Mongabay.co.id

Sektor Pertambangan dan SDGs: Kawan atau Lawan?

Penanaman pohon yang penting dilakukan di sekitar tambang batubara di Kalimantan, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Pertambangan, Keberlanjutan, dan Sustainable Development Goals (SDGs)

Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa di Indonesia ada Hari Pertambangan dan Energi yang diperingati setiap tanggal 28 September. Akan lah sangat baik bila pemangku kepentingan pertambangan di negeri ini memperingati hari tersebut dengan mengokohkan tekad untuk menjadikan sektor ini sebagai kontributor penting bagi pembangunan berkelanjutan.

Dunia sekarang berada dalam ancaman eksistensial bagi umat manusia, sehingga bila pertambangan terus-menerus hanya dilihat sebagai sektor ekstraktif —mengambil sumberdaya alam— maka pertambangan bisa menjadi tak relevan dengan pemenuhan kebutuhan masa sekarang maupun mendatang atau keberlanjutan.

Sektor pertambangan jelas memiliki sejarah yang panjang terkait dengan keberlanjutan. Di banyak negara pertambangan menjadi sumber pendapatan yang signifikan dan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang utama bagi negara maupun masyarakat lokal. Namun demikian, memandang kontribusi sebuah sektor dari sudut pandang ekonomi saja sudah sangat ketinggalan zaman.

Dampak sosial dan lingkungan dari pertambangan yang banyak tidak dikelola dengan baik kerap membuat sektor ini dianggap sebagai sektor yang kontroversial, kalau malah bukan sektor yang buruk. Berbagai survei di level global menempatkan sektor pertambangan di dasar seluruh sektor ketika dikaitkan dengan kinerja sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi mereka yang ada di sektor ini selain mengubah diri lewat cara pandang yang komprehensif atas dampak bisnisnya.

Ketika wacana pembangunan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, disingkat CSR) menguat di seluruh dunia mulai pertengahan dekade 1990-an, perusahaan-perusahaan pertambangan menjadi subjek sekaligus objek yang penting.

Perusahaan tambang yang progresif melihat perkembangan tersebut sebagai peluang untuk menjadikan bisnisnya memberikan manfaat yang nyata dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga operasi mereka mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingannya. Tetapi, harus diakui bahwa belum seluruh perusahaan di sektor pertambangan yang benar-benar mengubah dirinya, bahkan hingga sekarang.

Pada tahun 2015 dunia menyepakati bahwa pembangunan berkelanjutan perlu dijadikan sebagai panduan global bagi seluruh negara dalam wujud Sustainable Development Goals (SDGs) yang diberlakukan antara 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2030. SDGs merupakan pengganti sekaligus penerus dari Millennium Development Goals (MDGs) dengan penekanan penting bahwa SDGs merupakan tanggung jawab kolektif seluruh sektor, bukan lagi sekadar tanggung jawab negara sebagaimana MDGs.

Dengan demikian, perusahaan, termasuk yang ada di sektor pertambangan, adalah salah satu dari aktor penting dalam SDGs. Bisnis inti perusahaan, investasi sosialnya, dan advokasi kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan diharapkan secara konsisten mendukung pencapaian SDGs, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

baca : Sexy Killers : Pertambangan dan/atau Pembangunan Berkelanjutan? [1]

 

Penambangan batubara di Blok B milik PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa Dokumen Penting

Respons perusahaan-perusahaan pertambangan di level global terhadap SDGs beragam. Perusahaan-perusahaan tambang yang progresif secara terbuka menyatakan dukungan penuhnya. International Council on Mining and Metals (ICMM), induk organisasi perusahaan-perusahaan tambang dunia merespons SDGs dengan menyatakan bahwa tujuan dari operasi pertambangan yang bertanggung jawab adalah kontribusi terhadap SDGs, selain kontribusi terhadap Persetujuan Paris tentang Perubahan Iklim. Di awal tahun 2020, ICMM memperbarui ICMM Mining Principles dari pernyataan tujuan tersebut ditegaskan pada bagian awal dokumen standar keberlanjutan atau lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social and governance, disingkat ESG) baru tersebut.

Kontribusi perusahaan terhadap SDGs yang utama adalah melalui pengelolaan dampak bisnis intinya yang dibuat kompatibel dengan SDGs, baru kemudian melalui investasi sosial dan advokasi kebijakan. Di sektor pertambangan, pemetaan dampak bisnis inti terhadap keberlanjutan dan seluruh tujuan SDGs sudah dilakukan bahkan sejak sebelum SDGs resmi menjadi panduan pembangunan yang disepakati oleh seluruh anggota PBB.

Terdapat kesadaran di antara perusahaan-perusahaan pertambangan yang progresif, serta pemangku kepentingan di level global bahwa bisnis inti pertambangan ini adalah yang memiliki dampak paling signifikan—terutama apabila dilihat sepanjang rantai nilainya. Investasi sosial, tentu saja, sangatlah penting, namun itu biasanya terkait dengan pemangku kepentingan lokal, sehingga dampaknya relatif terbatas.

Tiga dokumen telah mengajukan analisis atas kontribusi pertambangan terhadap SDGs di tahun 2015, yaitu How Can Mining Contribute to the Sustainable Development Goals? (UNDP, 2015); Mining and the Sustainable Development Goals (Sonneson, 2015); dan Make It Your Business: Engaging with the Sustainable Development Goals (PwC, 2015). Di tahun 2016, dua dokumen berikutnya menyajikan analisis yang lebih mendalam, yaitu Mapping Mining to the Sustainable Development Goals: An Atlas (CCSI, et al., 2016) dan Making a Positive Contribution to the SDGs (ICMM, 2016).

