Mongabay.co.id

Cerita Warga dari Pulau Penghasil Bahan Baku Baterai Kendaraan Listrik [1]

Rabul Sawal, kawasan industri Pulau OBi

 

 

 

 

Bukit terkelupas. Pepohonan hilang berganti bangunan-bangunan raksasa. Alat berat lalu-lalang mengeruk bukit, menumbangkan pepohonan. Cerobong-cerobong pabrik menyemburkan asap. Sebagian berwarna putih, ada warna hitam kecokelatan. Tak jauh dari sana, di tepian laut, tongkang-tongkang pengangkut batubara menepi.

Di bawah bukit dan bangunan, sekitar dua 200 meter merupakan pemukiman warga yang berjejer di sepanjang pesisir. Kiri dan kanan pemukiman berbatasan dengan sungai-sungai-kecil. Selebihnya, masuk areal perusahaan di bawah Harita Group, yang membangun kawasan industri nikel.

Di hilir, sungai-sungai ini air bukan lagi keruh, tetapi merah pekat dampak sendimentasi limbah ore nikel. Sampah plastik bekas minuman, sisa makanan, popok, dan lain-lain juga berserakan di pesisir pantai.

Pemandangan miris ini baru satu sisi dari arah laut lepas saat speedboat yang saya tumpangi pada penghujung September lalu akan menepi perlahan ke bibir pantai Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Untuk sampai di Kawasi, perlu sehari-semalam dari Kota Ternate, pakai kapal laut tujuan Jikotamo-Laiwui. Dari sini, sekitar sejam lebih menempuh perjalanan dengan speedboat. Melewati pulau-pulau kecil nan rimbun dan sebagian sudah terkeruk.

Kampung ini sudah terkepung pertambangan nikel sejak 2007. Ia terjepit di antara fasilitas produksi dan bangunan penunjang pabrik dari dua izin anak usaha Harita, PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). Kedua perusahaan ini dapat izin usaha pertambangan (IUP) dari Bupati Halmahera Selatan, Muhamad Kasuba dengan konsesi seluas 5.524 hektar.

Tiga perusahaan lain yang terafiliasi dengan Harita dan operasi di atas IUP PT TBP guna menunjang kelancaran pabrik smelter bijih nikel, yakni, PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPL) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).

Setelah satu dekade lebih korporasi tambang beroperasi. Kini, sampai bikin kawasan industri untuk memenuhi bahan baku baterai kendaraan listrik.

 

Baca juga: Riset Sebut Anggapan Mobil Listrik Hasilkan Emisi Sebanyak Kendaraan Fosil itu Mitos

Bukit-bukit gundul di Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Abadan Nomor, warga Kawasi mengatakan, dampak cukup terasa dengan terjadi perubahan sosial budaya dan ancaman bencana ekologis makin dekat dengan warga. Kehidupan warga pun beralih dari petani dan nelayan menjadi buruh-buruh di industri tambang.

Dia masih ingat betul kehidupan kampung tertua di Pulau Obi ini, setidaknya 15 tahun silam atau jauh-jauh hari sebelum perusahaan melenggang. Dulu, kampung ini hidup tentram dan damai.

Kebutuhan pangan warga dan kearifan lokal berjalan stabil. Sagu dapat diolah dengan mudah. Udara dan air bersih dapat cuma-cuma dari alam. Ikan, sayur, dan lauk lain mudah sekali mereka temukan di sungai dan laut.

“Setelah perusahaan masuk, semua berubah. Budaya gotong royong tidak ada. Torang seperti hidup sendiri-sendiri,katanya.

Abadan lahir dan tumbuh di Kawasi. Kini, dia berkepala empat punya dua anak. Orang tuanya termasuk yang menetap pertama di kampung ini. Lelaki yang dipercaya jadi imam kampung belasan tahun ini tahu keperluan masyarakat yang hidup di pesisir bukan dari tambang melainkan dari perkebunan dan laut, petani dan nelayan. Mata pencaharian yang juga dia geluti puluhan tahun ini.

Torang ini petani deng nelayan. Lahir dan besar dengan hasil perkebunan dan laut, bukan dari tambang,” katanya.

Kawasi ini kampung yang dihuni sekitar 208 keluarga dengan 971 jiwa. Mata pencarian penduduk adalah petani dan nelayan. Warga kampung ini dari etnis Galela-Tobelo dan mendiami Pulau Obi lebih dulu dari penduduk lain.

