Mongabay.co.id

Kebijakan Ekologi Provinsi Kaltara Atasi Dampak Perubahan Iklim 

 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan rentan akan risiko perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan kebakaran hutan.

Dari tahun 1981-2018, Indonesia mengalami tren kenaikan suhu sekitar 0,03 °C per tahun (Sumber BMKG 2020)

Dari tahun 2010-2018, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional mengalami tren kenaikan sekitar 4,3% per tahun (sumber data KLHK 2020, diolah). Permukaan laut naik 0,8-1,2 cm/tahun sementara sekitar 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir (Sumber data Bappenas 2021).

Dalam dialog Kebijakan Pengembangan Skema Transfer Fiskal Berbasis Ekologis di Provinsi NTT, Rabu (6/10/2021), Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan resiko dari perubahan iklim berakibat pada kelangkaan air.

Joko katakan tingkat banjir dan kekeringan yang parah akan memperparah kelangkaan air bersih. Sementara terkait kerusakan ekosistem lahan, secara ilmiah diprediksi bahwa kebakaran hutan yang parah akan terjadi.

“Hal ini dapat menyebabkan hilangnya ekosistem, keanekaragaman hayati, dan perubahan biomasa,” sebutnya.

baca : SKPT Sebatik, Beranda Ekonomi di Penghujung Utara Kalimantan

 

Indahnya muara di wilayah Kalimantan Utara. Foto: Hendar

 

Joko tambahkan dampaknya akan terjadi kerusakan ekosistem lautan. Naiknya suhu permukaan laut menyebabkan punahnya terumbu karang, rumput laut, mangrove, beberapa keanekaragaman hayati dan ekosistem laut.

Terkait penurunan kualitas kesehatan banjir dapat menyebabkan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor dan kematian akibat tenggelam. Kenaikan suhu dapat menyebabkan kematian akibat serangan hawa panas.

“Terjadi kelangkaan pangan akibat perubahan produksi biomasa dan ekosistem. Perubahan Iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, yang saat ini mencapai 80% dari total bencana yang terjadi di Indonesia (Sumber: NDC, 2016),” paparnya.

Joko menambahkan, potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66% s/d 3,45% PDB pada tahun 2030 Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim ( Sumber: Roadmap NDC Adaptasi, 2020)

 

Penguatan Agenda Iklim

Paris Agreement dalam COP 21 tahun 2016 sepakat untuk mengurangi laju emisi dari business as usual di tahun 2030, untuk menahan laju temperatur global di bawah 2⁰C dari sebelum Revolusi Industri.

Joko menyebutkan, G20 telah mendorong komitmen negara-negara pada isu perubahan iklim, termasuk untuk phasing out subsidi atas fossil fuels.

Pada COP-26 bulan November 2021, negara-negara akan didorong untuk mencapai Net Zero Emissions di tahun 2060 atau lebih cepat.

baca juga : BMKG: Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem

 

Perkebunan kelapa sawit yang mulai marak di Kalimantan Utara. Foto: Hendar

 

Ia katakan Uni Eropa mewacanakan kebijakan carbon border adjustment mechanism (bagian dari EU Green Deal) atau pengenaan pajak impor untuk barang yang menghasilkan emisi sesuai besaran emisi yang dihasilkan.

Dia jelaskan lembaga-lembaga keuangan besar telah berkomitmen untuk mulai mengurangi (seperti JP Morgan) dan bahkan menghentikan (seperti Goldman Sach) pembiayaan bagi proyek-proyek terkait fossil fuel.

“Tren global ESG funds (dana-dana yang memperhatikan prinsip ESG dalam kegiatan investasinya) semakin meningkat pesat sejak 2020,” tuturnya.

Joko sebutkan,sejak tahun 2016 Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement kedalam UU No.16/2016 tanggal 24 Oktober 2016, tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Tahun 2016 penyampaian NDC ke Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Tahun 2020 telah disusun Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon dalam RPJMN 2020-2024 dan penyampaian Nationally Determined Contribution (NDC) kepada UNFCCC melalui NDC,

“Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK dari level BaU pada tahun 2030 sebesar: 29% melalui upaya nasional 41% dengan dukungan internasional,” terangnya.

baca juga : Pemprov NTT Terapkan Skema Transfer Fiskal Berbasis Ekologi. Bagaimana Caranya?

 

Muara sebelum memasuki Kota Malinau, Kalimantan Utara. Foto: Hendar

 

 

Pilih Skema Tape

Kepala Bapedda dan Litbang Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Risdianto memaparkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.718/Menhut-II/2014, tentang Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara diketahui areal yang di fungsikan sebagai kawasan hutan mencapai 5.494.781 Ha atau sekitar 79,49 % dari luas daratan Provinsi Kalimantan Utara.

