Mongabay.co.id

Rekrutmen Awak Kapal Perikanan Masih Belum Transparan

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN/Mongabay Indonesia

 

 

Tata kelola rekrutmen awak kapal perikanan (AKP) sampai saat ini dinilai masih menjadi masalah yang belum bisa diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Persoalan tersebut bisa muncul, karena sampai sekarang sistem rekrutmen masih belum menerapkan secara penuh transparansi dan keadilan.

Akibat persoalan tersebut, tata kelola pengiriman AKP juga menjadi bermasalah dan terus berlangsung dari tahun ke tahun. Hal itu diakui oleh Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan.

Dalam penilaian dia, pelaksanaan sistem dan mekanisme rekrutmen AKP di Indonesia selama ini masih berjalan sangat tidak transparan. Kondisi itu juga diperparah dengan adanya praktik penipuan kepada para calon tenaga kerja, serta dilakukan secara informal.

“(Selain itu) ada juga praktik percaloan dan pungutan kepada calon awak kapal perikanan,” ungkap dia belum lama ini.

Kelemahan tersebut hingga saat ini masih terus berlangsung, meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 yang salah satunya mengatur tentang Tata Kelola Awak Kapal Perikanan.

Menurut Abdi Suhufan, kehadiran Permen KP 33/2021 seharusnya bisa menjadi penyempurna peraturan sebelumnya yang sudah ada dan diberlakukan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, karena Permen tersebut tidak mengatur tentang ketentuan rekrutmen AKP yang adil.

Oleh karena itu, agar sistem dan mekanisme rekrutmen AKP bisa berjalan lebih baik lagi dan berlangsung adil, dia menilai perlu adanya pengaturan secara khusus yang diterbitkan oleh Pemerintah. Hal itu, untuk mengantisipasi jika perekrutan dilakukan langsung oleh pemilik kapal atau perusahaan dan juga mengantisipasi perekrutan yang dilakukan oleh agen.

baca : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Salah satu jenazah yang diturunkan di Bitung pada November 2020. Jenazah tersebut merupakan milik Saleh Anakota dan Rudi Ardianto yang meninggal tiga bulan sebelumnya di Samudera Pasifik. Keduanya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui, kata kementerian luar negeri Indonesia saat itu. Foto : Kementerian Luar Negeri

 

Jika kondisi tersebut benar terjadi, maka semua pihak yang terkait harus bisa mengantisipasinya dengan baik. Contohnya, jika perekrutan dilakukan melalui agen, maka pemilik kapal atau perusahaan harus memiliki perjanjian atau kontrak tertulis yang resmi dan mencakup penyediaan layanan perekrutan.

Dengan kata lain, pemilik kapal atau perusahaan harus bisa memastikan bahwa AKP yang mereka rekrut dan kemudian dilakukan penempatan oleh agen, sudah memahami dan menyetujui persyaratan kerja tanpa ada paksaan dari pihak lain.

“Mereka secara sukarela dan tanpa ancaman hukuman,” tegas dia.

Abdi Suhufan menyebut, kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi, jika KKP berani mengubah tata cara dalam memberikan perlindungan kepada AKP Indonesia. Namun, fakta yang ada justru KKP hanya mengubah sedikit aspek perlindungan kepada AKP saat melaksanakan operasi penangkapan ikan.

Adapun, rincian Permen KP 33/2021 itu mengatur tentang logbook penangkapan ikan, pemantauan di atas kapal penangkapan ikan dan kapal pengangkut ikan, inspeksi pengujian, penandaan kapal perikanan, dan tata kelola pengawakan kapal perikanan.

Dokumen peraturan yang tebalnya mencapai 307 halaman itu, disebut sebagai gabungan dari sejumlah peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya. Salah satu dari peraturan tersebut, adalah tentang tata kelola AKP.

“Belum banyak berubah dalam aturan tersebut, karena hanya sedikit memperbaiki aspek perlindungan tenaga kerja yang terlibat dalam operasi penangkapan ikan,” terang dia.

baca juga : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Sebanyak lima awak kapal perikanan KM Hentri-I yang selamat dari kecelakaan laut di Perairan Tanimbar, Maluku, tiba di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, Jumat (25/9/2021). Foto : KKP

 

Beberapa waktu lalu, Moh Abdi Suhufan juga mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan perbaikan tata kelola AKP. Langkah tersebut mendesak untuk dilakukan, karena akan memperbaiki jaminan pekerjaan bagi AKP yang bekerja di kapal perikanan di dalam dan luar negeri.

Perbaikan tata kelola yang dimaksud, harus dimulai dari tahapan perekrutan, penempatan, repatriasi, sampai remedi. Semua tahapan tersebut, kemudian diperkuat dengan penerbitan rancangan peraturan pemerintah tentang penempatan dan perlindungan awak kapal niaga dan AKP.

Dalam penilaian Abdi Suhufan, Pemerintah Indonesia perlu untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara yang menjadi tujuan bekerja para AKP dari Indonesia. Kerja sama itu harus spesifik dalam bentuk multi perjanjian.

“Atau saling mengakui sertifikat AKP antara Indonesia dengan negara tujuan calon AKP bekerja,” terang dia.

 

Rencana Aksi Nasional

Selain itu, upaya perbaikan juga harus dilakukan dengan menyusun prorgam dan rencana aksi pengembangan sumber daya manusia AKP, terutama tentang kualifikasi dan kompetensi calon AKP. Juga, harus ada layanan pengaduan melalui saluran telepon khusus bagi AKP sudah bekerja.

