Mongabay.co.id

Potret Perempuan Nelayan di Pesisir Jumiang Pamekasan

 

Puluhan perahu dengan ragam corak tampilan bercat warna-warni dan posisi berjarak satu sama lain nampak menepi di bibir Pantai Jumiang, Dusun Jumiang, Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (21/9/2021). Di sepanjang garis pantai bagian barat, sejumlah perempuan nampak sibuk menyalin ikan hasil tangkapan dari box styrofoam ke baskom, beberes wadah ragam bentuk dan warna, dan bertransaksi dengan tengkulak.

Di atas perahu, beberapa nelayan nampak sibuk berkemas, sebagian menurunkan kotak berisi ikan hasil tangkapan dan memikulnya ke tepi pantai, sebagian menenteng wadah bekal selama melaut, dan sebagian memanggil perempuan di tepi pantai dengan isyarat tangan. Dengan sigap, beberapa perempuan yang dipanggil bergegas mendekati perahu untuk memboyong ikan hasil tangkapan. Nampak juga satu awak nelayan bergegas ke tepi pantai untuk mengikat perahu pada pasak dan juga ke pohon cemara laut.

Misnati, seorang perempuan nelayan, duduk bersama tiga perempuan lain di posko tepat di bawah rindangnya cemara laut. “Kami sedang menunggu suami, untuk bantu-bantu penjualan ikan hasil tangkapan. Tapi belum datang ini. Semoga selamat dan bawa banyak ikan,” tuturnya ketika disapa.

Misnati menjelaskan hampir semua perempuan yang suaminya seorang nelayan maupun bukan nelayan dan tidak memiliki pekerjaan lain, menjalankan rutinitas seperti dirinya: pukul tiga dini hari mempersiapkan bekal suami melaut, pagi beberes rumah, mempersiapkan sarapan, baju, dan alat sekolah anak-anaknya serta pada pagi jelang siang harus bergegas ke pantai untuk menyambut ikan hasil tangkapan untuk penjualan.

“Kalau tidak ikut ke sini, kasihan suami. Masa saya hanya di rumah. Alhamdulillah, uang hasil penjualan ikan masuk ke saya, dan digunakan untuk kebutuhan dapur, pendidikan anak-anak, juga sebagian disimpan dipersiapkan bila kebutuhan mendesak,” jelasnya.

baca : Hari Nelayan: Nasib Perempuan Nelayan yang masih Kelam

 

Salah seroang perempuan nelayan membuntuti nelayan laki-laki yang memikul ikan hasil tangkapan di Pantai Jumiang, Tanjung, Pademawu, Pamekasan, Madura. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Perempuan lain, Sumiyati juga bercerita ihwal aktivitas yang biasa dia lakukan di pantai tersebut dan biasa ia lakukan hampir tiap hari. Dia datang bersama perempuan nelayan lain pada waktu yang nyaris bersamaan. Berbeda dengan Misnati, Sumiyati memilih pergi ke pantai menyambut nelayan untuk penjualan ikan hasil tangkapan meski suaminya tidak berprofesi sebagai nelayan.

“Kalau saya buat cari uang tambahan saja. Saya sebagai perempuan ikut kebiasaan masyarakat sini membantu jual beli ikan. Ya, hitung-hitung bantu ekonomi keluarga. Tidak mungkin saya bergantung ke suami karena kebutuhan banyak,” jelasnya.

Menurutnya, perempuan harus bisa mandiri dan menghasilkan uang. Semisal sebagai perempuan di pesisir, terlibat dalam jual beli ikan dan pengolahan ikan hasil tangkapan untuk dijual dalam bentuk camilan dan olahan siap saji lain.

“Saya biasa membeli ikan langsung dari nelayan untuk dijual ke pengepul dari luar daerah Jumiang. Kebetulan, kalau musim seperti sekarang nelayan yang berangkat pukul pukul tiga pagi biasa dapat ikan teri. Ya, saya beli sama nelayan langsung buat dijual lagi ke pengepul dari luar sini. Kalau normal, penghasilan bisa Rp300 ribu sampai Rp500 ribu,” ungkapnya.

Ezra Dwi, aktivis Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, perempuan nelayan masih mendapat stigma negatif. Dianggap sebagai kaum yang melawan kodrat atau tidak pantas melaut dan hanya bisa bekerja dalam urusan domestik. Stigma inilah yang membuat para perempuan nelayan menjadi terpinggirkan.

