Mongabay.co.id

Kala Mahkamah Konstitusi Kabulkan Gugatan Atas UU Cipta Kerja

Koalisi Masyarakat Bengkulu menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa, 8 September 2020. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Memasuki penghujung tahun lalu, muncul kabar tak baik bagi lingkungan hidup dan masyarakat dengan pengesahan UU Cipta Kerja. Di penghujung tahun 2021, ada sedikit kabar baik bagi lingkungan hidup dan masyarakat di negeri ini. Apakah itu? Pada 25 November lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan organisasi masyarakat sipil atas uji formil terhadap Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam putusan, majelis hakim MK menyebut, UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dengan keputusan ini, pemerintah tidak bisa mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. MK juga memberikan kesempatan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU selambat-lambatnya dua tahun.

“Kami mengapresiasi putusan ini karena ini sebenarnya ini sejarah baru dari MK terkait dengan gugatan dari aspek formil,” kata Lodji Nurhadi dari Yayasan Bina Desa melalui sambungan seluler, November lalu.

Dia bersama Komite Pembela Hak Konstitusional Rakyat mengajukan gugatan formil atas UU Cipta Kerja ini. Gugatan ini, katanya, penting dalam proses advokasi.

“Walaupun kami mengapresiasi, tapi juga aneh. Ada yang disebut inkonstitusional bersyarat. Dari segi hukum, sebenarnya kan pilihannya konstitusinal dan inkonstitusional. Di sini, ada remang-remang kayaknya sebagai titik kompromi antara para hakim soal perbedaan pandangan. Selain aspek politik dalam mempengaruhi keputusan ini,” katanya.

Dia menilai, putusan MK ini kuat nuansa pengaruh pemerintah. Apalagi, pemerintah sudah menerbitkan berbagai aturan turunan dari UU ini dan lintas sektoral.

“Itu yang saya kira jadi pertimbangan. Satu sisi, kami menyambut gembira prestasi bagi MK untuk mengabulkan gugatan formil, itu tidak ringan sebenarnya. Memang proses pembentukan hukum butuh waktu agak lama. Ketika ini dibatalkan, cukup mahal harganya.”

Terkait tenggat waktu dua tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki UU ini, kata Lodji, jelas menunjukkan putusan MK itu inkonstitusional bersyarat. UU Cipta Kerja baru dianggap benar-benar inkonstitusional apabila dalam waktu dua tahun, pemerintah tidak melakukan perbaikan.

“Ini hal yang baru dan menggelitik saya kira. Inkonstitusional tapi kok ada syaratnya. Tapi memang ada kalkulasi politik, ya kami menyadarilah.”

Terkait berbagai aturan turunan yang sudah terbit, katanya, masih berlaku sampai dua tahun ke depan. Namun, katanya, secara implementasi tidak boleh ada kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis.

“Misalkan, terkait BUMDes. Mungkin ada eksekusi-eksekusi yang bisa dilakukan berdasarkan PP. Sebenarnya aturan itu masih butuh aturan turunan lagi untuk implementasi lebih konkrit. Nah, ini yang nggak bisa. Bisa dianggap UU ini mati suri.”

 

Baca juga: Kala Organisasi Masyarakat Sipil Ramai-ramai Gugat UU Cipta Kerja

Aksi berbagai elemen masyarakat menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di berbagai wilayah di Indonesia. Foto : KPA screenshoot KPA

 

Jadi, katanya, UU ini tak bisa bergerak sampai ada perbaikan dalam dua tahun ke depan. “Jika tidak, otomatis UU ini akan runtuh dengan sendirinya setelah dua tahun.”

Putusan MK memberikan napas lebih panjang bagi masyarakat dan peluang bagi pemerintah untuk evaluasi terkait atas UU ini. Misal, terkait impor pangan yang diatur UU CK, tidak mudah terimplementasi.

