Mongabay.co.id

Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]

 

 

 

 

 

 

Kehidupan warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, tak seperti dulu. Kehidupan tradisional terkikis. Lahan perkebunan, pesisir dan laut makin menyusut, sungai pun tercemar. Kini, warga pun terancam terusir dari pemukiman mereka.

Setelah kekerasan sektarian di penghujung tahun 1999, satu per satu korporasi tambang keruk Pulau Obi, salah satu di Kawasi. Kini, kampung seluas 133,79 km2 ini terhimpit, di kelilingi industri pertambangan.

Data Walhi Maluku Utara memperlihatkan, ada lima izin tambang di Kawasi dengan total konsesi 10.769,53 hektar. Mulai dari PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa, di bawah Group Harita. PT Algifari Wildan dan PT Wanatiara Persada di bagian utara blok Harita, dan PT Rimba Kurnia Alam yang keruk Pulau Malamala, depan permukiman.

Besaran izin tambang dan daya rusak makin membuat warga was-was. Benar saja, Pemerintah Halmahera Selatan bersama Harita Group teken nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) pada 2019 untuk bangun permukiman baru. Sedang warga tidak tahu sama sekali ada nota kesepahaman itu dan tak pernah dilibatkan dalam pembahasan penting ini. Tiba-tiba saja bangunan berdiri dan tinggal tunggu waktu masyarakat terusir dari tanah kelahiran mereka.

Kawasan tinggal yang baru dibangun perusahaan sudah hampir selesai. Lokasi terletak di arah selatan sekitar lima kilometer dari permukiman warga dan dari pesisir pantai sekitar satu kilometer. Puluhan rumah itu tertata rapi dekat bukit dan berpijak pada timbunan seluas 80 hektar lebih.

Daerah itu sebelumnya rawa dan terdapat banyak tanaman sagu. Warga biasa olah sagu secara tradisional sejak 1982. Kini, sagu-sagu itu sudah ditebang dan ditimbun sebagai alas.

Warga bersikeras menolak tinggal dikoloni baru itu. Bagi mereka, kawasan tinggal itu tidak layak. Bangunan kecil dan hanya terdapat dua kamar tidur. Mereka juga tidak ingin permukiman warisan nenek moyang digusur dan diambil alih perusahaan.

Abadan Nomor, pernah didatangi perusahaan dan diundang saat peletakan batu pertama permukiman baru, dan termasuk dalam acara yang dihadiri Iswan Hasjim, Wakil Bupati Halsel kala itu.

Sebagai imam dan kepala kampung di Kawasi, keputusannya sangat berpengaruh. Dia satu tokoh kunci di desa. Komitmennya membela warga dan mempertahankan tanah leluhur tidak bisa diganggu gugat. Bagi dia, perusahaan harus angkat kaki dari kampung, bukan warga.

“Perusahaan yang harus pindah itu cocok, bukan torang. Tidak mungkin itu,” kata Abadan.

“Di sana itu [perumahan] kalau pindah, sama halnya cari mati. Saya biar putus leher tidak mau pindah.”

Dalam pernyataan di Malutpos pada Desember 2019, perusahaan beralasan permukiman warga terlalu dekat dengan pabrik dan masuk zoma merah, rawan gempa. Pemerintah daerah turut mengafirmasi dalih itu dengan beberapa pertimbangan untuk memindahkan warga.

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

Begini penampakan air sungai di Kwasi kini dari sebelumnya jernih. Apakah ini bukan pencemaran namanya? Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Ridwan la Tjadi, Kepala Seksi Perencanaan & Pengkajian Dampak Lingkungan Hidup (PPLH) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halsel, yang ikut dalam pembahasan ‘perpindahan’ permukiman warga mengatakan, ada beberapa pertimbangan dalam kajian itu. Pertama, hunian warga sudah kumuh, sampah berserakan dimana-mana, tidak ada tempat pembuangan akhir, lingkungan tidak sehat dan permukiman tak beraturan.

Kedua, permukiman warga sekarang berada di nol meter dari atas permukaan laut, tak terlalu tinggi. Khawatir bila gelombang pasang atau tsunami bakal rentan terdampak. Ketiga, dekat dengan kawasan industri, baik itu lalu lalang alat berat dan uap cerobong PLTU batubara.

