Mongabay.co.id

Pesan Ekologi pada Sastra Tutur Masyarakat Uluan Sumatera Selatan

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapatkannya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Sebagai bagian dari rumpun Melayu di Sumatera, masyarakat yang menetap di wilayah uluan Sumatera Selatan juga arif terhadap lingkungan. Mereka hidup harmonis dengan alam. Selain artefak megalitikum dan Prasasti Talang Tuwo [Kedatuan Sriwijaya], jejak kearifan tersebut dapat dilihat dari sejumlah karya sastra tutur, seperti pepatah-petitih dan pantun.

Sumatera Selatan memiliki delapan sungai besar yang bermuara di Sungai Musi. Yakni Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Batanghari Leko, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, dan Sungai Rawas.

Pada setiap wilayah hulu sungai ini, terdapat komunitas atau suku yang disebut sebagai masyarakat uluan. Misalnya Suku Pasemah, Suku Ogan, Suku Komering, Suku Rawas, dan lainnya.

Mereka hidup selama beberapa generasi di bentang alam uluan yang sebagian besar masuk dalam lanskap Bukit Barisan, berupa perbukitan dan lembah, yang kaya flora dan fauna.

Mereka hidup harmonis dengan alam. Keharmonisan dapat dibaca dari berbagai pengetahuan lokal atau nilai-nilai [falsafah hidup] melalui berbagai produk budaya, seperti karya seni sastra tutur. Baik berupa pepatah-petitih maupun pantun.

Pantun ditetapkan dan diakui UNESCO pada 17 Desember 2020 di Paris, Prancis, sebagai bagian warisan budaya dunia tak benda. Ini menandakan, pantun selain sebagai media komunikasi, juga memiliki ajaran tentang ritual dan moral, dan menjadi bagian dari identitas.

Pada setiap tempat, pantun memiliki pola yang sama dalam susunan setiap baitnya. Perbedaan hanya terletak pada pemilihan kata-kata yang digunakan oleh masyarakat penutur pantun. Tergantung pada perbedaan karakteristik pengetahuan dan pengalaman serta lingkungan masyarakat penuturnya.

Baca: Dulu Makmur, Perubahan Bentang Alam Membuat Warga Desa Ini Menjadi Miskin

 

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapanya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pantun juga identik dengan kearifan lokal masyarakat sebuah daerah, karena pantun biasanya ditulis dengan merujuk pada kondisi lingkungan alam setempat. Biasanya masing-masing bait pada pantun memiliki karakteristik sesuai konstruksi budaya masyarakat setempat. Isi, sampiran, maupun irama yang dibangun akan identik dengan kondisi alam dan tradisi yang berkembang.

“Dengan kata lain, pantun mengikuti serta berkembang sesuai karakteristik masyarakatnya,” kata Dr. Yenrizal dari UIN Raden Fatah Palembang, yang bersama Ahmad Muhaimin dan M. Sirozi, Ph.D, melakukan penelitian “Aktualisasi Pesan Lingkungan Hidup pada Pantun Masyarakat Uluan Sumatera Selatan”, Senin [06/12/2021].

Dijelaskan Yenrizal, penelitian yang mereka lakukan menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik, dicetuskan George Herbert Mead [1863-1931], yang diilhami gagasan teoritisasi tindakan sosial oleh Weber.

“Perspektif tindakan sosial dan interaksi simbolik memiliki kesamaan pemikiran yakni perihal makna subjektif dari tindakan manusia, proses sosial, dan pragmatismenya,” katanya.

Terkait di pantun wilayah uluan Sumatera Selatan, jika dilihat dari perspektif interaksionisme simbolik, dapat dikatakan pantun adalah bagian dari produk sosial yang lahir dari proses sosial suatu kelompok.

“Artinya, kehidupan kelompok yang menciptakan nilai-nilai dari sebuah proses sosial yang ada, bukan nilai-nilai sosial yang menciptakan tindakan atau kelompok. Perspektif ini menjadi pijakan bahwa pemaknaan pada sebuah pantun terbentuk dan terkonstruksi secara sosial melalui pertukaran simbol yang dipahami bersama,” jelas Yenrizal.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk puisi Indonesia [Melayu] adalah tiap bait [kuplet] biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak [a-b-a-b]. Tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua untuk tumpuan [sampiran] saja, dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pengertian lainnya, peribahasa sindiran.

Mat Piah [dalam Erwina, 2011] menjelaskan, pantun memiliki pemaknaan yang subjektif mengikuti pengalaman dan pengetahuan sebuah masyarakat tutur pantun. Tercermin dari penggunaan simbol-simbol tertentu, berdasarkan cara pandang masyarakat memandang dunianya [world view]. Selanjutnya, terdapat korelasi makna antara pasangan sampiran dengan isi, baik secara nyata maupun abstrak melalui simbol-simbol.

