Mongabay.co.id

Lenyapnya Burung dan Ikan Lenyap, Setelah Dibabatnya Mangrove Terakhir Ternate

 

Ratusan orang dari lingkungan Parton dan Kelapa Pendek, Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara menggelar aksi dengan memalang dua jalan utama pada Rabu (10/11/2021) lalu. Aksi itu sebagai bentuk protes kegiatan reklamasi dan penebangan hutan mangrove oleh PT Indoalam Raya Lestari. Perusahaan ini berencana membangun gudang modern di kawasan hutan mangrove yang luasanya mencapai 1,7 hektar di pusat kota Ternate.

Saat aksi berlangsung, dua ekor burung kuntul besar (Aredea alba) terbang mengitari kawasan mangrove yang tersisa beberapa pohon karena penimbunan dan penebangan.

Setiap pagi dan petang, burung kuntul besar atau sueko putih orang Maluku Utara menyebutnya, biasa hinggap dan mencari makan di hutan mangrove Mangga Dua, hutan mangrove tersisa di Kota Ternate itu.

Kini tempat bertengger burung hilang, rumah warga yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove juga tenggelam bila pasang laut naik.

“Sejak adanya penebangan dan penimbunan atau reklamasi, pasang naik menenggelamkan sebagian besar rumah warga di beberapa RT. Rumah yang tenggelam akibat pembangunan di kawasan hutan mangrove itu adalah RT 03, RT 04, RT 05 dan RT 14,” kata Ansar Ahmad, peserta aksi yang juga warga lingkungan Kelapa Pendek yang rumahnya terkena imbas banjir rob.

baca : Mangrove Ternate Kritis, Bagaimana Upaya Pemulihan?

 

Dua ekor burung kuntul yang bertengger di hutan mangrove Mangga Dua, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Hisbullah Muzi

 

Perusahaan itu melakukan aktivitas reklamasi karena menganggap lahan itu sah milik mereka. Klaim itu diungkapkan pemilik PT Indo Alam Raya, Budi Liem melalui Kepala Dinas PU Pemkot Ternate Isnain Pansiraju saat peninjauan bersama pihak perusahaan ke lokasi hutan mangrove Mangga Dua, usai aksi warga.

Selain itu, Perusahaan mengklaim telah mengantongi dokumen UKL-UPL yang dikeluarkan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Ternate bernomor 640/26/1/23-REK/BLH-Tte/VII/2014 pada Juli 2014 serta SK Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Ternate tentang izin Lingkungan Perencanaan Pembangunan.

Sedangkan warga Mangga Dua melihat ada regulasi yang dilanggar perusahaan. Misalnya warga menyatakan pembangunan itu menyalahi dokumen RTRW yang menetapkan hutan mangrove sebagai kawasan lindung yang tidak bisa dialihfungsikan.

“Banyak ketentuan yang dilanggar termasuk UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta UU Kehutanan No.41/1999,” kata koordinator aksi, Saiful Amrullah.

Sementara Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan BLH Kota Ternate Syarif Can menyebutkan, setelah mempelajari dokumen UKL-UPL yang dibuat pada 2014, menyatakan dokumen itu sudah kedaluwarsa.

Izin prinsip dalam dokumen itu untuk pembangunan 8 gudang dan bukan untuk reklamasi. Sehingga selain dokumen kadaluwarsa, perusahaan melanggar izin prinsip dengan melakukan reklamasi. Pelanggaran kedua adalah menebang hutan mangrove yang merupakan kawasan lindung.

baca juga : Abrasi Pantai Parah di Ternate

 

Mangrove Mangga Dua tersisa sebelum direklamasi. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

“Mau milik siapa pun yang masuk kawasan lindung harus dijaga tidak bisa dirusak. Pemilik bisa saja melakukan kegiatan tanpa merusak mangrove dengan mengurus dokumen baru, tidak berdasar dokumen lama karena sudah kedaluwarsa. Dokumen itu sudah berubah proses dan desainnya, serta mengubah perencanaan dari gudang menjadi reklamasi. Karena itu dokumen itu dinyatakan tidak berlaku jika prosesnya berubah. Selama menambah kegiatan sesuai izin yang dikantongi maka harus mengurus izin baru,“ jelasnya.

Hal itu, lanjut Syarif, merujuk Peraturan Pemerintah No.22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan bila tiga tahun tidak dilakukan kegiatan, makadokumen dianggap batal. Sejak 2014 sampai 2021 tidak ada kegiatan maka sudah ada perubahaan rona awal. Karena itu harus ada dokumen baru dengan perencanaan baru.

 

Terus Menysut

Kota Ternate mempunya luas 5.795,4 km2 didominasi laut  (5.547,55 km2) dan daratan 249,6 km2.  Data Dinas Perikanan 2007, Kota Ternate memiliki hutan mangrove 14,65 hektar. Tak tanggung-tanggung, kerusakan hutan mangrove mencapai 78,57%.

Kerusakan ini, akibat tebang habis, konversi menjadi pemukiman, pembuangan sampah padat, pencemaran tumpahan minyak, pembuangan sampah cair dan reklamasi  pantai.

