Mongabay.co.id

Mematangkan Payung Hukum untuk Penangkapan Ikan Terukur

 

Penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur yang direncanakan akan mulai berjalan pada 2022 mendatang terus dilakukan pematangan konsep oleh Pemerintah Indonesia. Di antara yang dibahas, adalah tentang produktivitas kapal penangkap ikan dan harga patokan ikan (HPI).

Kedua hal tersebut dinilai penting, karena bisa mendorong peningkatan dan sekaligus efektivitas produksi perikanan secara nasional. Atas pertimbangan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini sedang membahas rancangan peraturan perundang-undangan yang akan diterbitkan segera.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini menjelaskan, rancangan peraturan yang dibahas adalah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), khususnya yang berkaitan dengan produktivitas kapal penangkapan ikan dan HPI.

Dua bahasan tersebut, sebelumnya sudah ditetapkan mejadi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2021 tentang tentang Harga Patokan Ikan untuk Perhitungan Pungutan Hasil Perikanan, dan Kepmen KP 87/2021 tentang tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan.

Selain dua Kepmen di atas, KKP juga memberlakukan Peraturan Pemerintah RI 85/2021 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Peraturan tersebut diterapkan, karena ada pengaturan tentang penangkapan ikan terukur dan tata cara penarikan sistem kontrak.

Muhammad Zaini menerangkan, selain pembahasan produktivitas kapal penangkapan ikan dan HPI, KKP juga fokus pada pembahasan rancangan PP yang membahas tentang penangkapan ikan terukur, dan pembahasan rancangan Peraturan Menteri KP tentang sistem kontrak.

baca : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Munculnya dua bahasan tentang produktivitas kapal penangkapan ikan dan HPI, terjadi karena sebelumnya KKP sudah melakukan evaluasi dengan menggunakan data dan informasi terkait tentang dua kebijakan tersebut.

“Dalam membuat rancangan peraturan tersebut, KKP melibatkan para pihak yang ada di dalam lingkup sendiri, maupun pelaku usaha perikanan tangkap, nelayan tradisional, asosiasi perikanan, serta akademisi,” papar dia belum lama ini di Jakarta.

Salah satu tahapan pembahasan yang sedang dijalani adalah melaksanakan konsultasi publik dengan melibatkan pemangku kepentingan pada subsektor perikanan tangkap. Tahapan tersebut dilakukan secara daring, dan melengkapi pertemuan sebelumnya yang digelar secara luring di berbagai kota.

Selain Jakarta, pertemuan luring dengan melibatkan para pemangku kepentingan subsektor perikanan tangkap juga dilaksanakan di Cilacap, Pelabuhan Ratu, Mayangan, Cirebon, Belawan, Pemangkat, Bitung, dan Denpasar.

Menurut Muhammad Zaini, seluruh pertemuan itu dilakukan untuk menyerap masukan dari masyarakat nelayan terkait pelaksanaan PP 85/2021. Dari masukan-masukan tersebut, KKP tengah mengaji kemungkinan penyesuaian atas HPI dan produktivitas kapal penangkapan ikan.

Bahasan lain yang juga dibicarakan dalam setiap pertemuan, adalah tentang tata cara penarikan sistem kontrak atas jenis PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam perikanan. Bahasan tersebut dilakukan, karena sedang ada pembuatan rancangan Permen KP yang berkaitan dengan keduanya.

baca juga : Menanti Model Penangkapan Ikan Terukur Diterapkan di Laut Nusantara

 

Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Seluruh bahasan tersebut, menjadi bagian dari peraturan turunan dari PP 85/2021 yang sudah berlaku saat ini. Peraturan turunan tersebut direncanakan akan berjumlah keseluruhan delapan peraturan pelaksana dan seluruhnya berkaitan dengan subsektor perikanan tangkap.

Rinciannya, terdiri dari tiga rancangan peraturan Menteri KP dan lima rancangan keputusan Menteri KP. Sampai saat ini, dari total delapan peraturan yang direncanakan, sebanyak enam peraturan sudah selesai dibuat, dan dua sisanya masih dalam proses penyusunan.

Khusus yang berkaitan dengan kebijakan penangkapan ikan secara terukur, KKP akan mendorongnya menjadi peraturan Pemerintah. Dengan demikian, diharapkan itu bisa menjadi payung hukum yang lebih kuat saat kebijakan tersebut mulai dilaksanakan.

