai 75 lembar saham JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham JMM. Sejumlah 50 lembar saham JMM lain milik kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham JMM, milik Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.

Desa-desa dengan warga menolak rencana tambang JMI cenderung resisten menolak upaya pendataan dan pemasangan patok PAG. Sebaliknya, di desa dengan warga relatif setuju dengan rencana tambang JMI, pendataan dan pemasangan patok PAG berjalan mulus.

Proses sertifikasi PAG di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates misal. Di Dukuh Karangwuni, kata Sumarni, pendaftaran PAG mulai sejak 2016, lewat program sertifikasi tanah dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo. “Seperti makam, sudah disertifikatkan dari 2016. Makam-makam di sini sudah diajukan sertifikat, itu tanah PAG,” katanya.

Sebaliknya, di desa-desa yang menjadi basis PPLP, warga keras melawan pendataan dan pemasangan patok PAG. Suparno, warga Karangwuni, satu dari segelintir orang di desa itu yang menolak tambang. Keluarganya pun sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan karena penolakan ini.

Dia sempat dipanggil Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2016 saat Paku Alaman menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Panggilan dilayangkan lantaran dia keberatan lahan garapan dipagari JMI. Apalagi, lahan yang digarap turun temurun selama 20-an tahun ini diklaim milik Pakualaman.

Ketika klaim PAG disusul pemancangan patok-patok, warga melawan dengan mencopot patok di makam Somolah, Dusun Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, pertengahan 2019. “Dulu, di makam ada empat patok. Sekarang, sudah hilang dicopot warga,” kata Eko Prihandono, petani Karangsewu. Dia menunjukkan titik bekas patok di sudut makam itu.

Aksi serupa muncul di Desa Pleret, Kecamatan Panjatan. Marwoto, menunjukkan sisa dua patok PAG dari empat patok yang ditanam di makam desa. “Ditolak masyarakat, dicopot, lalu diganti cor-coran dan pipa paralon.”

 

Beragam hasil panen petani pesisir Kulonprogo yang terancam tambang pasir. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

***

Tigapuluh satu Maret malam, rumah Marwoto, warga Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, Kulonprogo, ramai orang. Widodo dan Suparno, petani juga aktivis PPLP KP, menyambut tamu di mulut halaman rumah Marwoto.

Tamu didominasi lelaki paruh baya dari desa tetangga itu duduk meriung beratap tenda. Di sekeliling mereka, spanduk-spanduk menentang dan menolak tambang pasir besi terpajang.

Malam itu, mereka berdoa bersama, mendoakan PT JMI batal melanjutkan nambang pasir pesisir Kulonprogo. Usai doa bersama, Ketua PPLP-KP, Supriyadi menyatakan lagi komitmen bersama para petani pesisir Kulonprogo.

“PPLP-KP tetap komit sampai kapan pun, menentang tambang pasir besi.”

Syukuran hari lahir PPLP-KP diawali dengan wiridan dipimpin sesepuh, K.H Nurhadi Al Asbi, diikuti jamaah dengan takzim. Pemotongan nasi kuning ingkung oleh Kyai Nurhadi sebagai ucapan syukur untuk panjang umur perlawanan.

“Kami akan tetap komit sampai kapan pun, menentang tambang pasir besi,” kata Supriyadi, Ketua PPLP-KP memberikan spanduk.

Yogi Zul Fadli, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyebutkan, ada tiga hal penting dari perjuangan PPLP-KP selama 15 tahun yakni, konsistensi menjaga alam, merawat lingkungan, dan menghargai hasil bumi dari alam dan petani.

“Selama tambang belum pergi dari sini, bapak ibu ampun kesel, ampun capek untuk terus berjuang sampai benar-benar tambangnya pergi dari sini, sampai perusahaan tambang itu gak ada lagi. Jangan pernah lelah, jangan pernah takut, sepanjang panjenengan melakukan hal benar,” katanya.

Pandemi COVID-19 membuktikan betapa penting peran petani sebagai penghasil pangan dalam kondisi krusial. “Apakah pandemi ini bisa makan bahan tambang, apakah bisa makan besi? Kan mboten, toh. Kalau krisis, yang dibutuhkan pertama kali apa selain kesehatan? Kebutuhan atas pangan.”

