Mongabay.co.id

Strategi Pejuang Petani Perempuan Mempertahankan Lahan

 

Para pejuang petani perempuan memiliki beragam cara untuk mempertahankan lahan pertaniannya dari penguasaan perkebunan skala besar dan investor. Namun, setelah perjuangan menunjukkan hasil, petani perempuan kembali berjuang agar bisa mendapatkan akses lahan.

Konsolidasi Nasional Gerakan Perempuan Pejuang Reforma Agraria (KNRA) 2021 oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada Rabu (15/09/2021) menjadi ruang diskusi bagi sejumlah kelompok. Tahun ini kembali berlangsung daring.

Musdalifah dari Serikat Petani Anging Mammiri mendampingi pekerja perempuan sawit di Sulawesi Selatan. Proses panjang ini dimulai sejak 2013 dengan melakukan pendidikan kritis pada petani yang berhadapan perkebunan skala besar dan perempuan pesisir. Mereka berjuang mengakses sumberdaya akibat dampak pembangunan pelabuhan Makassar. Perempuan pesisir dinilai mampu mengorganisir diri termasuk nelayan laki-laki untuk berjuang bersama.

“Menanam jagung dan kacang panjang di sela-sela tanaman tebu, reklaim tanah yang dirampas perkebunan skala besar,” cerita Musdalifah. Perempuan pesisir di Pulau Kodingareng mengambil peran di depan untuk mempertahankan ruang hidupnya. Sedangkan perempuan petani di Luwu Utara yang berhadapan dengan perkebunan sawit mengklaim lahan dengan menanam jengkol di sela-sela tanaman.

baca : Our Mothers’ Land, Jejak Pejuang Lingkungan Perempuan Indonesia

 

Tangkapan layar konsolidasi nasional pejuang perempuan reforma agraria.

 

Hingga saat ini, petani perempuan dinilai masih mengalami dua persoalan, aspek budaya patriarkhi dan politiknya yang termanifestasi dalam kebijakan. Salah satunya menolak keras UU Cipta Kerja yang dinilai memiskinkan.

Penguatan pemberdayaan perempuan pesisir dilakukan 4-5 tahun sampai bisa perlahan mampu negosiasi dengan pengusaha dan pemerintah. Hal ini dimulai dari negosiasi dari suami, sistem pendukung utama dalam perjuangan agraria. Berikutnya menumbuhkan kesadaran kritis perempuan pada pembangunan yang merampas kehidupan, dan ini berdampak berlapis.

Strategi berikut adalah diskusi-diskusi informal dan mengidentifikasi tokoh perempuan berpengaruh di desa. Mereka membangun keterampilan untuk negosiasi, berdialog menyampaikan persoalan pada pemerintah.

Perjuangan ini juga mengidentifikasi kebutuhan perempuan. Harapannya pengelolaan tanah kolektif untuk pengembangan ekonomi rakyat. Namun dalam praktiknya, sistem tradisional masih menguntungkan laki-laki misalnya mereka mendapatkan bagian lebih banyak, 2:1.

“Perjuangan masih berlanjut terkait akses kepemilikan dan pemanfaatan. Dari pemetaan partisipatif perempuan, sebanyak 70% belum memiliki kekuatan apa yang ditanam dan memanfaatkan hasil produksi,” papar Musdalifah. Tantangannya lebih besar, tak hanya berpikir tanah kembali tapi juga posisi perempuan untuk memutuskan tanaman apa yang mau ditanam untuk kebutuhan keluarga dan ekonomi.

baca juga : Riuhnya Serikat Petani Perempuan Jawa Bali Rapat Akbar Daring Menolak Omnibus Law

 

Ilustrasi seorang petani perempuan sedang menanam padi. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Rantawati Hasibuan, dari Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Sumatera memilih pendekatan ekonomi dan pendidikan sebagai strategi perjuangan. Dimulai dari hal kecil, misal membuat usaha dan distribusi sembako untuk memenuhi kebutuhan harian dengan mencicil. Kelompok pejuang perempuan ini juga menyiapkan masyarakat adat, para kader-kader muda sebagai perangkat desa dan legislatif.

“Perempuan adat selalu di baris pertama jika ada alat berat merusak seperti posko perjuangan dan bangunan lain,” katanya. Ia menyebut para perempuan berani dan mampu berdebat mempertahankan lahan yang diperjuangkan, dan hal ini sudah langka. “Dulu hanya dengar cerita, kami tak mau kalah dengan pejuang dulu yang berani mati. Kami sangat senang dan tidak akan mundur,” Rantawati bersemangat.

Mereka berjuang reklaim di lahan komunitas dengan membuat PAUD untuk warga tidak mampu. Walau harus patungan membiayai karena semangat menciptakan kampung dan kader setara dengan pemerintah. Dilanjutkan pembuatan mushola, madrasah, dan lainnya. “Hidup ini berarti karena berjuang,” ujarnya.

Hambatan selama perjuangan pun banyak, terutama ancaman dari pengembang yang berkepentingan ke lahan adat seperti preman, investor, dan lainnya. Sejumlah arsip online menunjukkan sejumlah penelitian yang meneliti strategi dan komunikasi BPRPI dalam mempertahankan tanah adat/ulayat karena pemerintah yang menerbitkan HGU secara sepihak. Hal ini dinilai sebagai pembiaran dan pengabaian hak atas tanah petani dan masyarakat adat yang telah diakui Konstitusi dan UUPA 1960 sebagai Hukum Adat Tanah.

