Mongabay.co.id

Gugat UU Minerba, Upaya Kurangi Beban Lingkungan dan Masyarakat

Kajian beberapa organisasi masyarakat sipil memperlihatkan, lahan-lahan bakal lokasi ibukota negara banyak sudah berizin kepada perusahaan, baik perkebunan, hutan tanaman industri maupun tambang. Setidaknya, ada 162 konsesi tambang batubara, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batubara. Foto: Jatam

 

 

 

 

Sejak Juni lalu, Tim Bersihkan Indonesia, antara lain, Walhi dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, serta Nur Aini, warga Banyuwangi maupun Yaman, nelayan Bangka Belitung, ajukan yudicial review atas Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini sebagai upaya bersama mengurangi beban lingkungan hidup dan kesengsaraan masyarakat.

Persidangan sudah berlangsung beberapa kali. Kamis (7/10/21) agenda sidang mendengarkan keterangan DPR dan presiden. Sidang ditunda karena DPR tak hadir.

Kepada hakim Mahkamah Konstitusi, Presiden Joko Widodo melalui kuasa hukum pemerintah mengajukan permohonan menunda persidangan. Agenda sidang kembali bulan depan, Senin (8/11/21).

“Saat presiden meminta penundaan, di saat itulah regulasi ini terus dimanfaatkan elit pebisnis tambang untuk mengabaikan dampak lingkungan juga hak warga,” kata Lasma Natalia penasehat hukum dari Tim Advokasi UU Minerba #Bersihkan Indonesia dalam rilis kepada media, Kamis (7/10/21).

“Kami menyesalkan DPR memilih tidak hadir dan meletakkan proses hukum ini bukan prioritas mereka.”

Dalam diskusi daring belum lama ini Lasma mengatakan, dalam gugatan, mereka ingin membuktikan sejumlah pasal dalam UU ini bertentangan dengan UU Dasar 1945. Tiga hakim yang menangani gugatan ini yakni Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat dan Suhartoyo.

“Ini amanat sidang rakyat tahun lalu,” katanya.

 

Pemandangan di lokasi pertambangan emas Tumpang Pitu, Banyuwangi.Foto: BaFFEL

 

Sidang rakyat yang dimaksud adalah sidang tandingan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat sekitar tambang sebagai bentuk protes terhadap pengesahan UU Minerba yang terlalu terburu-buru.

Lasma bilang, beberapa pasal yang digugat antara lain, Pasal 4 ayat 2, menyatakan penguasaan mineral dan batubara oleh negara oleh pemerintah pusat.

Aturan ini menyebabkan akses masyarakat untuk memperjuangkan hak dan kontrol terhadap penguasaan pertambangan pemerintah pusat jadi lebih sulit.

Juga, Pasal 17 a ayat 2 dan Pasal 22 a menyatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin tak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan. Aturan ini praktis menyebabkan wilayah itu terjamin terus menerus sebagai wilayah pertambangan meski daya dukung daya tampung lingkungan terlampaui.

Kemudian Pasal 162, yang bisa terus mengkriminalisasi masyarakat. Pasal ini menyebutkan, setiap orang yang merintangi atau mengganggu usaha pertambangan bisa dipidana paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Sejak ada dalam UU No 4/2009, pasal ini sudah banyak mengkriminalisasi warga penolak tambang seperti di Sulawesi Tenggara, Banyuwangi dan Bangka.

“Rumusan pidana tidak jelas dan dapat untuk siapapun karena ukuran tidak jelas.”

Penggugat juga menilai ada masalah pada Pasal 169 a yang memberikan perpanjangan otomatis pada kontrak karya (KK) dan perjanjian kerjasama pengusahaan batubara (PKP2B).

Frasa ‘jaminan’ dalam aspek perpanjangan KK dan PKP2B, katanya, justru memberikan penguatan secara timpang. Kondisi ini  menguntungkan pemegang izin, mengabaikan proses evaluasi dan menghilangkan partisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.

Karena itu, UU ini dinilai melanggar Pasal 28 UUD 1945 tentang hak masyarakat untuk bebas berekspresi dan mendapatkan ruang hidup layak dan lingkungan sehat. Dia juga dinilai melanggar Pasal 33 ayat 4 yang menyatakan, perekonomian nasional terselenggara berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Juga kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

 

Aktivitas pertambangan timah laut di sekitar pesisir pantai di Bangka Tengah, Bangka Belitung.

 

Para korban

Nur Aini, warga Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi bersama warga lai membangun tenda perjuangan tolak tambang di satu titik di kampung mereka.

Pini, sapaan akrabnya, bersama warga protes tambang emas PT Merdeka Copper Gold di areal Gunung Salakan. Warga menolak karena lokasi tambang dekat ruang hidup mereka.

Tambang di Tumpang Pitu saja, kata Paini, limbah mengalir ke Pulau Merah dan menyebabkan kerusakan lingkungan cukup parah.

Pada 2016, pernah banjir lumpur. “Sampai jebol mencemari laut juga, sampai hitam,” katanya.

Dua tahun terakhir, setiap kemarau warga mengalami kekeringan, sebelumnya tak pernah terjadi.

Pertengahan Juni 2020, Paini dan sejumlah warga mendapat surat panggilan dari Polres Banyuwangi untuk dengar keterangan sebagai saksi terlapor perkara dugaan tindak pidana merintangi dan mengganggu usaha pertambangan. Ini seperti tertera dalam Pasal 162 UU Minerba.

