Mongabay.co.id

Peran Baru Pelabuhan Laut Indonesia untuk Menurunkan Emisi Karbondioksida

 

Indonesia fokus melaksanakan komitmen pengurangan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen itu tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dalam berbagai sektor pembangunan, baik di darat maupun di laut.

Dari sektor kelautan, komitmen itu akan dijalankan melalui gerakan penerapan pelabuhan ramah lingkungan (green port) di seluruh Indonesia. Transisi ke arah green port akan diterapkan secepatnya.

Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemko Marves) Basilio Dias Araujo, dalam acara side event Talkshow IMO-UNCTAD pada rangkaian Konferensi Perubahan Iklim ke-26 (COP26), pekan lalu, di Glasgow, Skotlandia.

Dia menjelaskan, penerapan green port dilaksanakan dengan menerapkan penggunaan bahan bakar nol karbon untuk setiap pelayaran kapal.

Kapal-kapal yang harus menerapkan aturan tersebut, adalah mereka yang sedang melintas di perairan Indonesia. Dari seluruh jalur pelayaran laut di Indonesia, ada tiga jalur strategis dan dilalui sedikitnya 200 ribu kapal kargo dari seluruh dunia setiap tahunnya.

Ketiganya adalah Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Masing-masing selat setiap tahun dilalui kapal kargo sebanyak 130 ribu unit, 56 ribu unit, dan 33 ribu unit. Aktivitas yang dilakukan armada-armada kargo tersebut mengemisikan jutaan ton karbondioksida (CO2).

baca : Upaya Menurunkan Emisi di Perairan Lintas Indonesia

 

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo Deputi Basilio (kiri) dalam Sesi Talkshow IMO-UNCTAD Side Event Cop 26 di Glasgow, Inggris Raya, Rabu (10/11/2021). Foto : Kemenko Marves

 

Secara keseluruhan, armada kapal internasional yang masuk dan melintas di perairan Indonesia tersebut, mengungguli jumlah armada kapal yang berasal dari Indonesia. Setiap tahunnya, sedikitnya 2,1 miliar tonase bobot mati (dead weight tonnage/DWT) berlayar ke seluruh dunia.

Menurut Basilio Dias Araujo, jumlah DWT armada dunia tersebut menjelaskan bahwa aktivitas di atas laut terus bergerak aktif dalam berbagai kondisi. Angka tersebut ada dalam catatan resmi 2020 Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD).

Sementara, armada kapal laut yang dimiliki Indonesia saat ini jumlahnya mencapai 39.510 unit kapal kargo dan 171.754 unit kapal penangkap ikan. Seluruh kapal tersebut tercatat secara resmi dalam basis data nasional.

“Sebagai besar (dari jumlah tersebut adalah) kapal kargo Indonesia dan (sisanya adalah) kapal penangkap ikan berukuran kecil. Angka tersebut dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan angka armada dunia,” ungkap

Komitmen untuk menurunkan emisi, juga disampaikan Presiden RI Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) yang berlangsung di Glasgow. Dia menyebut, Indonesia memegang komitmen sesuai perjanjian Paris (Paris Agreement).

Janji yang disampaikan Indonesia pada saat COP21 berlangsung di Paris, Prancis, pada 2015 itu, menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia akan menurunkan emisi sebesar 29% dengan dukungan nasional pada kurun waktu 2020-2030 dan atau 41% dengan dukungan internasional. Juga, melaksanakan peningkatan komitmen tanpa syarat lebih besar dari 26 persen dibandingkan 2010.

Beragam komitmen tersebut saat ini terus diupayakan bisa dijalankan sesuai dengan target yang ditetapkan. Salah satu upaya tersebut, adalah Indonesia sudah memperbarui dokumen kontribusi nasional (nationally determined contributions/NDC) pada Juli 2021.

Dokumen tersebut di dalamnya dibahas tentang isu dekarbonisasi pelayaran dan disebutkan bahwa kontribusi 19 persen emisi CO2 berasal dari aktivitas pelayaran yang ada di Indonesia. Emisi tersebut berasal dari jumlah dan jenis kapal yang dimiliki Indonesia.

“Kita terus (upayakan) penuhi komitmen Indonesia,” sebut Presiden.

baca juga : Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia

 

Ilustrasi. Padatnya lalu lintas kapal-kapal kargo di Selat Malaka menuju Singapura. Perairan selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Foto : shutterstock

 

Dengan segala tantangan yang akan terus ada, Indonesia optimis bisa mewujudkan komitmen untuk menurunkan emisi sesuai target. Namun, keterlibatan banyak pihak dalam proses tersebut mutlak untuk dilakukan, terutama organisi internasional seperti organisasi maritim internasional (IMO).