Peneliti Mangrove dari Universitas Khairun Ternate Salim Abubakar mengatakan, dari penelitiannya dalam beberapa tahun ini menunjukkan mangrove Ternate rusak dan terancam habis karena pengembangan pemukiman warga dan reklamasi  pantai Ternate.

Paling masif, katanya, reklamasi dan penambahan pemukiman termasuk. “Di beberapa lokasi seperti Kelurahan Kastela, Gambesi, Rua, Tobololo , sebenarnya telah penghijauan dengan menanam mangrove, tetapi hasilnya tidak maksimal,” katanya.

perlu dibaca : Begini Nasib Hutan Mangrove Pulau Ternate

 

Hutan mangrove tersisa di Mangga Dua, Kota Ternate, Maluku Utara yang ditebang dan direklamasi untuk pembangunan pergudangan. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Potensi kerusakan juga karena ketidaksadaran masyarakat membuang sampah padat dan cair di sekitar hutan mangrove,  termasuk  pencemaran air laut dari tumpahan minyak.

“Ini terjadi di Kastela dan Rua, Kecamatana Pulau Ternate, berdekatan dengan Pelabuhan Pertamina di Kelurahan Jambula,” katanya.

Untuk dampak reklamasi, paling nyata terjadi di Kelurahan Mangga Dua, Ternate Selatan. Di kawasan ini, hutan mangrove habis tergantikan jalan dan bangunan beton serta pelabuhan kecil yang menghubungkan antar kabupaten/kota di Maluku Utara.

Sementara di beberapa tempat di Selatan  Pulau Ternate,  masih ada meskipun kondisi makin kritis. Hasil identifikasi potensi dan rehabilitasi hutan mangrove di Ternate oleh Dinas Pertanian menemukan mangrove makin kritis.

Sebenarnya Pulau Ternate, terbilang daerah kaya mangrove. Hasil identifikasi Dinas Pertanian dan Kehutanan Ternate 2009, menemukan keragaman mangrove di Pulau Ternate cukup tinggi. Dari inventarisasi dan eksplorasi di hutan mangrove Sulamadaha, Takome, Rua, Kastela, Sasa-Fitu, Kalumata dan Mangga Dua, setidaknya ada 35 jenis, termasuk 29 marga dan 23 suku.

Tak hanya mengrove biasa,  dari 35 spesies tercatat, 16 dikategorikan jenis- jenis mangrove langka  berdasarkan ketetapan IUCN dengan status terkikis (LR) sampai kritis (CR).

baca juga : Wisata Mangrove di Jantung Sofifi, Kaya Kehati Jadi Pelindung Kota

 

Jenis tumbuhan mangrove di Pulau Ternate, Maluku Utara.

 

Di Sulamadaha, hutan mangrove masuk zona lindung dengan kondisi terpencar- pencar di beberapa tempat. Ada tegak berdiri di pinggir pantai, ada bergerombol  di belakang garis pantai. Belasan bahkan puluhan jenis mangrove, seperti Sonneratia albaRhizophora apiculataLumnitzera littoreaCalophyllum inophyllum, dan Lumnitzera racemosa, Nypa fruticans, Hibiscus tiliaceusPandanus tectorius, Derris trifoliata, Acrostichum aureum, dan Clerodendrum inerme.

Dua jenis yang mampu tumbuh di hamparan pasir bercampur lumpur  dan selalu terkena gempuran ombak, yaitu Sonneratia alba  dan Rhizophora apiculate.

Tak kalah miris kondisi hutan mangrove Mangga Dua yang terletak di belakang pemukiman. Kini habis terbabat reklamasi. Di sini dulu ditemukan Sonneratia albaRhizophora apiculata, Ipomoea pes-caprae  dan Avicennia marina.

baca juga : Aziil Anwar, Penanam Mangrove di Batu Karang

 

Hutan mangrove tersisa di Mangga Dua, Kota Ternate, Maluku Utara yang ditebang dan direklamasi. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Hasil survey dan identifikasi Dinas Pertanian menyebutkan, kondisi hutan mangrove di Ternate makin menurun dan kritis. Data ini diambil jauh sebelum reklamasi pantai dilakukan pemerintah Ternate. Satu contoh reklamasi melibas mangrove untuk penataan kawasan Jalan Kota Baru Bastiong sepanjang tiga kilometer melewati hutan mangrove Mangga Dua.

Belakangan ini ada lagi reklamasi pada sisa hutan mangrove untuk pembangunan gudang modern multi guna di Mangga Dua. “Padahal dulu mangrove rimbun. Setelah reklamasi, terganti pelabuhan. Dulu mangrove di Mangga Dua banyak bangau dan beberapa jenis burung lain,” katanya.

Pasca  reklamasi, burung-burung itu hilang entah ke mana. Ikan dan kepiting bakau yang biasa ditangkap warga pada malam hari, juga turut menghilang.

“Semua habis. Kami meminta hal seperti ini perlu diperhatikan Pemerintah Kota Ternate,” Pungkas Salim.

 

Exit mobile version