Mongabay.co.id

Energi Bersih, Upaya Serius Melawan Perubahan Iklim

 

 

Sejak awal kehidupan di Bumi, matahari, angin dan air, menjadi sumber energi bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. 

Sebagai bangsa bahari, peranan matahari, angin dan air, sangat penting bagi kehidupan masyarakat Nusantara [Indonesia], baik di darat maupun laut. Sebuah perahu atau kapal sangat membutuhkan energi matahari, angin dan air, saat melaju di sungai, danau, maupun laut.

“Matahari, angin dan air itu kunci peradaban manusia, termasuk bangsa bahari di Nusantara ini,” kata Conie Sema, pekerja seni dan budaya dari Teater Potlot, pertengahan Agustus 2021.

Persoalan muncul, ketika teknologi mampu mengubah mineral atau energi fosil [batubara, minyak bumi] sebagai energi yang dapat disimpan, dan digunakan sebagai penghasil cahaya, listrik, gerak, dan panas. Energi ini pun tidak lagi gratis, tapi memiliki harga, yang dapat dibisniskan.

“Di Indonesia, energi fosil ini penyebarannya tidak merata, sehingga menciptakan wilayah-wilayah tertinggal. Baik secara ilmu pengetahuan maupun ekonomi. Energi fosil menciptakan ketidakadilan di Nusantara,” lanjutnya. 

Keinginan Indonesia untuk mengembalikan negeri ini sebagai poros maritim dunia dengan membawa spirit kejayaan Jalur Rempah di masa lalu, dapat menjadi harapan baik atau ancaman. Jika energi penggerak aktivitasnya, termasuk pula komoditasnya berupa energi kotor, maka itu sebuah ancaman terhadap perubahan iklim. Tapi, jika komoditasnya berkelanjutan atau energi bersih itu sebuah harapan baik.

“Jadi mengembalikan kejayaan Jalur Rempah itu bukan hanya dari sektor ekonomi, juga nilai-nilai luhurnya, seperti keterbukaan, egaliter, kebersamaan, dan keberlanjutan,” kata Conie. 

Baca: Kajian Ini Ungkap Energi Bersih Lebih Hemat daripada PLTU

 

Bentang alam di wilayah Sumatera Selatan yang dulunya hutan dan perkebunan rakyat kini menjadi danau pasca-aktivitas pertambangan batubara. Foto: David Herman/INFIS

 

Belum merdeka

Sejak Indonesia merdeka, mungkin sudah puluhan miliar ton batubara ditambang untuk kepentingan energi.

“Penambangan batubara demi kepentingan energi tidak membuat bangsa ini menikmati kemerdekaannya,” kata Pius Ginting, Direktur Eksekutif Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat [AEER] kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini. 

Dijelaskan Pius, batubara merupakan sumber energi kotor, dari hulu ke hilir. Dampaknya mulai dari kerusakan bentang alam, hilangnya kekayaan flora dan fauna, emisi karbon, tercemarnya udara, sungai, laut, hingga konflik perusahaan dengan masyarakat, kemiskinan, serta kematian.

“Manusia yang terdampak bukan hanya di dusun atau desa, juga di kota-kota besar,” ujarnya.

Berdasarkan laporan produksi batubara oleh Pemerintah Indonesia yang diolah AEER, sekitar 7 miliar ton batubara sudah diproduksi Indonesia dalam kurun waktu 32 tahun [1945-2020]. Ini artinya sudah melepaskan sekitar 11 miliar ton karbon ke atmosfer.

“Jumlah itu enam kali lipat dari pengurangan emisi karbon proyek Green Climate Fund. Pengurangan emisi karbon 11 miliar ton membutuhkan dana sebesar 54 miliar dollar AS,” kata Pius.

Data tersebut, jelas Pius, mungkin jauh dari fakta sebenarnya. Sebab hanya berdasarkan laporan tahunan untuk 32 tahun. Selain itu, ada sejumlah data yang belum ada pembandingnya, seperti laporan tahun 1945, 1952 dan 1966. “Sangat mungkin jumlah produksi batubara dari Indonesia sudah puluhan miliar ton,” lanjutnya.

Baca: Lamban Ganti Rugi Lahan, Penyebab Maraknya Penambangan Batubara Liar di Muara Enim?

 

Tagboat yang setiap hari menarik tongkang yang mengangkut batubara di Sungai Musi. Foto: Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR [Institute for Essential Services Reform], kepada Mongabay Indonesia, menyebutkan hanya dari tahun 1980 hingga saat ini, sekitar 8.5-9,5 miliar ton batubara sudah digali di Indonesia.

Tingginya volume penambangan batubara, jelas Fabby, didorong kebijakan Pemerintah Indonesia yang sejak tahun 2000-an membangun puluhan PLTU, sehingga mengekstrasi sumber daya batubara Indonesia yang dianggap sumber energi murah.

Pada kuartal I 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM} yang dikutip kompas.com, tercatat 10 perusahaan batubara dengan produksi terbesar di Indonesia, yakni PT. Kaltim Prima Coal, PT. Adaro Indonesia, PT. Kideco Jaya Agung, PT. Borneo Indobara, PT. Berau Coal, PT. Bara Tabang, PT. Arutmin Indonesia, PT. Bukit Asam, PT. Multi Harapan Utama, serta PT. Ganda Alam Makmur.