Dalam rancangan PP yang membahas tentang penangkapan ikan terukur, di dalamnya ada bahasan detail tentang penangkapan ikan. Di antaranya adalah zona industri, zona nelayan lokal, dan zona pemijahan dan daerah bertelur (nursery and spawning grounds).

Kemudian, rancangan PP juga akan memuat ketentuan kerja sama sistem kontrak, terkait estimasi potensi, jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, alokasi sumber daya ikan, alat penangkapan ikan, pelabuhan perikanan, awak kapal perikanan, dan suplai pasar domestik.

Lebih detail, muara kebijakan yang akan diterapkan pada 2022 mendatang itu, tidak lain adalah untuk mendorong peningkatan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan. Namun, ada sejumlah variabel penentu yang bisa mendorong terkumpulnya PNBP, khususnya dari perikanan tangkap.

baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Variabel Penentu

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Trian Yunanda, variabel yang dimaksud adalah penentuan tarif dari Kementerian Keuangan RI, dan HPI serta produktivitas kapal penangkapan ikan yang diterbitkan oleh KKP.

Khusus yang berkaitan dengan KKP, proses penentuan akan menggunakan data dua tahun terakhir yang dikumpulkan dari 124 pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia. Semua data tersebut dijamin asli dan tanpa manipulasi, mengingat KKP ada dalam pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Trian Yunanda mengungkapkan, penetapan HPI terakhir dilakukan pada 2011 dengan menggunakan basis data yang berasal dari 2010. Fakta tersebut menjelaskan bahwa HPI sudah tidak ada pembaruan selama sepuluh tahuh terakhir.

“Kita enggak bisa memanipulasi harga itu, tentunya sepuluh tahun harga-harga sudah naik, inflasi dan tentunya kita harus melakukan penyesuaian,” tegasnya.

Tentang PP 85/2021 yang sudah berlaku saat ini, sebagian pihak ada yang menilai bahwa itu menjadi peluang terbaik dibandingkan dengan sebelumnya. Jika dipraktikkan dengan tepat, peraturan tersebut akan memberikan kenyamanan dalam berusaha kepada para pelaku usaha.

Hal tersebut diungkapkan Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra. Namun demikian, dia menyebut masih perlu ada pengkajian ulang pada Pasal 2 Ayat 6 terkait produktivitas kapal penangkapan ikan dan Ayat 7 mengenai harga patokan ikan.

Dengan semua permasalahan tersebut, para pelaku usaha sangat berharap ada komunikasi yang berjalan baik dengan KKP yang berperan sebagai pemegang kebijakan. Dari situ, diharapkana ada diskusi yang komprehensif tentang segala rencana yang akan dituangkan menjadi peraturan perundangan.

“Apapun yang terjadi kami tetap ke laut. Siapa tahu dengan naiknya ini, kami buang pancing hasilnya juga naik, jadi bisa menutup semuanya,” pungkas dia.

Berkaitan dengan data kapal penangkapan ikan, KKP mendorong agar kegiatan tersebut bisa berjalan sesuai rencana. Salah satunya, bagi seluruh kapal penangkap ikan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (CTC) yang beroperasi di perairan kepulauan, teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, dan laut lepas.

Seluruh kapal akan mendapatkan layanan sajian informasi dari Database of Indonesian Vessels Authorized to Fish for Tuna (DIVA) atau Basis data Kapal Penangkap Tuna Indonesia. Layanan tersebut dijanjikan akan menyajikan informasi secara terkini (real time) kapal penangkap ikan CTC.

Selain layanan informasi, DIVA Tuna juga akan memberikan layanan informasi tentang daftar kapal penangkap Tuna yang terdaftar di organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). KKP mengembangkan layanan terintegrasi dengan sistem informasi kapal daerah berukuran di bawah 30 gros ton (GT), dan kapal ikan pusat di atas 30 GT.

Dengan adanya layanan tersebut, diharapkan transparansi pengelolaan perikanan TCT di perairan Indonesia bisa terwujud. Salah satunya, adalah asas ketertelusuran (traceability) yang menjadi salah satu prasyarat agar produk TCT Indonesia dapat diterima pasar internasional.

 

Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version