Mongabay.co.id

Upaya Menurunkan Emisi di Perairan Lintas Indonesia

 

Indonesia optimis bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 (COP21) di Paris, Prancis, 2015.

Dengan waktu yang tersisa tinggal sembilan tahun lalu, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk bisa memenuhi komitmen. Di antaranya, adalah dengan melakukan dekarbonisasi pada pengiriman dan pelabuhan (decarbonizing shipping and port).

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo menjelaskan, upaya dekarbonisasi akan dilaksanakan melalui pengisian bahan bakar yang digunakan pada pembakaran dapur industri berskala besar atau marine fuel oil (MFO).

Saat MFO dilaksanakan, Indonesia akan menerapkan rendah sulfur di Selat Malaka dan Selat Sunda. Cara tersebut diharapkan bisa mempercepat upaya emisi menjadi nol bersih emisi (net zero) dan sekaligus menerapkan pelabuhan ramah lingkungan (green port).

Menurut dia, penerapan MFO rendah sulfur merujuk pada pemberlakuan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan pada kapal industri. Aturan tersebut diterbitkan Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2020.

Berdasarkan aturan tersebut, sulfur BBM dibatasi maksimal hanya 0,50 persen mass by mass (m/m). Sementara, dalam aturan sebelumnya, sulfur masih dibolehkan ada dalam BBM maksimal mencapai 3,5 persen m/m.

Dalam area kontrol emisi yang ditentukan saat ini, batasannya sudah lebih ketat menjadi maksimal hanya 0,10 persen saja. Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL) diterbitkan.

baca : COP26: Organisasi Masyarakat Sipil Khawatir Perdagangan Karbon Hanya Solusi Palsu bagi Iklim

 

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo Deputi Basilio (kiri) dalam Sesi Talkshow IMO-UNCTAD Side Event Cop 26 di Glasgow, Inggris Raya, Rabu (10/11/2021). Foto : Kemenko Marves

 

Dengan adanya amandemen tersebut, maka di tingkat nasional dilakukan penyesuaian aturan yang kemudian dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI Nomor 35 Tahun 2019.

SE tersebut berisi tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang Tidak Memenuhi Persyaratan Serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal.

“Dalam SE No.35/2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 persen m/m,” paparnya dalam sesi Talkshow IMO-UNCTAD Side Event pda COP26 di Glasgow, Inggris Raya, Rabu (10/1/2021).

Penerapan tersebut selaras dengan komitmen yang sedang dijalankan oleh negara-negara di dunia pada 2021 ini, di mana mereka semua sedang fokus untuk meningkatkan perhatiannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan dan isu perubahan iklim.

Basilio menambahkan, penerapan rendah sulfur pada BBM untuk kapal industri, juga diyakini akan berdampak positif bisa meningkatkan pendapatan untuk negara, jika BBM rendah sulfur bisa dijual kepada kapal-kapal yang melintas di Selat Malaka dan Selat Sunda.

baca juga : Jelang COP26: Menanti Solusi Iklim Serius Bukan Akal-akalan

 

Ilustrasi. Padatnya lalu lintas kapal-kapal kargo di Selat Malaka menuju Singapura. Perairan selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Foto : shutterstock

 

Dari informasi yang dirilis Kemenhub RI, Selat Malaka setiap tahunnya dilewati sebanyak 90 ribu kapal dari berbagai negara. Sementara, Selat Sunda dilewati sebanyak 53.068 kapal setiap tahun, dan Selat Lombok dilewati sebanyak 36.773 kapal setiap tahun.

Dengan jumlah kapal yang tidak sedikit melintas di perairan Indonesia, Basilio Dias Araujo memandang penting bagi Indonesia untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan BBM dengan kandungan sulfur rendah maksimal 0,5 persen m/m.

Sejauh ini, Indonesia sudah menjamin ketersediaan BBM rendah sulfur dan bisa dijual kepada kapal-kapal asing yang melintas di perairan Indonesia. Salah satu kapal asing yang sudah membeli adalah MV Alona yang berbendera Siprus.

Di sisi lain, penerapan kebijakan dekarbonisasi melalui BBM rendah sulfur tersebut memerlukan dukungan dari banyak pihak. Salah satunya IMO yang diharapkan bisa ikut mempromosikan teknologi rendah karbon yang bisa digunakan oleh negara dunia.

Tugas tersebut mencakup upaya memfasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan kerjasama teknis, peningkatan efisiensi energi kapal, dan penilaian berkala penyediaan dana dan teknologi.

