- Empat pejuang lingkungan perempuan memberi makna atas perlawanannya untuk mempertahankan tanah dan kelestarian lingkungan.
- Mereka yaitu Sukinah, Aleta Baun, Eva Bande dan Farwiza menggunakan ragam strategi unik dan melawan dengan kolektif.
- Tak hanya memimpin aksi, juga mengembangkan kapasitas warga serta menghidupinya sampai kini.
- Film dokumenter Our Mothers’ Land adalah sejarah tentang perjuangan menjaga lingkungan Indonesia.
Konflik-konflik agraria dan mempertahankan lahan hijau diperkirakan akan terus terjadi di Indonesia. Terlebih disahkannya omnibus law, sebuah super regulasi yang dibuat untuk memuluskan keran investasi.
Gerakan kolektif pejuang-pejuang lingkungan perempuan dalam film dokumenter Our Mothers’ Land, dari The Gecko Project dan Mongabay ini adalah jejak dan sejarah Indonesia. Mengingat makin banyaknya konflik terbuka terkait tanah dan menjaga alam, daftar pejuang ini akan lebih panjang.
Kisah pengarsipan ini dibuka dengan testimoni Febriana Firdaus, jurnalis perempuan dan tim penulis film ini dalam perjalanan menemui empat tokoh utamanya. Perempuan yang memimpin gerakan massa dengan ragam strategi unik, ada yang ditangkap dan dipenjara.
Di penjuru Indonesia, ratusan pedesaan sedang menghadapi konflik dengan korporasi yang ingin menguasai sumber daya mereka. Ketika mereka melawan, mereka harus menghadapi konsekuensinya. Febriana menemui wanita yang telah bangkit untuk memimpin gerakan sosial menghadapi kekerasan, hukuman penjara, dan penghakiman dari masyarakan konservatif saat mereka berjuang untuk hak mereka.
Sebagai perempuan Jawa, Febriana merasa, konstruksi sosial membatasi gerak gerik perempuan di masyarakat konservatif. Karena itu ia hendak menemui perempuan yang tak hanya tampil bersuara namun memimpin peralawanan. Menghadapi ancaman pemenjaraan dan kekerasan. Perjalanannya dimulai dari pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Di Desa Tegaldowo, sejumlah petani perempuan panen jagung sambil menyanyi hymne-nya. “Ibu bumi wis maringi …”
baca : Perempuan Kendeng Pertanyakan Operasi Pabrik Semen di Masa Pandemi
Sukinah mengaku sebelumnya belum pernah keluar Kendeng. “Anak muda mendengar pabrik semen masuk dan pegunungan mau eksploitasi. Warga studi banding ke Tuban, melihat langsung (pabrik semen di sana) merusak semuanya, lingkungan, masyarakat, sosial,” kisahnya. Akhirnya sebagian warga Rembang tak percaya pabrik ini untuk kesejahteraan.
Kehidupan agraris yang lekat dengan tradisi penghormatan alam pun nampak di tradisi Ketupat, 7 hari setelah Idul Fitri. Sebagai umat Islam, warga sekitar juga mengamalkan keyakinan Samin, sebuah kepercayaan sosial untuk mengutamakan hidup bersama dan menghormati alam.
“Kalau aksi ibu harus di garis depan agar tak ada yang anarkis. Tatap muka dengan polisi, laki-laki mungkin marah, ibu mengendalikan agar tak ada kekerasan. Gerakan lingkungan tak harus (dilakukan oleh) bapak,” Sukinah memberi makna pada apa yang dilakukannya.
Juni 2014, pembangunan pabrik semen dimulai, 100 perempuan demo di lokasi. Mereka mengenakan caping membawa bendera. Aparat membubarkan. Warga bertahan di lokasi, sampai sebuah peristiwa kekerasan terjadi, pada November mereka ditarik paksa dari lokasi. Ibu menolak, ada yang digendong sambil menyita sarana protes mereka. “Walau ada kekerasan aparat dan preman, kita tak pantang menyerah. Terus maju untuk anak cucu,” tekad Sukinah.
Di bawah pegunungan Kendeng yang berupa tutupan kars, diyakini ada aliran air. Warga takut kerusakan dan kesulitan akses air. Ibu bumi terluka, ibu bumi mencari keadilan. Sukinah memimpin parade obor ke sumur, untuk menghormati sumber air.
baca juga : Warga Nilai Tambang Semen Itu Hama Perusak di Pegunungan Kendeng
Walau kehidupan di ruang publik di Jawa didominasi laki-laki tapi di Kendeng bisa mengekspresikan diri. Pada April 2016, setelah protes hampir dua tahun, mereka bergerak ke Jakarta. Sukinah dan delapan perempuan petani lain menanam kaki di depan istana negara. Gerakan inilah dikenal Sembilan Kartini Kendeng.
Menggunakan alat penarik, petani yang sudah menyemen kakinya ini menuju depan Istana Negara tiap pagi. Mereka duduk di bawah terik dengan perlindungan caping. Bayangkan rasa sakit dan kakunya melakukan ini tiap hari. Sampai akhirnya pada Agustus, Presiden Joko Widodo berjanji membekukan pabrik, diikuti dua bulan kemudian pemerintah menilai izin lingkungan ilegal tapi proyek terus berjalan.
Maret 2017, salah seorang perempuan meninggal saat akan kembali ke Kendeng, Yu Patmi, pejuang ini meninggal diduga karena serangan jantung. Warga didukung komunitas dan arsitek pun menghormati Yu Patmi dengan membangun Langgar, mushola kecil yang dimimpikan mendiang. “Walau Yu Patmi sudah pulang tapi masih mengawal. Jiwaku tak pernah dikubur walau jasadku dikubur,” Sukinah mengenang rekannya.
