- Kasus matinya tiga individu harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] akibat jerat kawat baja, di Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, pada Selasa [24/8/2021], diharapkan segera terungkap.
- Penegakan hukum harus dilakukan agar kasus serupa tiga terjadi lagi kedepannya.
- Tersangka belum ditetapkan karena masih kurang bukti, baik berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium maupun keterangan saksi ahli.
- Penggunaan jerat harus diatur agar tidak ada satwa liar yang terluka, bahkan mati. Peraturan harus segera dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Kasus matinya induk dan dua anak harimau sumatera akibat jerat kawat baja di Desa Ie Buboh, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, pada 24 Agustus 2021, harus diselesaikan oleh penegak hukum. Diharapkan, kasus ini terungkap, sebagaimana matinya harimau akibat diracun di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, pada 29 Juni 2020, yang hingga kini belum menemui titik terang.
Muhammad Nasir, Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh mengatakan, penegak hukum dari kepolisian maupun Gakkum KLHK, harus menyelesaikan kasus ini.
“Ha paling penting adalah pihak berwenang segera merespon dan hadir ke tengah masyarakat, guna menyelesaikan konflik tersebut,” ungkapnya, Selasa [07/9/2021].
Nasir melanjutkan, beberapa kasus matinya satwa dilindungi di Aceh dikarenakan masyarakat jenuh dengan konflik yang terjadi. “Sehingga, mereka menyelesaikan dengan caranya sendiri.”
Missi Muizzan, Program Manager Lembaga Suar Galang Keadilan [LSGK], mengatakan hal senada. Penegakan hukum mutlak dilakukan agar ada efek jera bagi pelaku dan masyarakat juga tidak akan berani melukai satwa liar dilindungi
“Kasus ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Penanganan tindak pidananya tidak ada hubungan dengan lokasi kejadian, apakah itu di kawasan APL atau hutan lindung,” jelasnya.
Baca: Tragis, Tiga Harimau Sumatera Mati Akibat Jerat di Aceh Selatan

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Irianto mengatakan, sejauh ini belum ada informasi terbaru kasus matinya tiga harimau itu. “Penegak hukum telah mengirim surat untuk meminta saksi ahli dari BKSDA Aceh dan kami mendukung upaya tersebut.”
Terkait lokasi kejadian, Agus mengatakan, wilayah tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan area penggunaan lain [APL]. “Jerat dipasang di perbatasan hutan lindung dengan APL, tapi masih di hutan lindung,” ujar Agus.
Sementara, Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Winardy menuturkan, Polda Aceh maupun Polres Aceh Selatan masih melakukan penyidikan. Tersangka belum ditetapkan karena masih kurang bukti, baik berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium maupun keterangan saksi ahli.
“Setelah mendapatkan bukti maka konstruksi hukumnya kuat, lalu dilanjutkan gelar perkara hingga penetapan tersangka,” jelasnya.
Baca: Harimau Sumatera Mati di Aceh Selatan, BKSDA: Keracunan Setelah Mangsa Kambing

Perdagangan harimau
Pakar perdagangan satwa liar, Dwi Nugroho Adhiasto, dalam acara Bincang Alam Mongabay Indonesia dengan tema: Jerat Harimau dan Praktik Perdagangan Satwa Ilegal, pada 3 September 2021 menjelaskan, harimau sumatera diburu ilegal karena mendatangkan keuntungan, dalam kondisi hidup maupun mati. Paling sering diperdagangkan adalah kulit, tulang, taring, dan kumis.
Dwi menyebutkan, kulit umumnya diperjualbelikan di dalam negeri, sementara tulang, daging, dan taring dijual ke China, Thailand, dan Vietnam sebagai bahan baku obat.
“Ada juga karena gaya hidup, seperti memajang awetan harimau di rumah. Atau alasan kepercayaan, jika menyimpan kumis harimau akan menambah wibawa.”
Dwi menjelaskan, dari 2015 sampai pertengahan 2021, operasi penangkapan perburuan dan perdagangan ilegal harimau mencapai 84 kasus. Jumlah pelaku yang diamankan mencapai 188 orang: pemburu, pedagang, penyalur, hingga kurir.
“Perkiraan harimau yang diburu mencapai 122 individu. Namun, ini estimasi kasar, karena kami menghitungnya satu tengkorak harimau itu satu individu. Meski begitu, jumlah harimau yang diburu tidak bisa dihitung hanya 2015 sampai 2021, karena bisa jadi anggota tubuh harimau itu hasil buruan sebelum 2015,” tambahnya.
Banyak upaya dilakukan para penegak hukum untuk menghentikan perburuan dan perdagangan ilegal ini. Vonis yang diberikan juga lebih tinggi dari pelaku perburuan dan perdagangan satwa lain, mulai 2,5 sampai 4,5 tahun.
“Penangkapan dilakukan di sejumlah provinsi, paling banyak di Jambi [21 kasus], lalu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Bagian tubuh harimau yang paling banyak disita adalah taring, kulit, tulang, dan cakar.”
Baca juga: Perburuan dan Konflik Masih Terjadi, Bagaimana Masa Depan Harimau Sumatera?

Dwi melanjutkan, pemburu yang biasa memburu babi, mereka menggunakan jerat aring panjang. “Seperti yang terjadi di Aceh Selatan, tiga harimau mati karena jerat ini dipasang banyak dan panjang.”
Jerat babi atau lainnya merupakan penyebab utama banyaknya harimau sumatera mati. Selain tentunya faktor konflik dengan manusia; mati akibat diracun atau terkena arus listrik yang dipasang di pagar kebun.
“Penggunaan jerat harus diatur agar tidak ada satwa liar yang terluka, bahkan mati. Peraturan harus segera dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” ujar Dwi yang telah 20 tahun memantau perdagangan ilegal satwa liar dilindungi.
Dwi mengatakan, membongkar perdagangan ilegal satwa liar butuh upaya ekstra. Salah satunya adalah mengetahui siapa pembeli utama, yang tidak bersentuhan langsung dengan perburuan dan perdagangan. Pembeli utama ini sangat tertutup, jarang diketahui oleh pemburu atau jaringannya.
Satu cara yang dapat dilakukan untuk menjerat pembeli utama atau pemodal adalah menjerat mereka dengan tindak pidana pencucian uang [TPPU].
“Penyidik dari kepolisian dapat menelusuri aliran uang yang mengalir ke pemburu atau penjual itu,” pungkasnya.