“Itu yang menjadi pertimbangan kemarin,” katanya.

Dia bilang, permukiman baru sesuai dengan ukuran rumah. Sisi lain, rumah warga yang sekarang lama-kelamaan akan berdampak, terutama pada kesehatan.

Wajihuddin Fabanyo, Kepala Bidang Amdal Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara, berkata, Pemerintah Halsel telah menyusun rencana strategis dengan menata ulang permukiman warga Kawasi. Klaimnya, penyusunan ini sebagai bagian dari rencana agar masyarakat sejahtera.

“Perpindahan warga juga disertakan dengan membangun kawasan yang lebih baik dan tertata, aman dari potensi bencana tsunami dan berlokasi dekat dengan lahan pertanian masyarakat,” katanya.

Selama ini, kata Abadan, kampungnya aman dan tak pernah dengar gempa berat landa pemukiman. Bila itu jadi pertimbangan, seharusnya pemerintah memindahkan warga di Gane yang pada 2019 diterjang gempa tsunami, bukan warga Kawasi.

“Menurut kalian kampung ini rawan, tapi torang rasa kampung ini bagus. Torang so nyaman disini.”

“Dapat aturan dari mana, perusahaan baru datang kong mau kase pindah kampung?” kata Yulius, warga Kawasi.

Upiawan Umar, aktivis lingkungan asal Obi, mengatakan, kekhawatiran pemerintah sebetulnya tidak berlebihan. Namun mengusir warga dari kampung dengan dalih rawan gempa termasuk untuk memperluas kawasan industri tambang adalah tindakan kriminal.

 

Baca juga: Riset Sebut Anggapan Mobil Listrik Hasilkan Emisi Sebanyak Kendaraan Fosil itu Mitos

Pemukiman warga di pesisir dengan latar belakang pebukitan mereka yang sudah gundul jadi kawasan bisnis. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman

Dari hasil kajian memperlihatkan, Pulau Obi di Halmahera Selatan termasuk kawasan seismic aktif dan kompleks berarti sering terjadi gempa. Disebut kompleks karena terdapat empat zona seismogenetik sumber gempa utama, yaitu, Halmahera Thrust, Sesar Sorong-Sula, Sesar Sorong-Maluku, dan Sesar Sorong-Bacan.

Berdasarkan penelitian Cecep Sulaeman dan Athanasius Cipta dari Badan Geologi menyebut, Pulau Obi termasuk satu daerah di Halmahera Selatan yang rawan bencana gempa bumi.

Pulau Obi, pada penelitian lain menyimpulkan, berada pada sistem sesar mendatar aktif Sorong-Taliabu, hingga rawan gempa bumi yang bersumber baik di darat maupun di laut. Yang paling mengancam adalah banjir bandang dan abrasi.

Dalam riwayatnya, Pulau Obi juga sudah pernah diterjang gempa kuat dua kali, tercatat pada 8 oktober 1994 (6,8 M) dan pada 13 Februari 1995 (6,7 M). Terakhir, di Kecamatan Obi banjir terjadi pada Desember 2016 dari luapan Sungai Buton akibat hujan deras.

Namun, kerawanan dan bahaya ini tidak disertai dengan mitigasi bencana yang cukup. Malah justru jadi dalih agar warga diusir, sementara korporasi tambang dibiarkan mengayunkan bolduzer dan mengeruk habis sumber daya alamnya.

Pulau Obi, memang jadi salah satu tumpuan industri tambang di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Ia salah satu pulau besar yang terletak di gugusan Kepulauan Obi. Pulau Obi ini memiliki luas 2.500 km2 dan dikelilingi banyak pulau-pulau kecil, antara lain, Pulau Obilatu, Pulau Bisa, Pulau Gata-gata, Pulau Latu, Pulau Woka, Pulau Malamala dan Pulau Tomini.

Pulau Obi telah lama menjadi rebutan pengusaha tambang, bahkan terjadi sengketa konsesi antar Harita dan Antam.

Data Walhi Maluku Utara sebut, setelah Antam ciut, pulau ini diberi restu pemerintah untuk 12 izin tambang dengan luas konsesi 35.510,70 hektar.

Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba teken empat izin, empat izin lain oleh Bupati Halmahera Selatan, antara Muhamad Kasuba dan Bahrain Kasuba, dan empat izin dari Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Arifin Tasrif.

Rata-rata izin tambang di Pulau Obi berakhir pada 2032, tiga izin lain berakhir 2029, termasuk beberapa perusahaan yang masih terhubung dengan Harita Group.

Walhi Malut juga catat, pasca terbit UU Minerba, terjadi penyusutan IUP di Maluku Utara, dari 313 izin pertambangan jadi 105 izin pertambangan dengan status tahap operasi produksi pada 2020.

“Penyusutan izin tambang tak ada korelasi dengan penurunan laju eksplotasi sumber daya alam dan penguasaan ruang darat-laut di Pulau-Pulau Kecil,” kata Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Malut.

Dia bilang, besaran perizinan dan berbagai hak istimewa kepada perusahaan tambang adalah bentuk pengabaian terhadap hak kenyamanan, hak kesehatan, hak keamanan, dan segala jaminan oleh negara di dalam konstitusi.

Level degradasi lingkungan dan perampasan lahan (land grabbing), kata Rusydi, makin parah karena besaran skala izin konsesi pertambangan dan smelting yang terintegrasi dengan komponen infrastruktur seperti PLTU batubara pun lokasi penampungan limbah.

Dia khawatir, dengan masif dan laju kerusakan di Pulau Obi serta berada di areal rawan bencana akan makin mengundang bencana besar.

“Termasuk memperparah kondisi ekologi, dimana daya dukung dan daya tampung lingkungan terganggu karena kawasan hutan sudah tidak sesuai dengan fungsi alami asli,” katanya.

Perusahaan Harita Group melalui humas sulit untuk konfimasi. Mongabay telah mengirimkan email beberapa kali, menghubungi via WhatsApp berulang, hingga datang ke kantor cabang Harita Group di Ternate. Tak ada balasan.

 

Baca juga :  Mobil Listrik Transportasi Masa Depan, Apakah Ada Dampak Bagi Lingkungan?

Desa Kawasi di Kecamatan Obi, sudah terbangun kawasan industri nikel. Bagaimana nasib warga yang hidup di sana? Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Minim pengawasan

Pengawasan juga minim, terlebih pada masa pandemi COVID-19. Belum lagi, anggaran meninjau daerah industri terbatas. Wajihuddin membenarkan soal itu.

Dia tidak memberi penjelasan soal ancaman kerusakan lingkungan di kawasan industri Harita. Dia hanya menjelaskan poin-poin dalam dokumen amdal, terutama soal potensi dampak lingkungan dan mitigasi yang disusun perusahaan kemudian lapor ke DLH.

Bila perusahaan melakukan pelanggaran, dia bilang akan ditindak sesuai peraturan berlaku. Perusahaan juga, katanya, harus bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja semua orang di wilayahnya, terutama berkaitan dengan aktivitas pertambangan.

Soal ruang hidup warga yang terkekang, Wajihuddin dapat informasi kalau perusahaan memberikan akses pada masyarakat dengan pengawasan agar keselamatan warga terjaga.

Dia bilang, segala aktivitas pertambangan telah dikaji dalam dokumen amdal dan dirumuskan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RKL/RPL) yang telah dikaji tim teknis. Dia tak menjelaskan detil bagaimana pengawasan DLH.

“Ada pengawasan. Tapi saat korona belum pengawasan secara efektif,” kata Wajihuddin tanpa menjelaskan spesifik bentuk pengawasan itu.

Hasyim Daengbarang, Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku Utara, tidak menjawab spesitifk bagaimana pengawasan mereka. Bahkan, dia nyatakan kalau pengawasan jadi kewenangan pusat.

Sejak 10 Desember 2020, katanya, kewenangan Pemerintah Daerah (Dinas ESDM) dari perizinan sampai pengawasan diambil pemerintah pusat sesuai Undang-undang Nomor 3/2020.

Tak jauh beda ketika mewawancarai Ridwan La Tjadi, untuk mengonfirmasi temuan-temuan soal kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan di kawasan industri Harita. Dia hanya memperlihatkan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan PT TBP dan memperlihatkan hasil laboratorium dari Komite Akreditasi Nasional Labolatorium Penguji yang termuat dalam laporan semester 1/2021.