Terakhir, Pemerintah Indonesia harus melakukan pendataan keberadaan AKP Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan di luar negeri. Upaya tersebut harus menjadi prioritas, karena bisa mendeteksi jumlah total AKP yang sudah bekerja hingga saat ini.

Agar pendataan bisa cepat dan akurat, maka proses tersebut harus dilaksanakan dengan melakukan koordinasi bersama kementerian dan lembaga lain yang ada di Indonesia. Dengan demikian, pemantauan yang akan dilakukan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) bisa lebih mudah dilakukan.

perlu dibaca : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Ilustrasi. Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Peneliti DFW Indonesia Laode Hardian menjelaskan bahwa operasional AKP bergantung pada pergerakan dari kapal perikanan tempat mereka bekerja. Kapal-kapal tersebut, sampai saat ini operasionalnya masih dilakukan melalui pelabuhan resmi dan tangkahan.

Saat melakukan operasi penangkapan ikan, tidak sedikit kapal perikanan ada yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku di negara yang berkaitan. Kapal-kapal tersebut seharusnya bisa memenuhi aspek perizinan, pengawakan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dan logistik yang cukup.

Karena ada kapal perikanan yang tidak memenuhi aspek-aspek yang disebut di atas, maka kemudian akhirnya timbul masalah di atas kapal antara AKP, nakhoda, pemilik kapal, dan atau dengan perusahaan. Masalah-masalah tersebut bisa muncul kapan saja, tanpa mengenal waktu dan situasi.

Agar bisa dicegah beragam potensi masalah di atas kapal, maka perlu dibuat mekanisme yang kuat dan tegas, serta melakukan inspeksi bersama di atas kapal dengan melibatkan para pihak yang berkaitan. Langkah tersebut untuk menciptakan kondisi kerja yang layak di atas kapal dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku, serta terpenuhinya aspek K3 yang diperlukan di atas kapal.

“Inspeksi bersama ini perlu dilakukan oleh otoritas Syahbandar Pelabuhan Perikanan, unit kerja Ketenagakerjaan dan unit kerja Perhubungan,” papar dia.

Kebutuhan melaksanakan inspeksi bersama tersebut, seharusnya menjadi salah satu bagian yang ada dalam Permen KP 33/2021. Namun sayang, KKP dinilai sudah abai karena justru tidak melakukan terobosan dengan memuat mekanisme inspeksi bersama (multidisiplinery).

Bagi Laode Hardia, ketiadaan inspeksi bersama di atas kapal perikanan yang selama ini terjadi, bisa menyebabkan banyak kecelakaan kerja, kasus pelanggaran ketenagakerjaan, dan penelantaran AKP di atas kapal ikan domestik.

baca juga :Moratorium Pengiriman Awak Kapal Perikanan Harus Diwujudkan

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing pada Mei 2020. Foto : screenshoot Youtube MBC News/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini pada kesempatan berbeda mengatakan, bekerja di atas kapal penangkap ikan memang memiliki risiko yang tinggi dibandingkan jika bekerja dengan profesi yang lain.

Fakta tersebut menuntut para calon AKP yang akan bekerja di kapal perikanan harus memiliki kompetensi dan keterampilan yang mumpuni. Kemampuan tersebut akan memberikan manfaat saat bekerja, mengingat kondisi pekerjaan di kapal perikanan memiliki tingkat kesulitan tinggi dan berbahaya.

Selain faktor di atas, profesi AKP sangat berisiko tinggi dan berbahaya, karena kapal yang beroperasi didominasi berukuran kecil, dan itu akan sangat berbahaya jika berlayar pada perairan dengan gelombang tinggi, serta cuaca yang tidak menentu.

“Berpotensi menyebabkan terjadinya kecelakaan pada saat melakukan kegiatan operasional penangkapan ikan,” ungkap dia dalam siaran pers KKP, pekan lalu.

Pernyataan yang diungkapkan Muhammad Zaini tersebut muncul berkaitan dengan kecelakaan KM Hentri-I di perairan laut sekitar Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku pada 3 September 2021. Kecelakaan tersebut mengakibatkan sebanyak 27 AKP dinyatakan hilang.

Tentang perlindungan AKP, sebelumnya sudah dijanjikan oleh Pemerintah Indonesia. Bahkan, Rencana Aksi Nasional Perlindungan Pelaut dan AKP (RAN PPAKP) juga disiapkan untuk menjadi sumber hukum perlindungan kepada para AKP yang sedang bekerja di kapal perikanan di dalam dan luar negeri.

Sementara Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo, beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa penyusunan dokumen RAN PPKAP menjadi kebutuhan yang mendesak untuk saat sekarang.s

“Menyikapi adanya banyak kasus penelantaran pelaut dan awak kapal perikanan di luar negeri, kita terus berupaya untuk memperbaiki tata kelola perlindungan pelaut dan awak kapal perikanan Indonesia,” jelas dia.

Basilio mengungkapkan, penyusunan RAN PPAKP dilakukan dengan tujuan untuk memastikan Negara senantiasa hadir dengan memberikan perlindungan yang layak dan wajar kepada setiap warga Negara Indonesia (WNI) secara umum, utamanya yang bekerja di subsektor perikanan tangkap.

“Baik itu yang bekerja di dalam, maupun di luar negeri,” tambah dia.

 

****

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version