Kawasan hutan produksi terdiri dari hutan produksi tetap, terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi, seluas 3.211.972 Ha. Sedangkan hutan lindung seluas 1.010.703 Ha. Hutan konservasi yang merupakan bagian dari Taman Nasional Kayan Mentarang menempati kawasan seluas 1.272.105 Ha.

Provinsi Kaltara memiliki Delta Kayan Sembakung (DKS) dimana dengan memasukan ekosistem gambut luasnya mencapai 842.321,8 Ha. Luas berdasarkan kelompok ekosistem terdiri dari kubah gambut 158.507,1 Ha, Gambut 146.700,5 Ha, mangrove kawasan lindung 71.657,9 Ha, mangrove 299.815,6 Ha dan sungai serta ekosistem lainnya 165.640,7 Ha.

Risdianto katakana sebuah wilayah yang peduli lingkungan, yang menghasilkan banyak manfaat ekologi, sering memiliki kebutuhan fiskal yang relatif lebih tinggi karena biaya yang dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan lingkungannya.

“Karenanya dibutuhkan keberpihakan dari sisi penganggaran khususnya pendanaan dari pemerintah provinsi ke kabupaten atau kota,” ucapnya.

Kaltara memilih skema Transfer Anggara Pemerintah Berbasis Ekologi (TAPE) sebab lebih dari 80 % wilayahnya didominasi oleh hutan.

Selain itu, komitmen tinggi pemerintah provinsi pada mitigasi perubahan iklim, konservasi dan pembangunan berkelanjutan.

Untuk itu kata dia,dibutuhkan dukungan, koordinasi dan kerjasama antara provinsi dan kabupaten/kota untuk menjaga lingkungan dan pencapaian target penurunan emisi dalam RAD GRK Kaltara.

 

Daerah pertanian di kawasan Desa Long Bawan, Kalimantan Utara. Foto: Hendar

 

Ada Lima Kriteria

Wilayah Kaltara menghasilkan banyak manfaat ekologi dengan kawasan hutan dan kawasan gambut yang begitu luas sehingga membutuhkan kebutuhan fiskal yang relatif tinggi untuk menjaga keberlanjutan lingkungannya.

Risdianto mengatakan Pemerintah Provinsi Kaltara mengambil diskresi kebijakan dari sisi penganggaran untuk menginisiasi dan mengimplementasikan perencanaan transfer keuangan berbasis ekologis

“Skema bantuan keuangan Pemprov Kaltara kepada pemerintah kabupaten atau kota, menggunakan indikator kinerja daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup,” sebutnya.

Risdianto paparkan, ada 5 kriteria skema TAPE yang ditetapkan yakni soal pencegahan dan pengendalian karhutla di area pemanfaatan lain bobotnya 15% dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)  20%.

Selain itu, pengelolaan persampahan 25%, perlindungan air 30% serta pencemaran udara bobotnya hanya 10%.

Dipaparkannya, ada 17 indikator dimana karhutla meliputi jumlah kegiatan pencegahan karhutla, rasio luas lahan yang terehabilitasi, jumlah ketersediaan sarana dan prasarana Karhutla serta persentase jumlah titik api.

Untuk RTH indikatornya, jumlah RTH yang tersedia, persentase jumlah RTH dibanding luas wilayah daratan dan kebijakan yang mendorong RTH.

Untuk pengelolaan persampahaan indikatornya, kebijakan daerah tentang pengelolaan persampahan, adanya inovasi pemda pengelolaan sampah dan adanya inovasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah.

 

Inilah Goa Maria, salah satu sumber air bersih warga Dusun Manjau, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

 

Untuk perlindungan air indikatornya, produk hukum daerah tentang perlindungan dan pelestarian sumber daya air, jenis kegiatan pengelolaan sumber daya air, kebijakan teknis pengolahan air tanah dan jumlah kegiatan monitoring untuk pencegahan pencemaran air dan indeks kualitas air.

“Untuk pencemaran udara indikatornya meliputi jumlah kegiatan monev untuk pencegahan pencemaran udara dan jumlah kegiatan monev untuk pencegahan pencemaran udara,” paparnya.

Risdianto katakan, dari hasil evaluasi, perlindungan air sepertinya belum maksimal padahal memiliki bobotnya  30%. Pemprov akan memberikan penguatan kapasitas kepada kabupaten dan kota untuk lebih mengoptimalkan mengenai perlindungan air.

“Tape ini bukan hanya memberi manfaat bagi sektor lingkungan hidup tetapi juga dari aspek sosial dan ekonomi  masyarakat,” pungkasnya.

 

Exit mobile version