Sementara endcoal.org mencatat di Indonesia [2006-2020] ada 171 PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] batubara yang beroperasi dengan total kapasitas 32.373 megawatt. 

Batubara di Indonesia sudah digali sejak pemerintahan Hindia Belanda, sejalan dengan perkembangan industri di Eropa. Awalnya, di Pengaron, Kalimantan Timur, oleh perusahaan NV Oost Borneo Maatschappij, kisaran tahun 1848. 

Pada masa yang sama, ditemukan batubara di Pulau Sumatera. Dilakukan penambangan batubara di Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, dan kemudian di Bukit Asam, Tanjungenim, Sumatera Selatan. 

Namun, kata Fabby, penambangan batubara besar-besaran mulai dilakukan pada 1980 oleh PT. Bukit Asam [PT Bukit Asam Tbk], bersamaan dengan pengembangan PLTU Suralaya 1-4 di Banten.

Sampai kapan batubara di Indonesia akan ditambang?

Dikutip dari rilis Kementerian ESDM pada 27 Juli 2021, Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menyatakan, cadangan batubara Indonesia mencapai 38,84 miliar ton. Jika rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun, umur cadangan batubara Indonesia masih 65 tahun, dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru.

Kalimantan menyimpan 62,1% dari total potensi cadangan dan sumber daya batubara terbesar di Indonesia; 88,31 miliar ton [sumber daya] dan 25,84 miliar ton [cadangan]. Sumatera memiliki potensi tinggi batubara sebesar 55,08 miliar ton [sumber daya] dan 12,96 miliar ton [cadangan]. 

Baca juga: “Napas yang Terbunuh”, Kesedihan akibat Tambang Batubara Ilegal di Muara Enim

 

Tumpahan batubara ke laut berbahaya untuk kehidupan biota laut dan kesehatan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Indonesia selamat

Jika Pemerintah Indonesia, termasuk para pebisnis energi, mau menyelamatkan Indonesia, sebaiknya segera meninggalkan energi fosil tersebut. 

“Banyak teknologi yang memanfaatkan matahari, angin dan air, sebagai sumber energi seperti dilakukan leluhur umat manusia. Saya percaya dengan energi itu Indonesia akan selamat, termasuk juga keberadaan manusia lainnya di dunia ini. Apalagi perkembangan teknologi energi bersih saat ini sudah berkembang pesat,” kata Conie.

Matahari atau surya merupakan energi yang hadir pada semua wilayah di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. “Jadi, energi ini sangat mungkin dikembangkan,” ujarnya. 

Tenaga surya sudah menjadi perhatian pemerintah Indonesia yang berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca [GRK]. Sejak 2016, Indonesia ingin mengembangkan energi bersih hingga tahun 2050. Salah satunya tenaga surya.

Namun, potensi teknis tenaga surya sebesar 207 GW dinilai terlalu rendah untuk negara yang total luas daratannya 1,9 juta kilometer persegi. Hal ini disampaikan IESR dan GEI [Global Environmental Institute] yang melakukan kajian berjudul “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential, dipublikasikan Maret 2021.

Fabby Tumiwa menyebutkan, potensi teknis energi surya berdasarkan ketersediaan lahan mencapai 3.000 GW-20.000 GW. Potensi teknis energi bersih di Indonesia, bukan hanya surya, juga angin, air, dan panas bumi. Jika potensi ini dioptimalkan, maka akan tercapai nol emisi energi di Indonesia pada 2050.

Salah satu skenario yang disusun IESR, Agora Energiewende, dan Lappeenranta-Lahti University of Technology [LUT] dengan judul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050”, dipublikasikan Mei 2021, menggambarkan visi nol emisi energi Indonesia pada 2050.

Dikatakan Fabby dalam sambutan publikasi tersebut, skenario ini mencoba menjawab pertanyaan tentang kemampuan Indonesia mengandalkan energi bersih pada 2050.

Dia menjelaskan visi [kajian] tersebut bukan satu-satunya skenario atau peta jalan yang layak, tapi dapat menjadi bahan diskusi tentang energi bersih di Indonesia saat ini, dan dapat menjadi pendorong perubahan yang kreatif dan energik.

Ada empat pilar yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mengubah [transisi] dari energi kotor menuju energi bersih hingga tahun 2050. Yakni energi terbarukan, elektrifikasi, penurunan penggunaan bahan bakar fosil, serta bahan bakar bersih. 

“Skenario yang ditawarkan IESR itu sangat mungkin terwujud, jika para pemimpin dan pelaku bisnis energi di Indonesia, berkomitmen menyelamatkan bangsa dan negara. Perjuangan ini sama beratnya seperti para pejuang kemerdekaan dulu menggalang dukungan, membangun komitmen, membangun nasionalisme,” kata Pius Ginting.

Menurut Pius, strategi kunci untuk mewujudkan skenario tersebut adalah membangun kesadaran pada masyarakat Indonesia bahwa energi bersih wajib diwujudkan dan menolak energi kotor. “Sebab, mereka yang akan memilih para pemimpin yang benar-benar ingin menyelamatkan Indonesia. Pemimpin yang tidak tunduk pada energi kotor,” ujarnya. 

 

 

Exit mobile version