Kemudian, pengembangan kapasitas untuk mengimplementasikan strategi IMO melalui Integrated Technical Cooperation Programme (ITCP), dan inisiatif lain termasuk proyek GloMEEP dan jaringan Maritime Technologies Cooperation Centre (MTCC).

baca juga : Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia

 

Ilustrasi. Sebuah kapal Penumpang Pelni di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 13 Juni 2019. Foto : shutterstock

 

Nol Bersih

Menteri Koordinator Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada kesempatan sebelumnya di Glasgow, juga berkampanye tentang upaya Indonesia meningkatkan target nol bersih emisi (net zero) pada 2060 atau bisa lebih cepat tercapai.

Untuk mencapai target tersebut, beberapa sektor yang dapat mendukung pencapaian net zero emission adalah dari sektor hutan dan penggunaan lahan (FOLU), termasuk mangrove dan lahan gambut. Sektor tersebut diharapkan bisa menyerap bersih (net sink) karbon pada 2030 mendatang.

“Pemetaan dan pemanfaatan ekosistem blue carbon diharapkan dapat menurunkan suhu pada tahun 2050,” ungkap dia.

Dalam COP26 yang berlangsung hingga Jumat (12/11/2021), semua negara yang hadir sama-sama berkomitmen untuk bisa menjaga iklim global bisa tetap stabil dan ada pada suhu di bawah dua derajat celcius sesuai dengan anjuran Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

“Saat ini, secara global kita sudah melampaui 1 derajat celcius dan IPCC telah memperingatkan bahwa suhu global perlu dijaga agar tidak melebihi dari 1,5 derajat celcius,” terang dia.

perlu dibaca :  Saat Kita Menunggu Pengumuman Penting Iklim Presiden Jokowi di Glasgow

 

Menko Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan menyatakan Indonesia berupaya untuk meningkatkan target net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Hal ini dia sampaikan dalam Talkshow Blue Carbon to Strengthen Climate Change and Coastal Resilience di Paviliun Indonesia dalam rangkaian agenda COP 26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, UK pada hari Selasa (2-11-2021). Foto : Kemenko Marves

 

Di samping komitmen tersebut, Indonesia juga menyerahkan dokumen Updated Nationally Determined Contribution/NDC (kontribusi yang ditetapkan secara nasional) dan strategi jangka panjang untuk ketahanan karbon dan iklim 2050 terbaru kepada sekretariat UNFCCC.

Dalam dokumen NDC terbaru tersebut, Luhut memastikan bahwa pembaruan yang dilakukan mencakup banyak aspek kehidupan, termasuk berkaitan dengan laut. Dokumen NDC juga diharapkan bisa segera menemukan solusi untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya.

“Seperti menciptakan energi baru yang terjangkau, berguna, dan terbarukan yang berkelanjutan dari samudera, laut, serta sumber daya kelautan,” papar dia.

Komitmen yang digaungkan pada COP26 tersebut, diharapkan bisa dijalankan dengan baik oleh Indonesia. Terlebih, karena Indonesia adalah negara kepulauan, memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan keanekaragaman hayati laut yang sangat besar.

Luhut menyebutkan, Indonesia memiliki ekosistem karbon biru pesisir terbesar di dunia, yang meliputi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Ekosistem karbon biru Indonesia menyimpan sekitar 80 persen dari jumlah karbon dunia.

“Berarti bahwa kita memiliki potensi ekonomi dari ekosistem pesisir yang ada di sekitar kita,” sebut dia.

baca juga : Berbagai Pengalaman dari Indonesia kepada Dunia

 

Ilustrasi. Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Agar bisa melaksanakan peran dengan baik, Indonesia melakukan berbagai upaya potensi karbon biru melalui pelestarian dan rehabilitas ekosistem. Di antaranya adalah program rehabilitasi mangrove yang mencakup sekitar 600.000 hektar lahan mangrove kritis hingga 2024.

Selain mangrove, ada juga program restorasi terumbu karang nasional yang masuk dalam kegiatan Indonesia Coral Reef Garden (ICRG). Program tersebut mengintegrasikan pendekatan ilmiah dan sosial ekonomi untuk mempromosikan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan melalui edu-ekowisata.

Pelaksanaan kegiatan restorasi terumbu karang dilakukan, karena Indonesia menyadari bahwa ekosistem tersebut ikut berperan untuk menghambat proses pemanasan global. Walau tidak sebanyak mangrove dan padang lamun, namun terumbu karang tetap memberikan peran di dalamnya.

“Terumbu karang juga dapat mendukung ketahanan pangan sebagai habitat berbagai makhluk hidup di laut termasuk ikan, sebagai sumber mata pencaharian, dan ketahanan masyarakat pesisir,” tambahnya.

 

Exit mobile version