Mobil listrik digadang-gadang sebagai mobil masa depan. Penggunaan mobil listrik diharapkan dapat ikut mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi. Ia dianggap mendukung kontribusi bagi peningkatan gas rumah kaca di atmosfir.
Sejumlah negara pun telah berkomitmen untuk secara bertahap menghapus penggunaan kendaraan konvensional berbahan bakar fosil untuk kemudian bergantung sepenuhnya pada pemakaian mobil listrik.
Salah satu contohnya yaitu Norwegia. Negara di kawasan Skandinavia itu memastikan bahwa mulai tahun 2025 mendatang, hanya mobil listrik yang akan dijual di pasaran Norwegia. Untuk merealisasikan hal ini, pemerintah Norwegia terus membangun stasiun pengisian daya gratis untuk mobil listrik. Selain itu, menawarkan pajak yang menarik serta insentif untuk penggunaan dan penjualan kendaraan listrik.
Sementara itu, dalam upaya ikut mengurangi emisi karbon hingga setengahnya, pemerintah Eslandia telah memutuskan untuk melarang penjualan mobil berbahan bakar fosil di negara itu mulai tahun 2030.
Pemerintah Eslandia juga berkomitmen untuk menghapus kendaran berbahan bakar fosil dari seluruh jalan di Eslandia pada tahun 2050.
Nah, bagaimana dengan Indonesia?
Sejak beberapa tahun lalu, mobil listrik mulai diperkenalkan oleh beberapa produsen kendaraan ke pasar Indonesia. Produsen mobil asal Jerman, Jepang dan Korea telah melempar sebagian produk mobil listriknya untuk konsumen di Indonesia. Di pasaran Indonesia sekarang ini terdapat sekurangnya tiga tipe mobil listrik. Ketiga tipe itu adalah mobil listrik berteknologi plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), hybrid electric vehicle (HEV), dan tipe battery electric vehicle (BEV)
Sementara itu, produsen mobil listrik Amerika Serikat, Tesla, santer dikabarkan akan segera membangun pabrik di Batang, Jawa Tengah. Masuknya Tesla ke Indonesia disebut sementara kalangan sebagai bagian dari upaya membentuk ekosistem pengembangan mobil listrik berbasis baterai di Indonesia.
Baca juga: Riset Sebut Anggapan Mobil Listrik Hasilkan Emisi Sebanyak Kendaraan Fosil itu Mitos
Dukungan penuh
Sebagai bentuk dukungan penuh terhadap keberadaaan kendaraan listrik, pemerintah Indonesia juga berencana mengganti kendaraan dinas berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik.
Pemerintah menargetkan, mulai tahun 2021 sampai tahun 2024, sudah bisa terwujud penggantian kendaraan dinas berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan juga telah disiapkan. Seperti bea balik nama nol persen untuk kendaraan listrik, dan DP nol persen untuk kendaraan listrik, maupun pembebasan pengenaan PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah) untuk mobil listrik tipe plug-in hybrid electric vehicles, dan battery electric vehicles.
Ketergantungan pada penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil memang perlu segera kita akhiri. Penggunaan mobil listrik merupakan salah satu opsi untuk mengakhiri ketergantungan itu. Selain tidak menghasilkan emisi karbon ketika dikendarai, mobil listrik juga nyaris tidak menimbulkan polusi suara.
Meskipun demikian, apakah mobil listrik benar-benar lebih ramah lingkungan sebagaimana kita harapkan?
Secara teoritis, perbedaan mendasar antara mobil konvensional dan mobil listrik terkait erat dengan proses pengubahan energi potensial menjadi energi kinetik (gerak). Pada mobil konvensional, energi disimpan secara kimiawi dan dilepaskan melalui reaksi kimia di dalam mesin.
Di sisi lain, meski memiliki energi yang tersimpan secara kimiawi, mobil listrik melepaskannya secara elektrokimia, tanpa adanya proses pembakaran apa pun. Ini antara lain berkat keberadaan baterai lithium-ion. Karena tidak ada zat yang dibakar, maka tidak ada polusi udara yang tercipta ketika mobil listrik sedang dikendarai. Namun, jangan cepat-cepat dulu langsung mengambil kesimpulan bahwa mobil listrik benar-benar ramah lingkungan.
Sepanjang sumber energi untuk pengisian daya pada baterai mobil listrik masih menggunakan sumber listrik dengan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, misalnya, maka polusi udara sebenarnya masih tetap dihasilkan.
Dengan kata lain, penggunaan mobil listrik hanya sebatas mengurangi tingkat polusi udara di jalanan ketika mobil listrik itu dikendarai, namun bisa saja tetap menyebabkan polusi udara dari sumber lain di tempat lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan pula sumber listrik yang juga ramah lingkungan, misalnya yang bersumber dari panel surya, turbin bayu maupun nuklir. Artinya, pengembangan dan penggunaan mobil listrik harus pula dibarengi dengan penggunaan sumber-sumber energi bersih yang terbarukan.
Masalah lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah baterai. Mobil listrik mengandalkan pasokan energinya dari energi yang disimpan dalam baterai ukuran besar, yang notabene membutuhkan ongkos lingkungan cukup tinggi dalam proses produksinya. Baterai yang digunakan mobil listrik terbuat dari elemen logam tanah jarang (rare earth elements), seperti antara lain litium, nikel, kobalt atau grafit.
Untuk mendapatkan elemen logam tanah jarang bagi keperluan pembuatan baterai mobil listrik ini dibutuhkan proses penambangan. Dan kita tahu, aktivitas penambangan merupakan aktivitas yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan masif.
Oleh karena itulah, dalam penilaian Union of Concerned Scientists, beberapa waktu lalu, mobil listrik belum tentu sepenuhnya lebih ramah lingkungan daripada mobil konvensional. Sampai batas tertentu, mungkin saja mobil listrik justru menghasilkan lebih banyak emisi karbon ketimbang mobil konvensional.
Masih soal baterai, seperti juga penggunaan baterai pada perangkat-perangkat elektronik lainnya, baterai mobil listrik memiliki batas usia pemakaian. Lewat dari batas usia penggunaan, baterai mobil listrik akan tidak berfungsi dan harus diganti dengan yang baru.
Lantas, ke mana baterai yang lama harus dibuang?
Ini juga dapat menjadi persoalan serius bagi lingkungan. Baterai mobil listrik yang sudah tidak terpakai masuk ke dalam kategori sampah elektronik. Penanganan sampah elektronik tidak boleh sembarangan dan serampangan. Harus ada prosedur khusus untuk menangani sampah elektronik. Penanganan yang sembarangan dan serampangan akan sangat membahayakan lingkungan dan kesehatan.
Tentu saja, upaya untuk mengganti kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan perlu terus dilakukan.
Namun, harus pula diikuti dengan langkah-langkah inovatif-solutif untuk menekan faktor-faktor yang kemungkinan masih memberi celah bagi terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan di tempat-tempat lain sebagai buntut dari penggunaan kendaraan listrik.
Perlu ada regulasi yang disiapkan agar limbah baterai dari mobil listrik tidak menjadi masalah baru nantinya atau teknologi yang mampu mengurangi limbah dan daur ulang dari baterai yang ada.
* Rejeki Wulandari, penulis adalah penulis lepas dan pengamat lingkungan, artikel ini adalah opini penulis