“Padahal, perannya sangat penting dan kontribusinya besar dalam perikanan. Perempuan nelayan sebenarnya juga bisa mengemudi perahu atau bisa berbudidaya. Nelayan itu kan ada dua macam, nelayan tangkap dan nelayan budi daya. Perempuan nelayan sangat berperan besar baik pra maupun pasca tangkap. Seperti bekal, jaring, dan kebutuhan melaut lainya. Pasca tangkap, perempuan nelayan harus membersihkan ikan, jaring, jual ikan ke pasar atau kepada tengkulak,” bebernya kepada Mongabay Indonesia, Rabu (6/10/2021).

baca juga : Perempuan Nelayan Manado, Mencari Solusi di Tengah Pandemi (Bagian 1)

 

Sejumlah perempuan nelayan sedang sibuk bertransaksi jual beli ikan di area penimbangan di tepi Pantai Jumiang, Tanjung, Pademawu, Pamekasan, Madura. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Dia bilang mereka bisa berhutang untuk memenuhi kebutuhkan keluarga bila pendapatan suaminya dari melaut tidak cukup. Itu berat, tapi tetap dijalankan. Sebenarnya, perempuan nelayan ini memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Tapi mereka tidak mendapatkan hak-hak seperti yang didapat laki-laki. Seperti asuransi, jaminan kesehatan, akses bantuan, subsidi, dll.

“PPNI pernah melakukan advokasi bersama sejumlah perempuan di Demak. Sekitar 31 perempuan nelayan, status pekerjaannya sudah diubah jadi perempuan nelayan. Tapi hanya di kartu atau KTP saja yang status jadi perempuan nelayan. Namun untuk akses subsidi seperti BBM belum diimplementasikan. Selain itu, mereka juga dihadapkan dengan hukum adat dan budaya yang mengekang mereka. Sehingga ruang gerak mereka dipersempit,”

Menurutnya, perempuan masih terjepit budaya patriarki. Seperti mereka dianggap tidak wajib keluar rumah. Padahal, perempuan punya hak untuk bekerja dan mampu. “Kehidupan ini kan terus berjalan. Semisal suami tak mampu bekerja karena berhalangan sakit, atau sibuk dengan urusan lain, perempuan kan bisa menggantikan. Perempuan juga berhak terlibat menentukan masa depan keluarga, kebutuhan keluarga, tabungan, bahkan keputusan untuk tabungan keluarga dan lainnya,” jelasnya.

Riset PPNI menunjukkan, perempuan nelayan memiliki ketahanan pangan yang baik daripada laki-laki. Begitupun dengan mereka perlu memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak. Ezra menuturkan, PPNI melihat tanggung jawab perempuan nelayan itu berat sekali. Baik dalam internal keluarga maupun eksternal keluarga.

“PPNI melihat di lapangan, perempuan nelayan belum mendapatkan hak akses pengetahuan pengelolaan ikan hasil tangkapan nelayan. Seperti juga saat mengurusi label untuk izin pengelolaan ikan di pemerintah,” tambah Ezra.

menarik dibaca : Masnuah, Pejuang Perempuan Nelayan dari Demak

 

Salah seorang perempuan nelayan sedang membersihkan box styrofoam ikan di binir pantai di tepi Pantai Jumiang, Tanjung, Pademawu, Pamekasan, Madura. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai bahwa perempuan nelayan cukup banyak berkontribusi dalam perikanan. Akan tetapi hak-hak mereka kerap diabaikan. Bahkan mereka tidak diakui perannya di dalam aturan-aturan atau kebijakan yang dibuat pemerintah.

Dia bilang, dalam Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Taram, peran perempuan hanya diakui kontribusinya dalam rumah tangga nelayan saja. “Tapi Kiara menemukan di lapangan, ternyata perempuan nelayan cukup berkontribusi besar dalam praktik produksi perikanan,” katanya.

Harusnya, mereka diakui di dalam regulasi dan dilibatkan dalam menyusun suatu kebijakan, serta dalam perencanaan pembangunan. Budaya patriarki bukan hanya merampas ruang hidup perempuan nelayan. Kiara mencoba mendorong perempuan termasuk perempuan nelayan agar tidak berpikir sebagai kaum kelas dua.