Kawasi berarti permukiman pertama di tanah Obira. Kini, pencarian ekonomi tradisional berbasis alam atau lahan itu hilang. Perlahan, kata Abadan, generasi nelayan dan petani bisa lenyap.

Yulius Langkodi, juga waga Kawasi merasa akses ke lahan garapan susah. Jalan satu-satunya ke daerah itu sudah jadi jalan perusahaan alias masuk konsesi. Kalau hujan becek sekali. Saat panas, berdebu. Mau lewat pesisir pantai, jauh.

Dia bahkan sudah tidak ke kebun hampir beberapa bulan belakangan. Langkah kaki yang terbiasa jelajahi hutan dan berkebun selama puluhan tahun di Kawasi, makin terhimpit.

Torang pe hidup di Kawasi ini bukan makin luas, tapi makin sempit.”

Warga kerap kali dihadang satpam kalau mau ambil kayu bakar di belakang pemukiman. Harus dapat surat izin dari perusahaan baru bisa ke daerah itu. Sumber-sumber air warga juga terancam, tak bisa lagi mereka konsumsi.

Ake Lamo, Danau Karo, Danau dan Sungai Loji, Sungai Toduku, Air Cermin, dan Air Terjun, semua berada dalam konsesi tambang.

 

 

 

Beberapa sudah rusak total dan yang lain menunggu diobok-obok buldozer. Danau Karo telah diprivatisasi perusahaan untuk operasi pertambangan.

Dalam penelitian Teddy W Sudinta menyebut, perusahaan telah memanfaatkan Danau Karo secara berlebihan dan alami penurunan cukup cepat beberapa tahun terakhir. Bila pembukaan lahan tak dihindarimaka besar kemungkinan DAS Danau Karo akan alami pengurangan debit air.

Sungai Toduku, hancur lebur dipenuhi sendimentasi limbah. Air terjun yang sekarang dialirkan ke rumah-rumah warga juga terancam karena mata air berada sekitar 50 meter di bawah pabrik pengolahan nikel.

Nurhayati Jumadi, perempuan Kawasi was-was dan cemas melihat rupa sumber-sumber air yang mereka manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Air-air itu dahulu jernih berubah jadi cokelat kental. Ekosistem terancam.

“Sampe so kotor bagini, berarti hutan so rusak di belakang. Memang [hutan] so tarada yang utuh. Rusak semua.”

“Siapa yang kase rusak?” tanya saya.

“Kalau bukan perusahaan yang kase rusak, mau siapa? Tidak mungkin torang yang kase rusak,” kata Abadan.

 

Baca juga :  Mobil Listrik Transportasi Masa Depan, Apakah Ada Dampak Bagi Lingkungan?

Kepulan asap pabrik smelter dari kawasan industri nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

 

Baterai kendaraan listrik

Perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group sudah beroperasi dalam kawasan hutan sejak 2008. MS Kaban, Menteri Kehutanan waktu itu beri izin pinjaman pakai dan pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH) untuk eksploitasi tambang nikel kepada TBP dan GPS.

Perusahaan raksasa yang dikendalikan keluarga konglomerat Lim Gunawan Hariyanto ini salah satu industri tambang nikel yang diberi mandat Presiden Joko Widodo untuk hilirisasi nikel dan membangun pabrik produksi bahan baku baterai kendaraan listrik. Kendaraan rendah emisi ini yang disebut-sebut bisa membantu dunia dalam menekan krisis iklim.

Mimpi Indonesia jadi pusat industri mobil listrik ini sudah disampaikan Jokowi dalam satu forum pada 2019.

Harita gencar bergerak. Target rampungkan pabrik smelter bijih nikel dan fasilitas penunjang tercapai. Pabrik high pressure acid leach (HPAL) oleh PT Halmahera Persada Lygend yang masuk proyek strategi nasional ini diresmikan Menteri Kondinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bersama delapan menteri lain saat melawat ke Pulau Obi, 23 Juni lalu.

Pabrik HPL mulai konstruksi pada 2018 bermodal US$1,5 miliar. Perusahaan ini patungan dari Zhejiang Lygend Investment Co., Ltd. dan Harita Group. Zhejiang Lygend perusahaan nikel dari Tiongkok dengan anak perusahaan, Ningbo Lygend Mining Co. kuasai 36,9% saham. Harita, melalui TBP punya saham mayoritas HPL 63,1%.