“Jadi, kami beri tanggung jawab ke perusahaan harus melaporkan berkala. Harus diuji dan diolah secara laboratorium dan terakreditasikan. Kalau tidak kami tidak mau,” kata Ridwan.

Dia perlihatkan lagi satu persatu bukti register sampel setiap titik pengawasan di dalam IUP perusahaan yang termuat dalam laporan.

“Kami tidak main-main, perusahaan harus buat laporan secara berkala. Saya tidak mau torang Halmahera Selatan jadi korban dari aktivitas perusahaan, maka kami ketat sekali.”

Dia bilang, pencemaran atau tidak harus melalui uji laboratorium. “Melampaui baku mutu atau tidak. Kalau tidak melampaui baku mutu itu tidak tercemar, seperti itu,” katanya.

“Kalau kami itu jelas, pengawasannya ini harus diuji lap dulu semua,” kata Ridwan.

Sedimentasi limbah yang cermari Sungai Toduku dan sumber air minum di dekat kawasan industri, cerobong PLTU batubara dan temuan-temuan lain seakan tidak bisa dia lihat sebagai keterancaman hidup warga.

Dia malah meminta saya mengambil sampel dan melakukan uji laboratorium untuk memastikan tercemar tidaknya sumber-sumber kehidupan warga. Ridwan juga minta warga yang ambil sampel termasuk membuat pelaporan ke DLH Halsel.

“Jadi kalau seumpama ada keluhan masyarakat seperti itu, lalu kemudian dengan rekomendasi kepala desa datang kesini, kemudian baru kami turun.”

Dampak dari segala kerusakan, kata Rusydi, tentu saja masyarakat yang rasakan karena bersentuhan langsung dengan alam sekitar.

“Bila permerintah sekadar menggunakan data perusahaan terkait pencemaran yang terjadi, sementara bila ada masyarakat yang sudah merasakan dampak, atau kalau sampai sudah fatal dan ada warga yang meninggal, dalih pemerintah apa?” tanya Rusydi.

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, curiga, ada pemain dari elit lokal dan nasional yang kompak menjadikan Pulau Obi sebagai kawasan industri untuk keruk nikel.

Pebisnis-pebisnis nikel bertali satu dengan korporasi bisnis batubara. Kedua industri ini, kata Merah, adalah pemain utama dalam membangun pabrik untuk kendaraan listrik.

Pangkal soal dari permintaan pasar untuk bahan baku kendaraan listrik dalam mengalihkan ketergantungan dari energi fosil adalah krisis iklim. Sayangnya, kata Merah, batubara tetap dikeruk untuk menyuplai energi ke pabrik-pabrik.

“Jadi, istilah energi besih itu adalah pemalsuan, karena di balik cerita baterai nikel ada warga yang dikorbankan, termasuk di Pulau Obi.”

“Ini bukan transisi, tapi ekspansi. Ini ekspansi, perluasan sesuatu yang buruk.”

 

***

Nuhayati, Abadan, dan warga Kawasi tidak mau pindah. Mereka tidak ingin jauh dari pesisir. Ruang hidup penting salah satunya ialah laut karena mayoritas nelayan. Dekat dengan kebun bukan jadi ukuran, warga sudah terbiasa jelajahi hutan dan kebun yang jauh.

Kampung warisan nenek moyang adalah satu alasan paling kuat, karena jauh sebelum perusahaan datang, warga sudah hidup menetap disini.

Belum lagi, permukiman baru itu bukan lahan mereka tetapi pemerintah dan perusahaan. Sewaktu-waktu, bila perusahaan menginginkan lahan itu, bukan tidak mungkin mereka bakal jadi tuna kisma dan terlantar karena tidak lagi memiliki apapun.

“Intinya, masyarakat tidak akan pindah. Itu satu saja. Yang kitorang ingin itu torang tidak pindah dari Kawasi.” [Selesai]

 

 

*Liputan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat.

******

Foto utama:  Alat berat sedang bekerja di kawasan industri nikel tak jauh dari pemukiman warga di Kecamatan Obi, Halsel. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version