Kelompok pro tambang juga mengancam hendak membakar rumah Paini karena menolak tambang emas.

Tak hanya gugat UU Minerba, Tim Bersihkan Indonesia juga mendampingi Paini dan membuat petisi di Change.org yang meminta hakim Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Minerba.

Yaman, warga Lingkungan Matras, Desa Matras, Sungailiat, Bangka, sehari-hari bekerja sebagai nelayan juga jadi sasaran pasal sama.

Ketua Nelayan Tradisional Pesisir Matras-Pesaren ini bersama 12 nelayan mendapat panggilan dari Dit Polairud Polda Babel. Yaman dan para nelayan dianggap merintangi dan mengganggu tambang timah kapal isap pasir Indosiam Phuket 1 dan Sor Chokedee.

Kapal ini beroperasi di wilayah tangkap nelayan tradisional Matras-Pasaren.

Di Desa Wadas, Purworjo, Jawa Tengah, tiga warga juga mendapat panggilan dari Polres dan dimintai keterangan. Sejak 2013, warga mendengar rencana pembangunan Bendungan Bener. Rencana ini diikuti penambangan quarry batuan andesit di Desa Wadas untuk memenuhi bahan baku pembangunan proyek strategis nasional ini.

Lokasi penambangan akan merampas lahan yang turun temurun untuk pertanian tumpangsari. Rencananya tambang selama 30 bulan dengan cara bor, keruk dan peledakan dengan 5.300 ton dinamit hingga kedalaman 40 meter.

Warga Wadas mengajukan gugatan ke PTUN untuk membatalkan perpanjangan izin Gubernur Jawa Tengah. Sayangnya, pengadilan menolak gugatan masyarakat.

 

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Ada amdal saja kondisi laut tercemar seperti ini, bagaimana kalau tak ada? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kepentingan siapa?

Tri Haryati, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai, pasca UU Minerba terjadi dominasi oligarki di sektor sumber daya alam.

“Hampir tak mungkin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.

Dampaknya, timbul kerusakan lingkungan hidup dan kehilangan hak rakyat terutama masyarakat adat dan kelompok ekonomi rentan serta hak demokrasi. Dia bilang, perizinan dipengaruhi kepentingan investasi dan korporasi.

“Paradigmanya berubah total.”

Paradigma yang dimaksud, prinsip desentralisasi pada UU Minerba lama, UU Nomor 4/2009. Pada UU No 3/2020 terjadi sentralisasi. Kalau sebelumnya keikusertaan pemerintah daerah sangat besar dalam pengelolaan dan pengawasan, kini semua oleh pemerintah pusat. Pemerintah provinsi, katanya, hanya wakil atau perpanjangan pemerintah pusat di daerah.

UU Minerba ini, katanya, sejalan dengan omnibus law atau UU Cipta Kerja yang memberikan kewenangan mutlak kepada presiden dan menteri.

Menurut Tri, ini bagian dari upaya pemerintah Indonesia menaikkan kemudahan berbisnis di mata internasional.

“Supaya dipandang iklim investasi kondusif.”

Alih-alih menegakkan good corporate governance, berbagai kebijakan terkait ini seperti online single submission (OSS), deregulasi perizinan justru menghancurkan lingkungan.

Kalau merujuk UUD 45 Pasal 33 ayat 3, katanya, pemilik sumber daya alam adalah rakyat, jadi seharusnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dengan UU Minerba baru diikuti omnibus law, Tri mempertanyakan penikmat kemudahan investasi dan pengelolaan sumber daya alam ini.

“Filosofi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ini terputus di sini.”

Mengenai pertambangan, katanya, dengan UU lama yang mensyaratkan perlindungan lingkungan lumayan ketat saja, masih banyak celah pelanggaran dan tumpang tindih perizinan karena pengawasan minim.

“Kalau pengawasan dari pusat bagaimana pusat tau ada kejadian apa di daerah?”

Kriminalisasi dan penghancuran lingkungan karena tambang, menurut Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan, makin menghilangkan rasa percaya publik terhadap hukum di Indonesia.

Padahal, katanya, kepercayaan pada instrumen hukum sangat penting guna membentuk kesejahteraan masyarakat. Ketika rasa tak percaya tumbuh bersamaan khawatir menimbulkan ketidakstabilan sosial.

Yang paling mengkhawatirkan dari UU Minerba dan omnibus law, katanya, ada sejumlah pasal terang-terangan menghapus pertimbangan soal daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, terutama buat proyek strategis nasional seperti bendungan, infrastruktur, termasuk pertambangan.

UU Minerba dan omnibus law, katanya, seharusnya membereskan masalah tumpang tindih izin dan persoalan pelanggaran tata ruang selama ini. Alih-alih memperketat, kedua kebijakan ini malah memperlancar perizinan dengan pengawasan makin minim.

Tak heran, kata Hariadi, kalau kelak hutan makin rusak dan banyak kegiatan di luar kawasan berizin.

Rocky Marbun, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila menyayangkan, paradigma UU Minerba dan omnibus law yang mempermudah perizinan untuk usaha penambangan.

“Menambang itu merusak, kenapa dipermudah, harusnya dipersulit. Logika UU-nya tak masuk akal.” ‘

 

****

Foto utama: Tambang batubara di Kaltim, banyak merusak lingkungan dan sengsarakan hidup warga.  Foto: Jatam

Exit mobile version