Salah satu misinya adalah hak akses tanah bersama, bukan kepemilikan pribadi. Kini banyak rumah yang terbangun di kampung-kampung untuk mempertahankan tanah ulayat.

baca juga : Cerita Para Perempuan Penjaga Hutan

 

Perempuan petani sedang memanen kacang di sekitar kawasan Hutan Desa Campaga. Hutan telah memberi berkah ekonomi berupa air yang bisa mengairi sawah dan pertanian lain di sekitar kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ujung tombak perekonomian

Idah dari Paguyuban Petani Cianjur dalam strategi perjuangannya membuat kebun kolektif bahan pangan. Akses atas lahan dinilai sangat penting karena perempuan lebih berperan dalam pengembangan pertanian. “Perempuan lebih kuat dan pengalaman menanam cabe, kacang, jagung. Laki-laki membantu,” tuturnya.

Sementara itu Made Adriningsih dari Serikat Tani Konawe Selatan berjuang lebih 10 tahun memperjuangkan akses tanah transmigran yang dimanfaatkan kebun sawit. Awalnya ia mengaku tidak tertarik dengan konflik agraria karena guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kesadarannya tumbuh setelah melihat suami sering ikut berjuang untuk mendapat akses lahan. “Betapa pentingnya tanah untuk perempuan, untuk hidup dan bertani,” ceritanya.

Perempuan jadi ujung tombak dalam ekonomi, dan paling merasakan dampaknya terutama kalau tidak punya lahan. Adriningsih kemudian mengajak teman-temannya, mulai membahasnya dari hal kecil. Misalnya dari hal-hal yang mereka dengar dari diskusi-diskusi petani laki-laki.

Kelompok perempuan di lahan transmigran ini mengolah hasil kebun seperti ubi kayu dan nanas, mengolahnya jadi bahan bernilai tambah seperti selai dan dodol. “Awalnya saya tidak paham KPA, reforma agraria ternyata tentang hidup saya dan anak-anak,” ingatnya.

Perubahan yang terjadi setelah proses penyadaran ini adalah, sebelumnya merasa takut dan kurang percaya diri berhadapan dengan investor. Namun ada pendampingan dari KPA seperti tokoh perempuannya Dewi Kartika, yang membuat keberaniannya muncul. “Ternyata kita tidak sendiri. Suami menyemangati dan mendukung,” sebutnya.

Bahkan, perjuangan kini bisa melibatkan perempua muda generasi penerusnya. Salah satunya Luluk, baru lulus SMA ikut membantu dalam proses-proses diskusi, mereka saling menularkan semangat, dan berbagi apa masalah yang dihadapi.

perlu dibaca : Potret Perempuan dari Tak Punya Hak Lahan sampai Kondisi Miris di Kebun Sawit

 

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang. Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Erni Kartini dari Konsorsium Pembaruan Agraria mengingatkan hak atas tanah harus diperjuangkan tanpa embel-embel malu dan tidak percaya diri. Terlebih konflik agraria adalah jalan melelahkan dan panjang. “Perempuan jadi energi percepatan agraria. KPA sudah dua tahun fasilitasi pertemuan perempuan pejuang hak atas tanah. Sebelumnya fokus advokasi hak atas tanah,” katanya.

Kisah-kisah keberanian perempuan ini telah menyebar. Misalnya perempuan adat Sumatera tanpa keraguan dan takut mulai menghadapi preman dan korporasi karena terpanggil. “Jika tak dipertahankan, kemiskinan akan berlanjut. Organisasi memfasilitasi perjuangan karena banyak tantangan internal dan eksternal,” lanjutnya.

Dalam sesi diskusi, refleksi pun muncul dari gerakan pejuang perempuan lainnya di Indonesia. Ni Made Indrawati, Koordinator KPA Bali mengatakan kini sudah ada hasil yakni redistribusi lahan konflik agraria karena peran perempuan. Salah satunya kelompok perempuan di Desa Sumber Klampok. “Begitu besar peran redistribusi tanah untuk rakyat. Namun saat finish, perempuan tak banyak bisa akses hasilnya,” keluhnya. Mereka berusaha mempertahankan lahan yang sudah dikelola puluhan tahun agar tidak jatuh ke investor.

Strategi lain disampaikan Yani, KPA Jawa Barat. Ia mengisahkan pengalamannya 25 tahun mendampingi dan memilih pintu masuk melalui perempuan yang paling dipandang lemah. “Door to door ke rumah, laki-laki ditanya, kenapa perempuan tak dilibatkan?” herannya saat memulai. Berikutnya perempuan dikumpulkan, lalu muncul pendapat berbeda. Laki-laki dan perempuan lalu digabungkan untuk mencari kesepakatan karena perjuangan konflik agraria ini harus diselesaikan dulu di tingkat keluarga. Hal ini untuk mencegah dampak masalah rumah tangga seperti perceraian, dan lainnya. “Perempuan terampil, jika terorganisir pasti berhasil,” Yani yakin.

Sedangkan Abdon Nababan mengatakan kisah-kisah pejuang perempuan ini menggerakkan dan perlu didokumentasikan. Cerita-cerita merangkum pengalaman perempuan pejuang agraria di seluruh Indonesia.

 

Perempuan di Semende yang tidak hanya bertani tetapi juga menjaga bentang alam di kaki Bukit Barisan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version