“Apakah mereka bisa menang, saat penguasa dan pengusaha bergandengan tangan. Mereka sudah berjuang enam tahun,” tanya Febriana.
perlu dibaca : Mengenang Yu Patmi, Pengingat Segera Jalankan KLHS Pegunungan Kendeng
Aleta Baun
Tim ini melangkah ke Pegunungan Timor. Pada 1990-2000 masyarakat adat Mollo melakukan perlawanan dengan menenun di atas batu.
Lodia Oematan, salah satu mama penenun napak tilas. “Lebih baik mama-mama menenun agar tetap punya hak milik. Menahan dengan tenun. Menolak, menolak, bor batu di samping kaki mama. Selama pendudukan diserang preman, dilindungi aparat,” ingatnya.
Para mama meninggalkan pertanian satu tahun, kebun tak ditanam. Alat tenun ikat dibawa di atas bukit, mereka menenuh di antara pohon, di atas batu. Lodia menyebut perlawanan ini membuatnya sakit tak hanya fisik juga psikisnya.
Salah satu tokoh gerakan ini adalah Aleta Baun yang kemudian diapresiasi dengan penghargaan internasional. “Saya anak kepala suku tapi tak mendapat mandat karena perempuan. Berhasil merangkul, berjuang melawan tambang,” ujarnya. Menurutnya hal penting dari pengalamannya adalah penguatan masyarakat adat untuk memperdalam filosofi lingkungan.
“Saya belajar dari alam daripada manusia yang membohongi saya. Pengetahuan unik dan mujarab, bukan buku. Warga harusnya menjual apa yang mereka hasilkan buka tanah atau gunung,” kata Aleta.
perlu dibaca : Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun
Eva Bande
Perjalanan napak tilas menuju Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Eva Susanti Bande. Empat tahun dipenjara setelah ditangkap saat memimpin perlawanan petani di daerahnya sendiri. “Ini kampung kelahiran, tapi pas pulang seolah merasa diawasi. Dianggap mengganggu keamanan bisnis,” Eva menenangkan diri saat masuk mobil.
Ia mengorganisir petani melawan perkebunan sawit sampai berakhir di penjara. Eva mengajak ke Serikat Petani Piondo, balai pejuang tanah air, perpustakaan, dan apotek komunitas yang melawan ini. Cara mempertahankan tanah gerakan ini adalah dengan menduduki area, berkebun sebagai benteng pertahanan petani atas ekspansi sawit dan Hutan Tanaman Industri.
Usaha perlawanan ini berujung teror, warga didatangi aparat di rumahnya serta menangkap sejumlah orang. Salah satunya Nuril. Ibunya tak kuasa mengisahkan kepedihannya sampai minta jangan ditanya-tanya lagi. Selain anak, suaminya juga terdampak. Beberapa bulan setelah Nuril dibebaskan, suaminya meninggal. Selama kehilangan anak, sang bapak tak pernah tenang.
Sekitar 24 orang disebut ditahan saat aksi, ketika pada Mei 2010 eskalasi protes meninggi. “Belum sempat peluk Nuril langsung dibawa polisi. Ingat terus anak saya. Trauma, takut suara,” lirih sang ibu.
Ditinggal para suami, para perempuan menafkahi diri sendiri. Membentuk koperasi untuk meningkatkan kehidupan anggotanya. “Senasib ngumpul, suami ditangkap, ayo bareng,” seloroh mereka. Eva Bande pun sulit menjelaskan ke anaknya yang jenguk ke penjara, “Ini sekolah, ibu mengajar,” kilahnya. Anaknya kemudian menyadari dan menabahkan diri menunggu sang ibu pulang.
Eva mendapat grasi dari Jokowi pada 2014 setelah terpilih jadi presiden. Eva menitip pesan, ada banyak pejuang agraria lain yang dipenjara. “Tantangan berhadapan dengan modal, mental harus kuat. Sendiri jadi bersama, mengusir ketakutan jadi kekuatan.”
perlu dibaca : Hancurkan Kawasan Konservasi, Tangkap Murad Husain, Bebaskan Eva Bande
Perjuangkan Lingkungan
Tujuan akhir Febriana setelah dua minggu perjalanan adalah Aceh. Menemui sosok Farwiza. Salah satu tokoh melawan pengerusakan hutan di Taman Nasional Leuser. Perempuan Aceh ini memilih dekat hutan sambil meneliti, menggandeng media, dan mendorong pemerintah untuk perbaikan kebijakan. “Pekerjaan melindungi hutan seringkali depan sidang, ruang rapat, dan komputer,” kutipannya yang kuat di salah satu forum diskusi internasional.
Ia mengingatkan perjuangan atas lingkungan tak akan berakhir, terus berlanjut ke generasi berikutnya. Our Mothers’ Land disutradarai Leo Plunkett, dengan dukungan video dan ilustrasi yang menggugah dan kuat.
Febriana mengingat perjumpaannya dengan Sukinah depan Istana Negara memicu pengarsipan pejuang perempuan ini. Direncanakan sejak 2018, diwujudkan dengan dukungan The Gecko Project dan Mongabay serta tim produksi lainnya. Dokumenter ini tayang perdana di website Festival KEMBALI 2020 secara streaming dengan akses terbatas pada 29 Oktober. KEMBALI adalah kolaborasi event Ubud Food Festival dan Ubud Writers and Readers Festival yang tak bisa dihelat offline tahun ini. Selanjutnya film ini akan tayang di kanal Youtube The Gecko Project dan kanal Youtube Mongabay Indonesia.