Dalam peresmian itu Luhut mengatakan, perlu mendukung HPL, sebagai pabrik pertama bahan baku kendaraan listrik di Indonesia. Pemerintah mendukung pengembangan pabrik HPAL yang mengolah nikel kadar rendah melalui proses hidormetalurgi.

“Industri ini ikut berkontribusi mewujudkan cita-cita upaya penurunan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan fosil,” kata Luhut.

“Ini aset bangsa. Kita harus lingkungi namun lingkungan harus dijaga.”

 

 

Cemari lingkungan

Yang disampaikan Luhut, kebalikan dengan yang dirasakan warga di Kawasi. Setiap hari warga harus berhadapan dengan debu dari operasi perusahaan dan bahaya uap PLTU batubara. Sedang limbah fly ash and bootom ash (FABA) telah keluar dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Rumah Nurhayati, dekat dengan pabrik. Sisi dapur menjurus ke arah timur. Buka pintu dapur sudah bisa lihat bangunan raksasa milik Harita itu.

Jarak begitu dekat, hingga debu, kebisingan, dan lingkungan kotor jadi santapan sehari-hari baginya. Penyakit dan gangguan kesehatan juga makin dekat dengan warga. Kalau musim panas, Nurhayati harus bersihkan peralatan dapur, meja makan, kursi dan lantai. Debu sampai menyasar ke dalam kamar.

“Kalau sore bersihkan, besok pagi debu di lantai sudah bisa tulis nama. Sama dengan seminggu tidak menyapu,” kata Nur.

“Penyakit selalu serang torang. Kalau musim hujan begini, nyamuk [banyak] sekali.”

Warga lain, Lily Mangundap benarkan ucapan Nur. Perempuan 46 tahun ini bilang, seperti tak ada pekerjaan lain selain berantas debu yang menyasar ke dalam rumah. Kalau punya uang, katanya, lebih baik pindah ke daerah lain agar keluarga terhindar dari penyakit.

Torang perempuan ini tenaga habis cuman berantas debu. Torang berjuang melawan debu tiap hari,” kata perempuan empat anak ini.

Anak-anak Lily sudah berulang kali terserang penyakit. Ongkos pengobatan anak, katanya keluar terus dan makin besar.

Dia harus memikul beban ganda. Mencari nafkah untuk keluarga dan mengurus rumah tangga. Suami terbaring sakit, sementara biaya hidup tinggi.

Sebelum perusahaan masuk, desa ini begitu asri. Pohon-pohon dan tanaman buah berjejer di sepanjang jalan. Tak ada debu dan kebisingan.

Nurhayati ingat waktu kecil, lingkungan rumah dan pemukiman bersih. Sungai Toduku dan air-air yang mengalir di rumah warga adalah tempat bermain mereka puluhan tahun silam. Sekarang, sudah tercemar sendimentasi limbah.

 

Pemukiman warga berdekatan dengan kawasan industri. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Semua itu baru berubah seketika perusahaan datang ke tanah ini. Pertambangan nikel milik Harita Group menimbulkan persoalan lingkungan. Tidak saja mencemari aliran sungai dan laut, juga debu dari aktivitas operasi produksi dan lalu lalang bulduzer di bukit-bukit yang terkeruk hingga menimbulkan masalah kesehatan.

Kondisi lingkungan memburuk dan gangguan kesehatan yang selalu warga hadapi ini tercatat dalam laporan Polindes Desa Kawasi. Informasi Polindes Januari-Juni 2021 menyebutkan, kondisi kesehatan warga menurun, terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), demam dan diare signifikan selama enam bulan terakhir. Diare sempat melonjak pada Februari ada 118 kasus, baru melandai, ISPA lebih tinggi.

Perusahaan, dalam Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan TBP semester 1 2021, mengakui penyebab angka penyakit tinggi karena lingkungan kotor namun menyebut ini karena pola masyarakat membuang sampah.

Dari hasil pemantauan kualitas udara ambien dan tingkat kebisingan, perusahaan mengatakan dalam kondisi baik, tidak terjadi perubahan signifikan.

Dalam proses produksi perusahaan pakai PLTU batubara untuk peleburan bijih nikel berteknologi rotary kilm electric furance (RKEF)) ada empat jalur produksi yang menghasilkan feronikel berkadar 10-12% Ni, dengan kapasitas 240.000 ton per tahun. Perusahaan berencana menambah 12 jalur produksi lagi.

