Mongabay.co.id

Pandemi dan Kecemasan Manusia Terhadap Persoalan Lingkungan

 

 

Pandemi COVID-19 memberi dampak luar biasa terhadap umat manusia. Siapa pun mengalaminya. Termasuk para seniman, yang terus berupaya menandai dan memaknai kehidupan manusia dan lingkungannya.

Upaya tersebut juga dilakukan perupa Edo Pop [Eduard], pelukis kontemporer Indonesia yang karya-karyanya banyak dikoleksi penikmati lukisan di Indonesia maupun international.

Selama dua tahun atau selama pandemi Covid-19 [2020-2021], perupa yang saat ini menetap di Dusun Jagan, Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, ini melahirkan sejumlah karya.

Seperti karya-karya sebelumnya, Eduard banyak menampilkan narasi tentang manusia dan lingkungannya dengan berbagai persoalan. Misalnya kaum miskin kota, kekerasan terhadap perempuan dan anak, atau pergulatan manusia dalam proses spiritualitas terhadap ilmu pengetahuan.

Selama pandemi, Eduard menandainya dengan karya “Lupa Jalan Pulang” [100 x 120 cm, acrylic on canvas, 2020]. Sebuah pemaknaan terhadap periode awal kecemasan dan kesepian manusia terdampak pandemi.

“Ini usaha menyikapi awal pademi, dalam situasi kebingungan yang tidak dipahami atau   mengalami keadaan aneh sekaligus menakutkan. Kondisi yang mengganggu perasaan dalam ketidakpastian, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, atau ke mana harus berpaling selain kebingungan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, pertengahan September 2021.

Baca: Edopop, Seniman yang Peduli Lingkungan dan Kaum Perempuan

 

Lupa Jalan Pulang, karya Edo Pop. Sebuah pemaknaan terhadap periode awal kecemasan dan kesepian manusia terdampak pademi COVID-19. Foto: Edo Pop

 

Kekhawatiran masalah ini, sangat memengaruhi keputusan dan kemampuan Eduard untuk menyelesaikan kesulitan dalam  masalah kehidupan nyata.

“Saya merasa tidak akan pernah lepas dari masalah COVID-19 atau menemukan jawaban yang saya butuhkan untuk mengatur kembali hidup. Situasi itu, seperti hidup lupa jalan pulang,” lanjutnya.

Setelah berjalan beberapa bulan, kondisi pandemi menjadikan masyarakat kehilangan rasionalitas dan spiritualitas. Kondisi yang ditandai Eduard melalui karya “The Others” [100 x 120 cm, acrylic on canvas] pada 2021.

“Gagasan karya ini merespon kondisi dari istilah new normal yang sudah menjadi persoalan psikologis dalam relasi antar individu, kelompok. Kondisi sosial ini tidak sedikit melahirkan realita-realita kecemasan dan ketakutan dalam mensikapinya secara egosentris,” katanya.

Baca: Slank: Lagu Seleksi Alam untuk Introspeksi Kita Semua

 

Penjagal Nusantara [20 x 30 cm, acrylic on canvas, 2021]. Foto: Edo Pop

 

Lari dari persoalan ekologi

Pandemi juga menimbulkan persoalan politik. Seringkali wacana kebencian ditebar melalui berbagai ujaran di media sosial yang membuat hati menjadi tidak suka terhadap satu sama lain, berujung kemarahan. Memecah kerukunan dalam menjaga persatuan dan kedamaian. “

“Seharusnya, kebencian itu harus kita lawan dengan rasa cinta, dengan kasih sayang. Setiap orang itu punya hak untuk hidup bahagia,” kata Eduard.

Di sisi lain, narasi kebencian tersebut seolah menutup akar masalah sebenarnya di balik pandemi, yaitu persoalan ekologi.

Persoalan-persoalan seperti aktivitas ekonomi ekstraktif yang membuat banyak hutan hilang, polusi, perubahan iklim, virus terlepas bebas dari habitatnya dan menurunkan imunitas tubuh manusia, justru tidak segera diperbaiki.

“Ada kesan melalui vaksin persoalan akan selesai. Sementara kegiatan ekonomi ekstraktif terus berjalan dengan alasan ekonomi. Padahal vaksin merupakan upaya sementara, sebab jika lingkungan terus rusak akan muncul berbagai persoalan baru. Selain adanya virus baru, juga berbagai bencana yang dialami manusia dan makhluk lainnya,” kata Eduard.

Situasi dan harapan ini disampaikan Eduard melalui karya “Sublimasi politik” [30 x 30 cm, acrylic on canvas, 2021] dan “Penjagal Nusantara” [20 x 30 cm, acrylic on canvas, 2021].

Baca juga: Pameran Mural: Bengkulu Harus Peduli pada Persoalan Lingkungan

 

Peserta karnaval paling akhir [30 x 30 cm, acrylic on canvas, 2021]. Foto: Edo Pop

 

Apatis

Nalar dan perilaku yang diwujudkan dalam sejumlah kebijakan dan strategi menghadapi COVID-19, cenderung melemahkan komunikasi antara rakyat dan penguasa [negara]. Hal ini digambarkan Eduard dalam karya “The Power Snare” [100 x 120 cm, acrylic on canvas, 2021].

Pada akhirnya, masyarakat terlihat bukan berupaya mencari cara mengatasi pandemi, misal tergerak menjaga lingkungan atau menggali pengetahuan-pengetahuan lokal yang mungkin dapat menjadi obat atau penangkal virus. “Tapi masyarakat terfokus mencari narasi kebencian atau kemarahan berlandaskan pada persoalan ekonomi, aktivitas beragama, atau pendidikan,” katanya.

 

Sublimasi politik. Foto: Edo Pop

 

Sikap apatis pun ditunjukan sekelompok masyarakat dengan tidak mematuhi kebijakan physical distancing, khususnya karantina wilayah atau lockdown. Ironinya, masyarakat yang apatis ini muncul dari kelompok rentan, seperti para pekerja informal, yang hidupnya tergantung pendapatan per hari. Mereka seakan siap dihukum, dibandingkan mati kelaparan.

“Dari gambaran karya ini, saya berharap adanya sebuah harapan bagi masa depan umat manusia. Hidup damai, harmonis, bebas berbagai ancaman penyakit, kemiskinan, dan bencana alam. Kita butuh upaya bersama menyelamatkan Bumi. Kita harus pulang pada kehidupan yang damai,” kata perupa kelahiran 1972 ini.

 

 

Exit mobile version