 

Petani pesisir Kulonprogo bergiat menanam di lahan pasir. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Tak pasti?

Supriyadi dan para petani lahan pasir lain belum juga menemukan titik terang dan kepastian JMI batal menambang. Bahkan, ketika ada sejumlah proyek nasional dibangun di pesisir Kulonprogo—termasuk proyek Bandara Yogyakarta International Airport—tetap santer terdengar kabar bahwa JMI akan melanjutkan rencana mereka.

Fajar Gegana, Wakil Bupati Kulonprogo, bilang tak tahu apakah JMI benar-benar menambang pasir pesisir Kulonprogo, atau tak jadi. “Kontrak karya ini betul-betul mau dijalankan, apa hanya semacam prototype project yang notabene tidak selesai-selesai? Kami melihat ternyata mengolah pasir besi ini tidak semudah mengolah bijih besi,” katanya.

Dia bilang, lahan yang masuk konsesi kontrak karya JMI merupakan lahan pertanian produktif warga. Lahan pesisir untuk bertani, membuat tambak dan wisata. Namun, katanya, Pemerintah Kulonprogo, tak bisa membangun infrastruktur pendukung kegiatan warga di pesisir itu, gara-gara status area sebagai lahan kontak karya JMI.

“Kami mau menganggarkan (APBD) di situ. Secara pertanggungjawaban, kita gak berani karena (lahan) ini masuk dalam kontrak karya.”

Repotnya, para pihak yang terafiliasi dengan JMI juga tak punya informasi yang pasti soal rencana tambang itu. Saat ditemui di acara buka puasa di Prambanan, 5April lalu, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi menyatakan, sudah keluar dari kepengurusan JMI. Dia bilang, tak tahu perkembangan perusahaan tambang pasir besi itu. Padahal, GKR Mangkubumi adalah satu pemegang saham JMM, dan perusahaan itu pemegang saham JMI.

Mbuh, ora ngerti. Aku gak tahu. Aku gak mengikuti. Aku sudah dua tahun gak ke situ (JMI). Wes metu (sudah keluar JMI) tahun lalu,” kata putri sulung Raja Keraton Yogyakarta itu.

Dia menjawab dengan berkelakar ihwal alasan keluar dari JMI. “Ora maju-maju, aku mundur.”

Bobi Sandi, Presiden Direktur JMI tak bersedia diwawancarai dengan alasan kesibukan. “Saya lagi sibuk sekali. Posisi saya juga di Jakarta terus WFH (work from home-bekerja dari rumah) karena kondisi COVID,” katanya melalui Whatsapp 14 Juni lalu.

Dia juga tak memberikan jawaban tegas soal rencana operasional JMI akan mulai tahun 2022. “Kita lihat saja nanti,” katanya.

Budi Wibowo, Mantan Ketua Komisi Penilai Amdal Kulonprogo, mengatakan, pada 2018 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan izin operasional JMI selama 30 tahun. “Sekarang JMI review amdal, (menyusun) DED (detail engineering design),” katanya.

Mantan Sekda Kulonprogo ini mengatakan, tahu perkembangan JMI dari Bobi Sandi. “Saya komunikasi dengan Pak Bobi Sandi,” katanya.

Menurut Budi, rencana pada 2022 perusahaan akan beroperasi. “Mulai 2022, beroperasi. Artinya tahun ini (transmisi alat), insfrastruktur sudah ada, tapi ada persoalan, cerobong. Kita akan memantaunya.”

Bagi petani, perlawanan itu akan terus mereka lakukan, tak akan pernah mati. Widodo bilang, petani akan terus melawan dengan cara yang bisa mereka lakukan, yakni menanam.

“Kami tetap tinggal di sini dan bertani. Kalau (gubernur) ke sini, kami akan sambut dengan apa yang kami punya. Kami hanya punya cangkul,” kata Widodo.

 

“Kami ingin proyek ini batal dan kami terus bertani.”

(Selesai)

 

 

 

Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).

 

*****

Foto uyama: Protes petani atas rencana tambang pasir besi yang mengancam ruang hidup dan lahan tani mereka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version