Mongabay.co.id

Kecintaan Hasballah pada Burung Liar di Hutan Leuser

 

 

Setahun terakhir, Hasballah kembali melakukan aktivitasnya. Kecintaannya pada burung-burung liar di hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], membuatnya semangat bekerja.

Rutinitas lelaki asal Pasie Lembang, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, bagi sebagian orang dianggap membosankan. Tapi tidak bagi Hasballah, kegiatan ini merupakan panggilan jiwa yang tidak bisa ditinggalkan.

Dia selalu membawa buku panduan lapangan “Burung Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan” karya John MacKinnon, Karen Phillipps dan Bas van Balen, serta binokular, buku catatan, dan alat tulis.

Sudah banyak, jumlah burung yang diidentifikasi oleh pria yang kerap disapa Teungku Has. Mulai di hutan Soraya, Subulussalam; hutan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang; hutan sekitar Conservation Response Unit [CRU] Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur; dan wilayah lainnya.

“Memantau burung lebih mudah dilakukan pagi dan sore hari, karena saat itu sebagian besar individu tengah aktif. Namun, ada juga yang mudah dilihat siang hari,” ujarnya, ditemui di hutan Stasiun Riset Soraya, Kota Subulussalam, Aceh, baru-baru ini.

Baca: Hanya Hutan Leuser di Hati Rudi Putra

 

Hasballah yang begitu peduli pada burung-burung liar di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasballah yang tamatan Madrasah Aliyah Negeri [MAN] Model Banda Aceh tahun 1992, terjun ke dunia konservasi pada 1995, sebagai asisten lapangan di Stasiun Penelitian Soraya. Saat itu stasiun riset tersebut dikelola Unit Manajemen Leuser [UML], lembaga pelaksana program Leuser Development Program [LDP], yang merupakan kerja sama Pemerintah Indonesia dengan  Uni Eropa.

“Saya bekerja di Stasiun Riset Soraya hingga tahun 2000. Pada 2001, UML memindahkan saya ke Pos Monitoring Sikundur, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, sebagai asisten lapangan juga,” ujar lelaki kelahiran 13 September 1970.

Setelah program UML berakhir, wilayah [Sikundur] yang masuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL], dikelola Yayasan Leuser International [YLI]. Hasballah tetap bertahan, selama tiga tahun [2008-2010] dia dipercaya sebagai Manager Pos Monitoring dan Unit Patroli Gajah.

Ketika program di YLI berakhir, Hasballah memilih menjadi petani di Bayeun, Kabupaten Aceh Timur, yang dilakoninya hingga 2018. Setahun berikutnya, ayah dua anak ini kembali ke hutan, memantau burung liar, setelah dirinya “ditemukan” kembali oleh Ketua Pembina Forum Konservasi Leuser [FKL], Rudi Putra.

Baca: Sisi Menawan Rawa Singkil yang Luput Perhatian

 

Sudah banyak jenis burung yang diidentifikasi HAsballah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasballah sejatinya sudah tertarik mengamati burung liar sejak 1995, awal berada di Stasiun Penelitian Soraya. “Kami mendapat tugas memantau dan mengidentifikasi jenis burung yang ada. Saya langsung jatuh hati, jumlah dan jenisnya banyak, ketimbang yang saya lihat di kampung,” ungkapnya.

Di Stasiun Penelitian Soraya, Hasballah telah mengindentifikasi lebih 100 jenis burung, di hutan restorasi Tenggulun [lebih 60 jenis], sementara di sekitar CRU Serbajadi [sekitar 60 jenis]. “Saat ini, saya mendata burung di hutan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya,” terangnya.

Baca: Perburuan Burung Liar di Hutan Aceh Tak Kunjung Berhenti

 

Riset mengenai jenis burung endemik di hutan Leuser masih begitu terbatas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sedih melihat burung di sangkar 

Hasballah menuturkan ada jenis burung diburu karena memiliki suara merdu atau warnanya yang menarik.

“Kerak kerbau [Acridotheres javanicus] dan murai batu atau kucica hutan [Copsychus malabaricus] yang dulunya mudah ditemukan di permukiman penduduk, kini sangat jarang terlihat. Burung itu secara alami hidup bebas, terbang lepas, bukan di sangkar.”

Seharusnya, tidak ada lagi perburuan, karena burung itu penting bagi eksosistem lingkungan. Sebagai indikator alami kesehatan lingkungan dan membantu penyerbukan.

“Kesadaran masyarakat akan pentingnya burung di alam harus terus ditumbuhkan. Saya sangat senang ketika menemukan pengumuman larangan perburuan burung di hutan,” ucapnya.

Hasballah mengakui, penelitian burung di hutan Aceh, terutama di KEL masih minim.

“Sejak saya bekerja mengidentifikasi burung, sangat sedikit saya lihat riset burung endemik. Justru, yang sering saya temukan penelitian mengenai burung migrasi,” terangnya.

Baca: Sudah Satu Abad, Sikatan Aceh Tak Kunjung Terlihat

 

Hadirnya burung dalam ekosistem lingkungan menandakan wilayah tersebut masih alami. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rudi Putra, Ketua Pembina Forum Konservasi Leuser [FKL], mengatakan Hasballah merupakan sosok tangguh, tidak mengeluh, dan bisa bekerja dalam segala kondisi.

“Dia adalah salah seorang ahli burung di Aceh. Belajar alami di hutan, namun memiliki pengetahuan cukup tinggi, khususnya tentang burung-burung di hutan Leuser.”

Menurut Rudi, setelah berakhirnya kerja di Yayasan Leuser International, Hasballah menjadi  petani. Meskipun bisa mencukupi kebutuhan keluarga, namun aktivitas itu tidak membuatnya bahagia.

“Saat bertemu saya di mess FKL di Langsa pada 2018 silam, saya lihat dia sakit, badanya kurus dan kehilangan semangat. Saya perkirakan sudah tidak mampu bekerja di hutan,” kenangnya.

Baca juga: Bas van Balen: Cinta Indonesia Sejak di Belanda

 

Bekerja di hutan Leuser membuat semangat Hasballah menggelora. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rudi terkejut ketika Hasballah mengungkapkan ingin kembali bekerja di hutan. Tidak ingin mematahkan semangat, Rudi meminta Hasballah untuk kembali ke lapangan, termasuk memantau burung-burung di hutan.

“Beberapa waktu lalu saya bertemu Teungku Has. Perubahan dirinya cukup terlihat, fisiknya kembali kuat, tidak terlihat lagi penyakit di tubuhnya. Orang tangguh namun berjiwa santun itu, menambah jumlah ahli burung di Aceh,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version