Pabrik MSP ini pakai empat PLTU batubara berkapasitas 3 x 40 MW dan 1 x 50 MW yang berdekatan dengan pabrik.

Penelitian kolaborasi Greenpeace dan Universitas Harvard, pembakaran PLTU batubara menyebabkan kematian dini di Indonesia, ribuan orang pertahun. Kepulan asap itu mengandung bahan-bahan beracun, ozon dan logam berat. Logam berat ini mencakup cadmium, nikel, kromium, arsenic, timbal, merkuri, nitrogen, oksida, dan sulfur oksida.

Penyebabnya, partikel-partikel halus polutan batubara menembus ke dalam paru-paru dan mengalir ke darah. Risiko penyakit mulai kanker, asma, gangguan fungsi paru-paru, hingga gangguan perkembangan paru-paru pada anak.

 

 

 

Masalah lahan

Usaha dagangan Lily dulu jaya, kini bangkrut untuk biaya menuntut keadilan lahan di pengadilan. Lahannya kena klaim perusahaan masuk konsesi.

“Kalau saya cerita, sakit saya, sudah berusaha lupa ingat lagi,” kata Lily.

Dia menghela napas panjang. Dia masih sulit menerima kenyataan lahan perkebunan seluas 33 hektar yang susah payah dia dan suaminya, Andrias Datang olah, tergusur perusahaan, tanpa sisa, tanpa ganti rugi.

Perusahaan masuk lahan Lily medio 2016. Kebun Lily dan warga dekat sekali dengan pertambangan. Perusahaan mulai gusur dari timur ke barat. Ujung ke ujung. Kebun Lily berada di tengah-tengah. Empat ribu tanaman kepala sudah pecah daun, 20.000 pohon jambu mete beserta tanaman semusim ludes.

Mulanya, perusahaan hanya inginkan beberapa meter untuk jalan produksi. Mereka ditawarkan uang ganti Rp38 juta, Andrias tak setuju. Dia bilang, harga tidak sesuai dengan tanaman yang akan tergusur. Dia minta tambahan tetapi perusahaan tak gubris malah bergerak alat berat berherak perlahan-lahan gusur habis kebun yang Andrias kelola sejak 1982 itu.

Dorang terus bergerak gusur. Jadi, sepertinya torang pe hak so tarada bagitu,” kata Lily.

Perusahaan berdalih, tanah ini milik negara jadi hanya tanaman yang akan dibayar. Harga langsung mereka patok. Berdasarkan surat keputusan Bupati Halmahera Selatan, satu pohon jambu mete belum berbuah Rp35.000, sudah berbuah Rp75.000. Harga tanaman kelapa dan tanaman lain, tak jelas. Ketetapan SK Bupati itu berlaku untuk semua warga dengan lahan ada tanaman.

Warga merasa aneh. Dari Pemerintah Halsel tak pernah rapat atau sosialisasi dengan warga.

“Tidak ada sosialisasi sama sekali dari pemerintah. Tidak ada kesepakatan dengan torang masyarakat Kawasi. Ini keputusan sepihak saja.”

Warga yang mempertahankan lahan pun kerap menerima intimidasi. Perusahaan gunakan pemerintah kecamatan, pemerintah desa, dan aparat bersenjata saat proses penawaran dan penggusuran.

Warga juga dipaksa tanda tangan dan terima ketetapan SK Bupati Halsel soal harga tanaman, bila tidak, sepeserpun tidak akan dibayar perusahaan.

Warga yang menolak diancam penjara. Andrias saat besikukuh tidak terima. Dia dipukul dengan popor senjata oleh polisi di rumah Sekertaris Desa, Frans Datang, yang tak lain saudara kandungnya.

Kase penjara torang sudah kalu bilang mo kase penjara. Torang tetap tidak mau tanda tangan,” kata Andrias.

“Ini torang pe tanah, bukan perusahaan punya. Kenapa perusahaan paksa torang.”

Warga yang menolak lahan tergusur, mengorganisir diri dan blokir jalan agar perusahaan punya itikad menyelesaikan sengketa lahan.

Warga pasang plang tertulis, “lahan ini belum ada penyelesaian dari perusahaan, jadi dilarang gusur.”

Setelah pemblokiran, lagi-lagi rumah warga didatangi kapolsek, camat, pemerintah desa termasuk anggota polisi.

