Mongabay.co.id

Kala Hutan Terus Tergerus, Halmahera Tengah Langganan Banjir

Rumah warga di Weda Tengah tergenang awal September lalu. Foto: dari Facebook Munadi Kilkoda

 

 

 

 

Hujan lebat mengguyur Maluku Utara, awal September lalu. Angin kencang dan petir bergemuruh. Sungai-sungai besar di sejumlah kabupaten meluap ke ruas-ruas jalan raya dan pemukiman. Ratusan rumah warga berubah jadi aliran sungai.

Halmahera Tengah, salah satu kabupaten yang alami banjir bandang, seperti di beberapa desa sekitar kawasan industri nikel terutama di Desa Kulo Jaya, Woejarana, Woekop, dan Dusun Lukulamo, Lelilef Woibulen, Kecamatan Weda Tengah. Ada sekitar 484 keluarga terdampak banjir dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halteng.

Banjir dari luapan Sungai Kobe pada 8 September lalu itu setinggi lebih semeter. Rumah warga di empat desa nyaris tenggelam. Perabotan rumah dan bahan makanan juga tersapu banjir dengan air berwarna kecoklatan.

Prakirawan BMKG Stasiun Kelas I Sultan Babullah Ternate mencatat, curah hujan pada 8 September di Weda adalah 94,5 mm per detik. Ini termasuk hujan ekstrem.

Setyawan, bagian Data dan Informasi BMKG Ternate, mengatakan, curah hujan sebesar itu bisa menyebabkan banjir tetapi kalau sistem drainase baik, banjir bisa segera berlalu.

“Hujan ekstrem, namun belum kategori sangat ekstrem yang mampu membuat suatu daerah tergenang dengan durasi panjang.”

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

 

Hutan rusak

Daerah ini kerap terjadi banjir besar sejak hutan tergerus dalam skala besar terutama untuk pertambangan nikel. Ditambah lagi, ada kawasan industri. Dalam dua tahun belakangan, tercatat, banjir terjadi dari luapan sungai-sungai besar seperti Ake Sake, Ake Wosia, termasuk Ake Kobe. Perusahaan juga mendapat izin pemanfaatan sungai untuk pengelolaan industri.

Sungai-sungai ini masuk dalam konsesi nikel, yaitu, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan PT Tekindo Energi. IWIP merupakan pengelola kawasan industri untuk kendaraan bahan baku baterai kendaraan listrik dengan konsesi 2.000 hektar. Tekindo, merupakan perusahaan swasta pertambangan nikel yang beroperasi sejak 2009.

Data AMAN Maluku Utara menyebutkan, konsesi pertambangan berada di kawasan hutan seluas 72.775 hektar, terdiri dari hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektar, hutan produksi Terbatast(HPT) 20.210 hektar. Kemudian, hutan produksi tetap 8.886 hektar, dan hutan produksi dikonversi (HPK) 8.524 hektar.

Munadi Kilkoda, anggota Komisi III DPRD Halteng, mengatakan, kedua perusahaan ini mendapat Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam jumlah sangat luas.

Industri nikel ini juga punya wilayah operasi di hulu hutan wilayah Weda Tengah. Perubahan fungsi hutan dan lahan hingga bencana alam terus terjadi.

“Belakangan, intensitas banjir itu terus meningkat,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut ini.

Balai Wilayah Sungai (BWS) Malut sudah berkordinasi dengan Pemerintah Halmahera Tengah. Anggaran teralokasi pada 2022, terutama untuk survei, investigasi dan desain (SID) untuk penanganan banjir di Sungai Kobe.

“Karena kita harus melihat penanganan banjir sungai secara komprehensif dan tidak sepotong-potong, serta penanganan apa yang cocok dilakukan pada sungai penyebab banjir itu,” kata Oki Safrel, Kepala Seksi Operasional Balai Wilayah Sungai (BWS) Malut.

Soal banjir, Oki bilang, banyak faktor jadi penyebab, seperti pembukaan lahan untuk pertambangan yang tak diikuti reboisasi ataupun konservasi.

“Karena dengan ada singkapan (bukaan lahan) secara teoritis mengurangi infiltrasi air ke dalam tanah, dan meningkatkan run-off (limpasan) permukaan yang mengali daerah alisan sungai dan sungai hingga meningkatkan debit serta mengakibatkan meluapnya sungai-sungai itu.”

Munadi bilang, banjir terjadi kemungkinan karena kawasan penyangga sungai makin berkurang dengan pembukaan hutan dan lahan secara masif untuk pertambangan.

Berarti kawasan penyangga itu, katanya, berpotensi hilang dan pasti mengganggu keseimbangan ekologi hingga banjir dan bencana lain akan mudah terjadi.

“Maka, harus dibatasi kegiatan mereka sambil merehabilitasi kawasan yang ditambang hingga buffer zone (kawasan penyangga) tetap terjaga,” katanya.

Kemampuan Sungai Kobe, tak sebanding dengan debit air yang muncul saat intensitas hujan meningkat. Munadi bilang, ini yang menyebabkan luapan seringkali terjadi saat musim hujan.

Balai Wilayah Sungai (BWS) Malut yang punya kewenangan dalam pengelolaan DAS Kobe, katanya, harus ambil langkah itu.

Saat ini, kata Oki, BWS dan BMKG sudah mensingkronkan pembuatan peta rawan banjir. Peta ini, akan jadi acuan kedepan guna penanganan banjir.

“Tentu kita usulkan dulu ke KPUPR dan pemda juga ikut mendorong terlaksananya penanganan banjir yang terjadi.”

 

Baca juga: Kala Masyarakat Adat Sawai Kehilangan Ruang Hidup

 

Rawan bencana

Data Badan Pusat Statistik pada 2019 menyebut, di Weda Tengah, ada tujuh desa rawan bencana, empat merupakan desa pesisir berbatasan dengan laut. Tiga desa lain merupakan wilayah transmigrasi terletak agak jauh dari pantai. Penduduk di kecamatan ini sekitar 5.310 orang.

Dalam penelitian Mohammad Ridwan Lessy dan tiga rekannya pada 2018, menyebutkan, area yang memiliki kerentanan dan risiko bencana tsunami sangat tinggi yaitu Desa Lelilef Waibulen, Desa Lelilef Sawai, Desa Sawai Itepo, dan Desa Kobe. Sisanya, memiliki risiko sedang.

Much Hidayah Marasabessy, akademisi Bidang Keahlian Klimatologi Terapan Fakultas Pertanian Universitas Khairun, mengatakan, di Dusun Lukolamo, Desa Lelilef Woibulen, sudah bertahun-tahun terdampak banjir.

Rehabilitasi hulu, katanya, perlu, selain perbaikan teknik baik di daerah aliran sungai dan muara. Aksi ini, katanya, memang perlu waktu cukup lama, tak semudah membalikkan telapak tangan.

“Apakah perlu relokasi? Itu bisa jadi solusi. Karena memang Lukolamo berada di daerah muara Sungai Kobe,” kata Ketua DPC Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhipmi) Malut ini.

Tak bisa dipungkiri, katanya, pembukaan lahan masif dari IUP tambang di hulu jadi penyebab kerusakan alam di wilayah Suku Sawai ini.

“Kejadian itu bukti, daerah hulu dan DAS terganggu hingga rusak karena perubahan landscape.”

Munadi bilang, perlu ada pembenahan di hulu, dengan membatasi pertambangan perusahaan-perusahaan ini.

 

******

Foto utama:  Rumah warga di Weda Tengah tergenang awal September lalu. Foto: dari Facebook Munadi Kilkoda

Exit mobile version