Mongabay.co.id

Kelik Puteh, Ikan Lele “Albino” yang Mulai Menghilang dari Pulau Bangka

 

 

Masyarakat lokal Pulau Bangka biasa menyebutnya dengan nama “kelik puteh”. Nama tersebut berasal dari warna putih [albino] di sekujur tubuhnya, serta mata berwarna merah. Kondisi ini menjadikannya berbeda dengan jenis ikan lele lokal pada umumnya, yang cenderung berwarna kecokelatan hingga kehitaman. Jenis ini juga berbeda dengan lele dumbo [Clarias gariepinus] yang merupakan jenis budidaya dari Afrika.

Swarlanda, pendiri The Tanggokers, sebuah Yayasan Ikan Endemik Bangka Belitung yang fokus pada riset, edukasi, serta pelestarian ikan endemik di Bangka Belitung mengatakan, kelik puteh yang ada di Pulau Bangka, sementara diidentifikasi sebagai spesies Asian Catfish [Clarias batrachus].

“Namun semua itu belum bisa dipastikan, meski mirip spesies Clarias batrachus, hingga saat ini belum ditemukan catatan atau penelitian dari spesies kelik puteh yang ada di Pulau Bangka,” kata lelaki yang akrab disapa Landa, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [21/10/2021].

“Spesies yang ada di Pulau Bangka ini bukan jenis hybrid atau hasil rekayasa genetik buatan, karena menurut informasi turun temurun di masyarakat, kelik puteh sudah ada sejak tahun 1950. Bisa jadi, sudah ada di alam jauh sebelum itu. Keturunannya tidak mengalami perubahan warna dan tersebar banyak hampir di seluruh wilayah Pulau Bangka,” jelasnya.

“Perbedaan mencolok lainnya dengan jenis hybrid yang sering dijadikan untuk ikan hias, terletak pada matanya yang merah, warna putih polos cenderung merah jambu tanpa ada bercak, seperti kebanyakan jenis hias di pasaran, serta warna keturunannya yang tidak mengalami perubahan,” lanjutnya.

Baca: Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka

 

Kelik puteh, diidentifikasi sebagai spesies Clarias batrachus albino. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Landa, kelik puteh di Pulau Bangka diduga mengalami kondisi leucistic atau kelainan akibat mutasi gen yang menyebabkan tidak sempurnanya penyebarluasan pigmen pada tubuh.

“Atau bisa jadi sepenuhnya albino, karena sekujur tubuh kelik puteh didominasi warna putih serta perubahan warana mata menjadi merah. Oleh karena itu, untuk sementara kami menamainya Clarias batrachus albino,” katanya.

Landa menambahkan, saat ini The Tanggokers berusaha untuk mengajukan proses penelitian DNA kepada LIPI [BRIN], untuk memastikan apakah spesies kelik puteh yang ada di Pulau Bangka merupakan Clarias batrachus yang mengalami kelainan atau bahkan merupakan spesies baru.

“Penelitian DNA menjadi penting, karena berguna untuk melacak bagaimana asal usulnya di Pulau Bangka.  Apakah termasuk Clarias batrachus, spesies baru, atau jenis endemik Pulau Bangka,” katanya.

Baca: Cara Unik Masyarakat Pulau Bangka Menjaga Kelestarian Satwa Liar

 

Dalam kehidupan masyarakat di Pulau Bangka, kelik puteh sangat jarang dikonsumsi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Habitat dan populasi

Dikutip dari laman iucnredlist.org, Clarias batrachus  pernah diperkirakan tersebar luas di Kamboja, Thailand, Vietnam dan Laos [cekungan Mekong dan Chao Phraya], Malaysia [Sarawak, Sabah], dan Indonesia [Kalimantan, Sumatera, dan Jawa]. Pada 2008, Clarias batrachus di anak benua India, telah didentifikasi ulang sebagai Clarias magur.

Sehingga, distribusi spesies ini sekarang dianggap hanya mencakup Jawa, sementara yang berasal dari Kepulauan Sunda Besar dan Indochina diduga merupakan spesies berbeda. Spesies ini juga telah diperkenalkan secara luas untuk budidaya, misalnya di Filipina, serta pantai timur dan barat Amerika Serikat.

Habitat spesies ini berada di lingkungan air tawar dataran rendah, termasuk sungai, danau, kolam dan waduk, tetapi lebih banyak lagi di perairan rawa yang terlantar dan juga sawah.

Mengacu pada laporan The IUCN Red List of Threatened Species 2019, status Clarias batrachus masuk kategori Least Concern [LC] atau Berisiko Rendah.

Dikutip dari Asian Journal of Animal and Veterinary Advances berjudul Asian Catfish Clarias batrachus [Linnaeus, 1758] Getting Critically Endangered, terbit 2013, dijelaskan bawah spesies ini memiliki kemampuan untuk migrasi darat ke badan air terdekat serta bertahan di lingkungan tanpa air [kekeringan] selama beberapa hari. Juga, dapat bertahan dalam kondisi air yang kekurangan oksigen [keruh atau tercemar], selama masih dalam kondisi wajar.