Hari itu pada 2016, Andrias dipaksa bangun dari tidur. Lily jamu mereka dengan baik. Dia ambil kursi dan persilakan tamunya duduk. Sayangnya, bukan untuk selesaikan masalah, kedua suami-istri itu justru diinterogasi dan diancam.

“Tadi bapak pigi cegah penggusuran?” “Sebelumnya bapak rapat dimana?” “Di rumah siapa?” “Dengan siapa?”

“Tidak rapat dimana-mana pak, langsung naik cegah,” Lily lantang jawab.

“Bapak tahu tidak, UU Minerba itu dikatakan ‘siapa yang menghalang-halangi kegiatan di areal pertambangan akan ditindak pindana’,” kata Kapolsek, menatap Andrias, sambil mengulang-ulang kalimat itu.

Andrias gemetar. Bergeming. Dia tak bisa bicara sepatah katapun.

“Pak, maaf, torang ini masyarakat biasa. Torang tidak tahu apa itu UU Minerba. Saya pe umur ini baru dengar itu UU Minerba,” Lily menyanggah.

“Yang torang tahu itu, berdasarkan masuk akan dan tidak masuk akal. Itu saja.”

“Masuk akal saya pe tanah belum ada penyelesaian kong bisa masuk penjara?”

Perdebatan berlangsung alot. Kapolsek geram. Camat tarik Andrias ke dapur sambil bujuk agar tawaran mereka diindahkan, Rp150 juta bagi enam keluarga yang punya lahan. Andrias tetap kekeuh tak setuju penetapan harga di bawah intimidasi itu.

“Kalau karena saya cegah tanah saya jangan digusur, saya bersalah terhadap perusahaan, dan mau kase penjara saya dan suami, kas e penjara sudah. Kase penjara sudah,” kata Lily.

Masalah ini pernah dia dan warga adukan ke pengadilan di Kabupaten Halsel, hasilnya nihil. Warga yang bertahan membawa kasus ini ke pemerintah pusat.

Dominggus, warga yang masih bertahan di Jakarta sudah dua tahun ini. Di Jakarta, dia hidup dengan ongkos pribadi dan donasi dari sejumlah warga. Lahan-lahan tersisa terpaksa dijual ke warga lain yang mau membantu, bukan ke perusahaan. Harga lahan itu dipakai untuk bertahan hidup di Pulau Jawa.

Dominggus pernah dipenjara enam bulan di Bacan pada 2019 karena berusaha mempertahankan lahan sekitar 47 hektar.

Nuhayati Jumadi, ponakan Dominggus berkata, pamannya ditangkap di Gresik, Jawa Timur pada 2019. Dominggus dikira melarikan diri dari panggilan polisi.

“Paman hadang jalan kebun, dia tuntut haknya. Dorang [perusahaan] anggap itu suatu kejahatan, jadi di penjara.”

Nurhayati, seorang perempuan yang berdiri di garis paling depan membela paman dan warga Kawasi dari perampasan. Perempuan dua anak ini bersama Lily sering berbulan-bulan di Pulau Jawa, dengan ongkos pribadi sekadar memastikan kasus sengketa lahan dikawal dan berjalan.

Suami Lily, Andrias kini terbaring sakit kena stroke ringan. Dia sedang berobat di rumah sakit Bacan, dan terapi tradisional. Lily bilang, Andrias kepikiran dengan kebunnya.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi berbagai permasalahan dan keluhan warga kepada perusahaan. Dari upaya konfirmasi lewat WhatApps, telepon, berkirim surat elekstronik beberapa kali tak juga mendapat respon.

Dari bagian humas, memberikan nomor kontak agar menghubungi Anie Rahmi, selaku Corporate Communication Manager Harita Nickel. Mongabay menghubungi via WhatsApps dengan menyampaikan lampiran pertanyaan. Pesan-pesan berubah jadi centang biru alias dibaca tetapi sampai berita ini terbit, tak mendapatkan respon. Telepon pun tak diangkat.

Saat datang ke kantor Harita di Ternate, Maluku Utara, bertemu satpam. Setelah meminta identitas, satpam masuk ke kantor dan keluar dengan jawaban,” orang-orang sedang keluar kantor…” (Bersambung)

 

Pulau Obi, yang dulunya penuh pepohonan kini sebagian sudah berganti jadi kawasan industri, berdiri  pabrik dan pembangkit listrik. Warga yang dulu hidup dari berkebun dan nelayan, sekarang banyak beralih jadi buruh. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

*Liputan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat.

*****

 

Exit mobile version