Gak boleh dibikin PP baru. Yang sudah kadung dibikin, ya sudah dijalankan sejauh bisa dijalankan. Tapi tidak boleh membuat atau menerbitkan kebijkan-kebijakan yang bersifat strategis yang mengimplementasikan kebijkan dari UU CK ini.”

Dia berharap, pemerintah bisa benar-benar memperhatikan aspek hukum dan materil dari UU CK. Selama ini, pemberlakuan UU CK mendapatkan banyak resistensi dari rakyat, termasuk petani, nelayan kecil, masyarakat adat, dan perempuan pedesaan.

“Karena memang UU ini cukup berbahaya. Banyak sekali pesanan-pesanan di dalam UU ini. Soal kebijakan importasi pangan, misal. Itu pesanan WTO. Beberapa negara menuntut kita di WTO untuk meliberalisasi pasar kita karena merasa dirugikan.”

Gunawan dari Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS) mengatakan, dengan putusan MK ini, Indonesia memiliki pedoman tentang tata tertib pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan mandat konstitusi.

“Putusan MK membuktikan, UU Cipta Kerja itu inkonstitusional. Meskipun bersyarat. Dengan frasa inkonstitusional itu, sebetulnya terbukti bahwa proses pembentukan UU CK itu tidak sesuai dengan konstitusi juga ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” katanya.

 

Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Dengan putusan MK, harapannya bisa  jadi kesempatan pemerintah mengevaluasi lagi UU Cipta Kerja, jangan sampai berbuntut bagi kerusakan lingkungan seperti tingkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan. Foto : BKSDA Riau

 

Pemerintah maupun DPR harus melakukan perbaikan UU ini. “Kalau gagal, maka inkonstitusinal permanen.”

Meski begitu, katanya, waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Keja tak bisa dimaknai bahwa UU ini masih berlaku sepenuhnya. Dengan ada putusan MK, menunjukkan ada pembatasan dalam implementasi.

“Tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis. Tidak boleh mengeluarkan peraturan pelaksana. Itu membuktikan, UU CK tidak bisa dijalankan.”

Dia mengatakan, UU Cipta Kerja yang terbentuk dari menyederhanakan berbagai aturan (omnibus law) sebagai metode pembentukan hukum di Indonesia jadi landasan harus jelas. Kalaupun pemerintah tetap memaksakan implementasi UU ini, setidaknya pembentukan peraturan perundang-undangan harus diubah terlebih dahulu.

“Perbaikan itu menyangkut semua tahapan. Tahap perencanaan, pembahasan, dan pengesahan. Di tahap perencanaan, otomatis naskah akademik harus dikedepankan terlebih dahulu. Baru draf RUU. Bukan draf RUU dulu, baru ada naskah akademik.” Selain itu, harus melibatkan partisipasi publik.

 

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, putusan MK jelas menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional. Sekaligus juga membuktikan, pemerintah dan DPR telah melawan konstitusi dan ini persolan serius.

“Ketika suatu UU itu dibuat dengan dipaksakan dan melawan konstitusi, artinya sesungguhnya ada kejahatan di dalamnya. Ada kejahatan yang dilindungi yang jadi latarbelakang UU ini dibuat. Dibutuhkan kebijakan korektif dari pemerintah kalau masih mau mendapatkan kepercayaan masyarakat,” katanya.

Dia mengatakan, kebijakan korektif perlu untuk mengkoreksi kebijakan atau regulasi itu yang sudah ada. Dimana, kejahatan lingkungan, kejahatan kehutanan justru bisa dilindungi UU Cipta Kerja.

“Kebijakan-kebijakan korektif pemerintah seperti audit lingkungan. Supaya negara dapat mendapat neraca arus sumber daya alam.”

Setelah audit lingkungan, lanjut Zenzi, dapat dibuat kebijakan lanjutan dalam bentuk review perizinan. Izin bermasalah dicabut dan segera pemulihan lingkungan serta penegakan hukum.