Sebagai negara pesisir dan negara kepulauan, Indonesia juga akan terus berkomitmen untuk melakukan tugasnya untuk mendukung upaya penurunan emisi. Tugas tersebut akan tetap dilakukan, meski tidak ada kontribusi jutaan ton atau giga ton emisi karbon dari kapal yang melintasi perairan Indonesia.

Menurut Basilio Dias Araujo, Indonesia mulai memproduksi Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar kapal-kapal kargo yang melintas di Indonesia. Selain melaksanakan produksi yang dilakukan sejak Agustus 2021 oleh Pertamina, Pemerintah juga menyiapkan empat terminal LS MFO di Selat Malaka untuk melayani armada laut Internasional.

“Pemerintah Indonesia juga akan mengubah penggunaan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar gas (BBG) untuk kapal-kapal kecil. Program ini untuk nelayan dengan kapal penangkap ikan 7.812 metrik ton. Kami juga sekarang memperkenalkan Tenaga Surya Atap untuk dipasang di semua pelabuhan kami,” pungkas dia.

perlu dibaca : Berbagai Pengalaman dari Indonesia kepada Dunia

 

Pemandangan udara dari dermaga kapal peti kemas di pelabuhan industri Tanjung Priok, Jakarta. Foto : shutterstock

 

Ramah Lingkungan

Sedangkan Staf Ahli Menteri Kemenko bidang Kemaritiman dan Investasi untuk Bidang Manajemen Konektivitas Sahat Panggabean dalam salah satu sesi side event COP26 di Indonesia Pavilion, di Glasgow, Skotlandia, dua pekan lalu mengatakan bahwa Indonesia sudah merancang elemen berkaitan dengan desain untuk pelabuhan ramah lingkungan (green port).

Elemen tersebut di antaranya adalah management ISO series, aktivitas pelabuhan, konservasi energi, dan manajemen lingkungan. Sementara mengacu pada limbah pelabuhan, ada lima karakteristik yang menjadi acuan, yaitu limbah berminyak, limbah berbahaya, limbah domestik, sampah, dan polusi udara.

Untuk membangun green port, Pemerintah melaksanakannya dengan melibatkan lintas kementerian. Selain Kemenko Marves, ada juga Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM).

Penerapan green port tersebut menjadi bagian dari lima aksi mitigasi perubahan iklim yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu hutan dan lahan gambut, energi dan transportasi limbah, agrikultur, dan sektor industri.

Khusus untuk green port, Indonesia mengadopsi kriteria internasional seperti yang sudah diterapkan di Green port Award System (GPAS), Apec Port System Network (APSN) untuk aspek manajemen, dan The World Association For Waterborn Transport Infrastructure (PIANC) untuk aspek teknis.

Dia menyebutkan, uji coba penilaian green port sebelumnya sudah dilaksanakan pada 2019 lalu di 10 pelabuhan besar yang ada. Uji coba dilaksanakan untuk melihat apakah Indonesia sudah bisa menerapkan kriteria internasional dan berdampak pada peningkatan kinerja pelabuhan.

Selanjutnya, diharapkan penerapan bisa dilaksanakan di seluruh pelabuhan yang ada di Indonesia yang jumlahnya mencapai 2.459. Jika itu berhasil, maka target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor transportasi energi optimis bisa dicapai.

 

Pemandangan terminal petikemas di pelabuhan Terminal Petikemas Surabaya (TPS), Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, pada 2 Juli 2018. Foto : shutterstock

 

Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi pada kesempatan yang sama mengatakan, sektor transportasi, khususnya maritim memang menjadi salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca (GRK). Penyebabnya, karena ada kegiatan pelayaran dan aktivitas pelabuhan masyarakat.

Dia menjelaskan, dari hasil kajian GRK IMO keempat yang dilakukan pada 2020, diperkirakan kalau kegiatan pelayaran sudah mengeluarkan total sejuta dan 56 ton CO2 pada 2018. Atau, total sudah mencapai 2,89 persen dari total CO2 antropogenik global.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal atau MARPOL Annex VI untuk menetapkan ketentuan yang sesuai terkait tindakan perlindungan lingkungan di wilayah pelabuhan.

Hal lainnya yang Pemerintah Indonesia lakukan adalah dengan menggunakan truk CNG di area pelabuhan, menggunakan penghubung pelabuhan untuk menghubungkan kapal ke instalasi linstrik di dermaga. Upaya ini dilakukan untuk menciptakan green port di Indonesia.

 

Exit mobile version