Mongabay.co.id

Jual 3 Lembar Kulit Harimau Sumatera, Warga Aceh Tenggara Ditangkap

 

  

Perburuan dan perdagangan bagian tubuh harimau sumatera terus terjadi di Provinsi Aceh.

Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum [Gakkum] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Wilayah Sumatera menangkap penjual 3 lembar kulit dan tulang-belulang harimau, serta 9 kilogram sisik trenggiling, pada 13 Agustus 2021 lalu. 

Pelaku AS [48], warga Desa Pasir Bangun, Kecamatan Lawe Alas, Kabupaten Aceh Tenggara, diamankan saat hendak menjual bagian-bagian tubuh satwa dilindungi itu.

Kepala Balai Gakkum Wilayah Sumatera, Subhan, mengatakan penangkapan AS bersama barang bukti, bermula dari informasi masyarakat tentang adanya transaksi haram itu. 

“Kami membentuk tim untuk mengumpulkan informasi, kemudian menjalankan Operasi Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Tim menangkap pelaku bersama barang bukti,” terangnya, Senin [20/9/2021]. 

Baca: Menanti Terungkapnya Kasus Kematian Harimau Sumatera di Aceh Selatan

 

Pelaku AS yang ditangkap dengan barang bukti 3 lembar kulit harimau yang hendak diperdagangkan. Foto: Dok. Balai Gakkum Sumatera KLHK

 

Berkas perkara telah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi [Kejati] Aceh dan telah dinyatakan lengkap atau P21. Selanjutnya Balai Gakkum akan menyerahkan tersangka dan barang bukti untuk dilimpahkan ke pengadilan.

“AS diancam pidana Pasal 21 Ayat 2 Huruf d Jo. Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman pidana penjara, maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta,” ungkapnya.

Subhan mengatakan, sejauh ini penyidik Gakkum Sumatera baru menetapkan AS sebagai tersangka yang memperjualbelikan bagian tubuh satwa dilindungi. Tim masih menggali informasi guna pendalaman, termasuk juga perihal sisik trenggiling.

“Untuk menghentikan perdagangan ilegal satwa hidup maupun bagian tubuhnya,  yang harus dikejar adalah pemodal atau pembeli utama. Namun, untuk membongkar ini semua bukan persoalan mudah, jaringan mereka cukup kuat,” paparnya.   

Baca: Tragis, Tiga Harimau Sumatera Mati Akibat Jerat di Aceh Selatan

 

Inilah kulit harimau yang diamankan dari pelaku. Foto: Dok. Balai Gakkum Sumatera KLHK

 

Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre [YOSL-OIC], Panut Hadisiswoyo mengatakan, hingga saat ini perburuan harimau sumatera dan satwa dilindungi lainnya terus terjadi di hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

“Kasus ini dan matinya tiga harimau karena jerat di Aceh Selatan beberapa waktu lalu, merupakan bukti yang tidak bisa dipungkiri,” ujarnya, Kamis [23/9/2021]. 

Dia menyebutkan, tim patroli yang bekerja di hutan Leuser masih menemukan tanda-tanda perburuan ilegal, seperti kamp pemburu dan jerat. Mereka yang terlibat dalam perdagangan ini bukan orang biasa, sangat menjaga rahasia dan tidak mudah memberikan informasi jaringannya. 

“Pembeli utama bagian tubuh satwa tersebut sangat pintar dan sulit terdeteksi. Mereka tidak terlibat langsung, menggunakan perantara yang juga profesional,” jelasnya.

Baca juga: Perburuan dan Konflik Masih Terjadi, Bagaimana Masa Depan Harimau Sumatera?

 

Tampak tulang-belulang harimau yang disita dari pelaku AS. Foto: Dok. Balai Gakkum Sumatera KLHK

 

Dalam incaran 

Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, hasil survei 2013-2015, estimasi populasi harimau sumatera di provinsi ini sekitar 200 individu. Sebarannya, di Kawasan Ekosistem Leuser 130 individu dan sisanya di hutan Ulu Masen.

“Pemburu harimau bukan hanya masyarakat lokal, tapi juga dari luar seperti dari Sumatera Utara dan beberapa daerah lain di Sumatera,” ujar Halim, mantan pemburu, yang merupakan warga Kabupaten Bener Meriah. 

Dia mengatakan, para pemburu ini sudah paham kemana menjual hasil buruannya. Mereka punya agen masing-masing. Sang agen menguasai lapangan dan sangat tertutup.

“Mereka bekerja sangat pintar. Ketika ada yang mengaku memiliki kulit harimau, mereka tidak langsung melakukan transaksi, tetapi memeriksa rinci dan memastikan situasi aman,” ujarnya. 

 

Sisik trenggiling ini merupakan barang bukti yang diamankan dari pelaku. Foto: Dok. Balai Gakkum Sumatera KLHK

 

Halim mengatakan, pemburu memiliki informasi kawasan hutan yang memiliki populasi harimau serta daerah yang tidak mendapat perhatian para penjaga hutan.

“Mereka mengumpulkan banyak informasi sebelum melakukan kegiatan. Biasanya menggunakan masyarakat lokal sebagai informan.”

Informan yang direkrut adalah orang-orang yang memiliki masalah dengan harimau. Misal, ternaknya dimangsa atau kebunnya sering didatangi harimau.

“Tapi, ada juga yang hanya memanfaatkan informasi dari masyarakat lain yang memiliki kedekatan dengan orang-orang yang menganggap harimau sebagai hama,” paparnya.

 

 

Exit mobile version