Walhi mencatat, sekitar 839 perusahaan terindikasi berada dalam kawasan hutan dan gambut dalam. Persoalannya, bukan hanya ada sejumlah perusahaan dalam kawasan hutan atau gambut—yang jelas melanggar hukum—tetapi masih beroperasi hingga kini. Jadi, ada kerugian lingkungan dan ekonomi yang ditanggung negara dan rakyat. “Penegakan hukum itu harus dilakukan.”

Dia mendesak, pemeritah menghentikan proyek yang merampas ruang hidup rakyat seperti proyek strategis sebagaimana amar putusan hakim yang menyatakan, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Pemerintah, juga tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Reynaldo Sembiring, Direktur Esksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, putusan MK ini juga tidak jelas terutama mengenai pelanggaran konstitusional tetapi ternyata UU Cipta Kerja, masih berlaku.

“Artinya menjadi pertanyaan besar, maksudnya itu diperbolehkan atau tidak?”

Dodo bilang, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan aspek partisipasi publik tidak bisa hanya bersifat informatif atau sosialisasi. Seharusnya, ruang tidak terbatas diberikan kepada masyarakat pada rapat-rapat DPR saat itu.

“Ini [putusan MK] teguran untuk pemerintah bahwa partisipasi itu hal paling esensial dari sebuah pembentukan kebijakan.”

Pemerintah, katanya, juga perlu melihat aspek materil UU Cipta Kerja yang selama ini mendapatkan banyak penolakan dari berbagai kalangan, tak hanya berhenti pada aspek formil.

“Saya melihat, ini kesempatan bagi pemerintah untuk melihat materi-materi yang selama ini menjadi keberatan bagi para pihak. Saya rasa materinya tidak sebatas di lingkungan dan sumber daya alam. Tapi ketenagakerjaan dan materi-materi lain. Itu yang perlu dikonsultasikan. Perlu didiskusikan dalam ruang partisipasi publik.”

Janses Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law mengatakan, inkonstitusional bersyarat menjadikan DPR dan pemerintah saat memperbaiki UU Cipta Kerja harus sesuai perintah hakim konstitusi, seperti, perlu ada landasan hukum omnibus law, partisipasi publik yang bermakna, dan perubahan materi.

Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif  Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan, putusan MK ini menjadi dasar hukum kuat untuk menunjukkan kalau UU ini bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun, katanya, masih terdapat inkonsistensi dari putusan MK itu.

“Ini kemenangan kecil rakyat atas inkonstitusional UU Cipta Kerja.”

Manseutus Darto, dari Serikat Petani Sawit juga mengapresiasi putusan MK ini. Menurut dia, dengan putusan ini sebagai indikator partisipasi publik yang bermakna sebagai syarat kontitusionalitas pembentukan Undang-undang.

Agus Ruli Ardianyah, dari Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut, indikator partisipasi bermakna harus memperbaiki dengan melibatkan partisipasi rakyat mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sampai pengesahan. Hal itu, katanya, harus jadi pedoman DPR dan pemerintah dalam pembentukan UU.

“Jangan seperti UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan gerakan petani.”

Dia bilang, seharusnya MK tegas dalam putusan, tidak menimbulkan dualisme. Putusan hakim MK menyatakan, inkonstitusional bersyarat hingga menimbulkan ambiguitas terhadap UU ini.

Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch mengatakan, dengan putusan MK ini, pemerintah tidak boleh mengeluarkan terlebih dahulu kebijakan strategis dan peraturan perundang-undangan turunan dari UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja, bermasalah secara konstitutional hingga tidak bisa menjadi rujukan bagi aturan di bawahnya.

“Sedari awal pembentukan UU Cipta Kerja mengandung cacat formil, karena tidak cermat, jelas bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, dan kurang partisipasi publik.”

 

******

Foto utama: Koalisi Masyarakat Bengkulu menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa, 8 September 2020. Foto: Ahmad

Exit mobile version