“Spesies ini sekarang rentan bahkan terancam punah di alam, karena berbagai aktivitas merusak alam, seperti eksploitasi berlebihan, pengurangan area habitat akibat reklamasi lahan basah ditambah lagi penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk anorganik yang berlebihan di lahan pertanian,” tulis jurnal tersebut.

Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Sekitar tahun 90-an hingga 2005, kelik puteh masih dapat ditemui di sekitar saluran drainase Kota Pangkalpinang, yang kini dipenuhi sampah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan kondisi kelik puteh di Pulau Bangka?

Menurut Landa, kelik puteh yang dapat tumbuh hingga panjang 30-50 centimeter ini, mempunyai habitat yang mirip dengan spesies Clarias batrachus.

“Akan tetapi, dari beberapa penemuan kami, habitatnya di Pulau Bangka berada di aliran air berarus jernih. Biasanya, di tengah hutan perbukitan yang mempunyai kolam alami, atau wilayah dataran rendah yang kondisi airnya masih terjaga,” katanya.

Pada rentang 1999-2005, kelik puteh masih dapat ditemui di aliran Sungai Rangkui, yang membelah wilayah Kota Pangkalpinang. “Saat itu, kondisi sungai, saluran air dan lebaknya masih jernih, serta belum banyak pencemaran atau penimbunan untuk permukiman,” lanjutnya.

Populasinya di Pangkalpinang mulai berkurang dan hilang sekitar tahun 2010 hingga sekarang. Penyebabnya beragam, mulai dari perubahan habitat yang menjadi permukiman, pencemaran air dari limbah rumah tangga, industri pertanian di hulu sungai, serta pendangkalan pada aliran habitat akibat pertambangan timah di sekitar Bukit Mangol, hulu Sungai Rangkui.

“Akibatnya, air sungai di Pangkalpinang menjadi keruh, berlumpur, dan tercemar” kata Landa.

Selain itu, hadirnya spesies ikan-ikan asing yang bersifat invasif pada aliran habitat seperti ikan sapu-sapu, lele dumbo, nila dan sebagainya, juga menjadi faktor penyebab semakin berkurang dan hilangnya kelik puteh di Pangkalpinang.

Baca: Madu Kelulut, Komitmen Warga Labuh Air Pandan Menjaga Alam

 

Aliran air di sekitar hutan Rimba Keratung di Desa Serdang, Kabupaten Bangka Selatan, kemungkinan besar menjadi habitat alami kelik puteh. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terancam tambang dan perkebunan sawit

Meski baik untuk kesehatan, karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, ikan kelik puteh dalam kehidupan masyarakat lokal Pulau Bangka sangat jarang dikonsumsi.

“Hal ini dikarenakan warnanya yang berbeda dari ikan air tawar umumnya,” kata Landa.

“Jadi, tidak mungkin penurunan populasi kelik puteh di Pulau Bangka karena konsumsi berlebihan. Tetapi sangat mungkin dijadikan komoditi jual beli ikan hias, karena warnanya yang eksotik,” lanjutnya.

Khusus di Pulau Bangka, satu-satunya titik habitat kelik puteh yang masih terjaga berada di Desa Pedindang, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah.

“Sebenarnya di sejumlah titik di Bangka Barat juga ada, tetapi yang kondisi habitatnya masih baik dan populasinya cukup banyak, setahu saya di Desa Pedindang,” ujarnya.

Menurut Landa, ancaman terbesar kelestarian kelik puteh, datang dari perluasan perkebunan sawit serta aktivitas pertambangan di Pulau Bangka.

“Banyak kantong-kantong sumber air jernih di tengah hutan mengalami kekeringan. Ditambah aktivitas pertambangan yang dapat memperkeruh aliran sungai-sungai kecil di pedesaan,” tegasnya.

Baca juga: Sungai Upang dan Masa Depan Konservasi Pulau Bangka

 

Kondisi Sungai Rangkui di Kota Pangkalpinang yang berwarna kecokelatan tidak lagi menjadi habitat kelik puteh. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, ikutip dari bangka.tribunnews.com, 9 Maret 2021, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan, Provinsi Bangka Belitung, Juaidi, mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun, luasan perkebunan sawit milik perusahaan berdasarkan IUP dan HGU sekitar 170 ribu hektar. Sedangkan milik masyarakat hampir 90 ribu hektar.

Sementara, berdasarkan dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2019, dari total luas lahan 1.669.419 hektar di Bangka Belitung, hanya menyisakan 461.576 hektar [27,65 persen] lahan dalam kondisi tidak kritis. Sisanya, dalan kondisi potensial kritis [794.718 hektar], agak kritis [392.437 hektar], kritis [20.428 hektar], dan sangat kritis [260 hektar].

 

 

Exit mobile version