“Oleh karena itu, Kiara merasa punya tanggung jawab untuk membersamai perempuan nelayan agar tidak terjepit patriarki dengan cara menunjukkan bahwa perempuan nelayan juga mampu terlibat secara aktif dalam produksi perikanan,”

Sedangkan Dinda Nisa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) menilai, secara umum, perempuan nelayan mengalami ketidakadilan dan ditimpa beban yang berlapis. Hak-haknya tidak dipenuhi oleh negara. Banyak kebijakan yang justru mengganggu bahan menghancurkan ruang hidup perempuan nelayan. Tidak tepat jika mengatakan perempuan nelayan tidak ada itu. Karena di banyak tempat di Indonesia, seperti di Makassar dan Nusa Tenggara Timur, perempuan justru banyak yang melaut.

“90% perempuan nelayan berperan dalam produksi perikanan, khususnya pasca tangkap. Peran itu dilakukan oleh perempuan nelayan secara aktif,” ujarnya.

baca juga : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?

 

Sumiyati, seorang perempuan nelayan sedang mengulak ikan teri untuk dijual ke tengkulak dari luar Jumiang, di tepi Pantai Jumiang, Tanjung, Pademawu, Pamekasan, Madura. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Dinda membeberkan riset oleh Lembaga Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO). yang menunjukkan bahwa perempuan nelayan, 15% punya peran dalam melaut langsung. Dan 90% proses pasca tangkap. Data ini menunjukkan bahwa perempuan nelayan punya peran yang sangat signifikan, baik ekonomi dalam keluarga nelayan maupun ekonomi secara nasional.

Dia bilang, perempuan nelayan kurang diberikan akses pengetahuan soal perikanan. Pengetahuan perikanan di pesisir hanya berdasar pengetahuan warisan dari generasi ke generasi.

“Yang lucu justru, ketika program pemerintah justru menggeser pengetahuan perempuan nelayan soal perikanan dengan cara memberikan pengetahuan lain di luar konteks kehidupan mereka di pesisir. Seperti diberikan pelatihan membuat kerajinan tangan di luar konteks kelautan. Pada saat pandemi ini saja, ini membuktikan bahwa sebenarnya pengetahuan dan peran perempuan nelayan berperan penting dalam menjaga kedaulatan pangan,” tambah Dinda.

Wasik dan Mat Sari dalam penelitiannya berjudul ‘Peran Perempuan Dalam Penjualan Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Di Desa Tlesah Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan’ menjelaskan, istri para nelayan memiliki peran yang sangat penting terhadap peningkatan perekonomian rumah tangga masyarakat Desa Tlesah Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan.

“Peran yang dilakukan oleh para istri nelayan dalam mendukung peningkatan perekonomian rumah tangga mereka dilakukan dengan beberapa cara serta usaha-usaha yang melakukan yakni salah satunya dengan ikut andil dalam menjualkan hasil tangkapan ikan yang diperoleh oleh para suami mereka,” tulis Wasik dan Sari.

baca juga : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Ilustrasi. Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Adapun penjualan ikan yang dilakukan oleh para istri nelayan dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mereka hanya menjual secara langsung ikan hasil tangkapan yang diperoleh oleh para suami mereka, penjualan tersebut dilakukan dengan cara menjajakan ikan-ikan tersebut dengan berkeliling ke desa-desa sekitar serta bisa juga dengan membawanya ke pasar untuk dijual secara eceran.

Kedua, cara yang dilakukan oleh para istri nelayan dalam menjual ikan hasil tangkapan suami mereka yaitu dengan memasaknya terlebih dahulu kemudian mereka (para istri nelayan) menjualnya setelah ikan sudah dapat dimakan, cara penjualannya dengan cara membawanya keliling ke desa-desa sekitar untuk dijual kepada orang-orang, penjualannya juga dapat dilakukan dengan cara membawanya ke pasar untuk menjualnya secara eceran dengan tujuan agar hasil yang diperoleh dapat lebih banyak dibandingkan langsung dijual kepada para pengepul ikan yang ada di pasar.

Mongabay Indonesia telah berupaya menghubungi Plt. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan, Bambang Prayogi pada Senin (4/10/2021), untuk konfirmasi mengenai program pemberdayaan perempuan nelayan di Pamekasan. Tapi upaya melalui pesan Whatsapp itu hanya dibaca tanpa balasan.

 

Exit mobile version