Menjelang tahun 2020 yang dinyatakan sebagai awal The Decade to Deliver, dokumen Creating a Strategy for a Better World: How the Sustainable Development Goals Can Provide the Framework for Business to Deliver Progress on Our Global Challenges (PwC, 2019) yang menyajikan analisis atas kontribusi mutakhir perusahaan di berbagai sektor, termasuk pertambangan, terbit.

Berikutnya, dokumen Top 10 Business Risks and Opportunities – 2020 (EY, 2019) menyajikan isu-isu pertambangan yang paling penting untuk diperhatikan dari sudut pandang manajemen risiko. Di awal 2020, Tracking the Trends 2020: Leading from the Front (Deloitte, 2020) menyajikan analisis tentang tren penting dunia pertambangan. Kesimpulan umum bahwa isu-isu keberlanjutan sangatlah dominan dalam dunia pertambangan modern memang sangat jelas.

baca juga : Sexy Killers : Masyarakat Sebagai Anak Tiri Pertambangan? [2]

 

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Dari Prioritisasi hingga Net Positive

Berdasarkan seluruh dokumen di level global tersebut, secara ringkas ada enam Tujuan SDGs di sektor pertambangan yang diprioritaskan. Keenamnya adalah SDG7 (Energi Bersih dan Terjangkau) dan SDG8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), disusul SDG13 (Penanganan Perubahan Iklim), SDG6 (Akses Air Bersih dan Sanitasi) dan SDG9 (Infrastruktur, Industri dan Inovasi), dan SDG15 (Ekosistem Daratan).

Prioritisasi memang sangat penting dilakukan, mengingat perusahaan perlu memfokuskan perhatian dan sumberdayanya, sehingga bisa mencapai kinerja yang baik. Namun, itu bukan berarti tidak ada isu yang penting diperhatikan dari prioritisasi ini.

Penting untuk disadari bahwa dampak pertambangan atas SDGs sesungguhnya tidak bisa dinyatakan sama atau tetap sepanjang daurnya. Sebagai industri yang mengambil sumberdaya alam tak terbarukan, pertambangan memiliki daur yang khas—yaitu eksplorasi, pengembangan, operasi, dan penutupan (serta pascatambang).

Apabila keenam prioritas Tujuan SDGs yang diperoleh dari dokumen-dokumen terdahulu dipetakan ke dalam fase pertambangan, maka akan tampak bahwa tidak seluruh Tujuan SDGs tersebut muncul di setiap fase. Oleh karenanya, prioritisasi seluruh Tujuan SDGs ini—tidak hanya enam yang paling menonjol—dalam pertambangan, penting dikaitkan dengan fase tersebut, agar benar-benar sesuai dengan konteks.

Demikian juga, sangat penting untuk diingat bahwa prioritisasi Tujuan SDGs yang menggunakan dampak keputusan dan aktivitas perusahaan sebagai dasarnya belum tentu menghasilkan prioritas yang sama dengan pemangku kepentingannya. Penelitian PwC (2015) yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dari 5 besar prioritas yang ditetapkan oleh perusahaan di level global sesungguhnya hanya 1 yang beririsan dengan prioritas dari masyarakat. Ini menunjukkan bahwa kalau perusahaan pertambangan benar-benar serius hendak berkontribusi terhadap SDGs, maka proses deliberasi dengan pemangku kepentingan dalam penentuan prioritas Tujuan SDGs haruslah ditegakkan.

baca juga : Pesan Kepada Jokowi soal Investasi

 

Sebuah PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibt debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando

 

Terkait dengan dialog kebijakan dengan pemerintah pusat maupun daerah, perusahaan-perusahaan tambang haruslah menggunakan keberlanjutan dan SDGs sebagai pemandunya. Dengan ini, perusahaan tambang tak bisa boleh menggunakan peluang dialog tersebut untuk, misalnya, melobi legislasi dan regulasi yang hasilnya bisa bertentangan dengan tujuan pencapaian SDGs serta keberlanjutan dalam jangka yang lebih panjang lagi.

Prioritas pembangunan, apabila tidak sesuai dengan keberlanjutan, harus bisa dikoreksi, bukan malah didukung. Perusahaan-perusahaan yang telah melakukan deliberasi dengan pemangku kepentingannya, perlu memanfaatkan hasil tersebut dalam dialog kebijakan, sehingga suara-suara pro-SDGs bisa menguat. Bagaimanapun, masih banyak kebijakan pemerintah—sama halnya dengan keputusan-keputusan aktor pembangunan lainnya—yang perlu dikoreksi agar sesuai dengan komitmen SDGs dan paradigma pembangunan berkelanjutan.

Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah kecenderungan umum bahwa perusahaan-perusahaan cenderung untuk menyampaikan komunikasi yang terkait dengan kegiatan atau kinerja yang bersifat positif; dan mereka menekan atau bahkan menghilangkan sama sekali komunikasi atas kinerja negatifnya. Perusahaan tambang juga demikian. Tetapi, kalau kita hendak memastikan bahwa kontribusi pertambangan terhadap SDGs itu memang benar-benar positif, maka pengungkapannya haruslah dipastikan berimbang.

Dalam setiap Tujuan SDGs, perusahaan tambang harus mengungkap kedua sisi kontribusinya itu secara lengkap, dan bekerja keras untuk memastikan bahwa kontribusi positifnya jauh melampaui kontribusi negatifnya. Hanya dengan demikian saja perusahaan dan sektor pertambangan bisa mencapai net positive terkait dampaknya terhadap SDGs, sehingga benar-benar menjadi mitra yang andal dalam pencapaiannya.

***

 

*JalalReader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

***

 

Keterangan foto utama : Penanaman pohon yang penting dilakukan di sekitar tambang batubara di Kalimantan, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Exit mobile version