Mongabay.co.id

Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan Bisa Perparah Krisis Iklim

Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

Laporan terbaru Greenpeace Indonesia menyebutkan, ada 3,12 juta hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan, baik hutan lindung maupun konservasi hingga 2019. Dari luasan itu selain pemain kecil, ratusan kebun-kebun perusahaan bercokol di dalamnya. Perkebunan sawit ini juga merampas habitat orangutan dan harimau Sumatera dan memperparah krisis iklim. Kondisi ini akan bakal makin parah dengan ada Undang-undang Cipta Kerja.

Penelitian ini dengan metodologi peta konsesi sawit Greenpeace, analisis tutupan sawit The TreeMap (2001-2019), dan peta kawasan hutan Indonesia tahun 2020 (KLHK).

Laporan yang berjudul “Laporan Sawit Ilegal Dalam Kawasan Hutan: Karpet Merah Oligarki” menyebutkan, ada sekitar 19% atau 3,12 juta hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan dari total luas perkebunan sawit di Indonesia.

“Terdapat lebih 600 perusahaan dengan luas kebun di atas 10 hektar yang aktivitas dalam kawasan hutan, kebanyakan berada di Sumatera dan Kalimantan. Luasannya 1,56 juta hektar smallholder dan 1,55 juta hektar industri,” kata Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam temu media daring baru-baru ini.

Dari jumlah itu, luas perkebunan sawit dalam kawasan lindung mencapai 148.000 hektar dan konservasi 90.000 hektar. “Sesungguhnya ini jadi perhatian penting karena hutan lindung dan konservasi memiliki fungsi perlindungan terhadap ekosistem dan menjadi penting sesungguhnya wilayah ini dilindungi. Faktanya, kami menemukan ada aktivitas sawit dalam kawasan itu,” katanya.

Sampai 2019, Greenpeace mengatakan perkebunan sawit ini tumpang tindih dengan habitat satwa liar, terutama satwa endemik Indonesia seperti harimau maupun orangutan.

Perkebunan ini berada hampir semua kategori kawasan hutan, mulai taman nasional, suaka margasatwa, bahkan situs UNESCO yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Kondisi ini, katanya, mengancam kepunahan jenis satwa endemik Indonesia. Ada sekitar 186.687 hektar kebun sawit teridentifikasi sebagai habitat orangutan Sumatera dan Kalimantan, 148.839 hektar sebagai habitat harimau Sumatera, dan 5.989 hektar habitat gajah di Sumatera dan Kalimantan.

“Problem-problem itu mengakibatkan meningkatkan konflik antara manusia dan hewan. Karena habitat mereka dirusak perkebunan sawit hingga menimbulkan konflik.”

Dia contohkan ini terjadi di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Gunung Melintang, Sambas, Kalimantan Barat dan Suaka Margasatwa Bakiriang, Sulawesi Tengah. Ratusan hektar kawasan itu sudah ditanami sawit. Bahkan, di TWA Gunung Melintang, perusahaan sawit yang lokasinya bersebelahan sudah mengantongi izin usaha dengan luasan 7.000 hektar, 100 hektar berada di hutan konservasi.

Selain di kawasan lindung dan konservasi, perkebunan sawit baik pemain kecil maupun industri, paling besar berada di hutan produksi tetap, 724.000 hektar untuk sawit industri dan 675.000 hektar untuk sawit smallholder. Ada juga kebun sawit di hutan produksi dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas.

 

Baca juga: Jejak Sawit Gelap di Pasar Global

Perkebunan sawit milik PT Bagas Indah Perkasa (BIP) yang berdampingan dengan konsesi HTI milik RAPP di blok Hulu Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau
Photo: © Yudi Nofiandi/Auriga

 

Perusahaan bersertifikasi

Riau dan Kalimantan Tengah, dua provinsi dengan luasan tutupan sawit dalam kawasan hutan paling besar. Untuk Riau, ada 1,2 juta hektar dari tutupan sawit dalam kawasan di Sumatera yang mencapai 1,9 juta hektar. Di Kalteng, ada 817.000 hektar dari 1,1 juta hektar se-Kalimantan.

Kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan pun ada yang sudah bersertifikat RSPO seluas 283.000 hektar. “Hampir 100 perusahaan yang memiliki lebih dari 100 hektar yang ditanam dalam kawasan hutan. Ada delapan perusahaan yang masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektar,” katanya seraya bilang, bahkan ada 25 besar grup usaha bersertifikat RSPO.

Untuk anggota ISPO ada 252.000 hektar sawit ditanam dalam kawasan, mencapai lebih seperempat dari 735 perusahaan yang dilaporkan bersertifikat ISPO.

Tiur Rumondang, Head Director, Assurance & Acting Operation RSPO Indonesia saat menanggapi laporan ini mengatakan, dalam RSPO menganut sistem verifikasi. “Apapun itu, semua tuduhan harus diverifikasi, agar fair untuk banyak pihak.”

Dia tidak menampik mungkin ada anggota berada dalam kawasan hutan, namun itu ditangani dengan sistem remediation and compensation procedure (RCP), bahkan ada yang mengakui pernah melakukan illegal clearing. Anggota itu melakukan deklarasi mandiri dan ada liabilities yang harus dipenuhi dalam 25 tahun ke depan untuk pemulihan, sesuai prinsip dan kriteria RSPO.

“Kalau kita lihat dari permasalahan di Indonesia tentang tata guna lahan yang memang tidak diatur secara konsisten sejak dulu. Perbaikan itu baru beberapa tahun terakhir, itu sesuatu yang harus diantisipasi. Memang banyak tumpang tindih lahan dan itu yang harus diperbaiki,” katanya.

Mongabay menghubungi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun tidak mendapatkan respon. Sebelumnya, KLHK menyebutkan, ada 3,3 juta hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan dan 2,6 juta hektar tanpa proses permohonan pelepasan kawasan hutan.

Data itu dipaparkan Ruanda Agung Sugardiman, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), KLHK dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, pada September lalu menyebutkan, hingga 2019, ada 91.074 hektar sawit dalam kawasan konservasi, 155.119 hektar (hutan lindung), 1,4 juta hektar (hutan produksi terbatas). Kemudian, 501.572 hektar di hutan produksi, dan 1,1 juta hektar kebun sawit di hutan produksi dapat dikonversi.

Sepanjang 2001-2019, Greenpeace Indonesia menyebutkan, hutan primer seluas 870.995 hektar dalam kawasan hutan telah berubah menjadi perkebunan sawit dan diperkirakan melepas sekitar 104 juta metrik ton karbon atau setara dengan 33 kali emisi karbon tahunan yang dihasilkan untuk konsumsi listrik oleh semua rumah di Jakarta. Atau 60% dari emisi tahunan penerbangan internasional.

Pertimbangan dampak ekologis perlu masuk dalam rencana tata ruang, sementara penguatan pekebun swadaya perlu dibantu, hingga Indonesia bisa memastikan ekonomi berkelanjutan berjalan seirama dengan perlindungan keanekaragaman hayati. Juga mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat agar dapat mengurangi dampak krisis iklim.

Dalam laporan ini, Greenpeace sudah menyurati sejumpah perusahaan dan grup perusahaan untuk mendapatkan penjelasan. “Terdapat 17 perusahaan yang menandatangani surat balasan bersama, padahal Greenpeace menyurati mereka secara terpisah,” katanya. Dalam surat balasan itu, mereka mengatakan telah patuh kepada peraturan dan perundang-undangan Indonesia yang berlaku terkait penggunaan izin lahan untuk perkebunan sawit.

Arie mengatakan, regulasi penyelesaian operasi perusahaan ilegal di kebun sawit dalam kawasan hutan masih bersifat abu-abu. Cara ini, katanya, bisa menyebabkan potensi pemutihan untuk kawasan itu. Apalagi, upaya-upaya hukum sangat lemah dalam penyelesaiannya.

“Perusahaan sawit ilegal beroperasi dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi tegas, tidak hanya administratif tetapi pidana, alih-alih menikmati pemutihan. Khawatir kalau masalah ini tak diselesaikan serius akan merembet pada provinsi yang masih memiliki hutan cukup luas, seperti Papua.”

 

Baca juga:  Gelap Pajak di Kebun Sawit

Hutan di Aceh ditebang untuk jadi kebun sawit. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

 

*****

Foto utama: Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Exit mobile version