“Dalam penelitian ini terkumpul sekitar 203 pepatah-petitih dan pantun dalam beragam bahasa daerah pada masyarakat uluan di Sumatera Selatan. Tapi belum semuanya sudah terkaji,” katanya.

Baca: Perempuan, Purun dan Relasi Gender di Lahan Gambut

 

Anak-anak Desa Gelebak Dalam bermain di sawah. Dulunya desa ini bernama Sri Kuto Payung Priyayi, satu-satunya permukiman kaum ningrat di luar Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengetahuan lokal

Bagi masyarakat Indonesia, sastra tutur, termasuk pantun, adalah identitas masyarakat. Sastra tutur hadir dalam keseharian. Semua daerah memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri dalam menunjukkan sastra tutur yang mereka miliki. Perwujudannya pantun, pepatah-petitih, dan bidal. Biasanya ini melekat dalam hidup keseharian masyarakat.

Berkembangnya sastra tutur di masyarakat Melayu, diperkirakan sebelum kedatangan Islam. Sastra tutur masih dipengaruhi animisme, dinamisme, dan Hindu-Buddha. Menurut E.B. Tylor, bentuk religi yang tertua yakni penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Media komunikasi yang digunakan dalam proses penyembahan adalah mantra. Mantra merupakan satu di antara jenis puisi lama Melayu.

“Berbagai pengetahuan lokal, baik terkait kepercayaan, pesan moral, termasuk nilai-nilai kearifan terhadap lingkungan, banyak ditemukan dalam sejumlah sastra tutur yang masih hidup pada masyarakat uluan di Sumatera Selatan,” kata Ahmad Muhaimin.

Baca: Gelebak Dalam, Desa Sentra Padi yang Berjuang Mandiri

 

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di tepi Sungai Musi, tepatnya di Kampung 14 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pepatah-Petitih

Buku “Pepatah-Petitih Baghi, Pesan Puyang Nyjadikah Jagad Patian Nunggu Jurai” yang dikumpulkan dan ditulis Saman Loear, menunjukan sejumlah pepatah-petitih yang berbicara tentang alam. Pepatah-petitih ini dibagi dua kelompok, yakni maknanya langsung menunjuk kepada persoalan lingkungan hidup. Seperti himbauan, larangan, ataupun nasihat.

Contohnya, “Kalu dide pacak ngiloki, Njage jadilah” [Kalau tidak bisa memperbaiki, menjaga jadilah].

Pepatah-petitih ini merupakan bentuk ajaran Puyang [leluhur]. Maknanya sangat kental dengan penjagaan atau komitmen menjaga lingkungan atau alam, meskipun maknanya tidak menunjuk langsung pada persoalan lingkungan hidup. Ujaran lain dari pepatah ini, “Kalau dide pacak ngiloki, dide ngerusak jadilah” [kalau tidak bisa memperbaiki, tidak merusak jadilah].

Contoh makna yang menunjuk langsung persoalan lingkungan hidup: “Jangan Ngeghuh Ulu Mandian” [Jangan mengeruhkan air di hulu pemandian].

Pepatah-petitih ini menyebutkan aspek keharusan menjaga “ulu mandian” atau hulu air. Masyarakat umumnya menggunakan sumber air dari pegunungan. Air ini mengalir ke permukiman dan dijadikan sebagai sumber air bersih. Mengganggu hulu air tentu akan berdampak buruk bagi warga sekampung, sehingga hulu air harus dijaga.

Baca: Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial

 

Dua anak terlihat menjaring ikan di Sungai Belido, Kabupaten Muara Enin, Sumatera Selatan. Foto: Ikral /Mongabay Indonesia

 

Pantun

Sama seperti pepatah-petitih, pantun yang terkait persoalan lingkungan hidup, juga menunjuk langsung dan tidak langsung.

Pembatas ume kite betige [Pembatas kebun kita bertiga]
Jaoh parak bukan pemisah [Jauh dekat bukan pemisah]
Yang penting ati pepadu juge [Yang penting hati tertaut juga]

Pantun ini menggambarkan sistem pengelolaan lahan pertanian pada masyarakat. Perbatasan lahan diatur dengan menanam pohon-pohon. Pantun ini juga memiliki sampiran tentang hubungan harmonis di dalam masyarakat.

Padilah kuning di liring bukit [Padi sudah kuning di lereng bukit]
Ngetam banyak makai tuai [Panen berlimpah menggunakan tuai]
Empuk dimak tahankan dikit [Meskipun tak enak sabar sedikit]
Kebile agung dik betembai [Bila merasa besar tidak terbiasa]

Pantun ini menggambarkan lanskap wilayah hulu Sumatera Selatan yang lestari dan indah. Berupa perbukitan, lembah, sungai-sungai kecil, yang dihiasi sawah dan hutan.

Sape ye dimak ditulung [Siapa yang tak enak ditolong]
Sawah libagh padi beghenas [Sawah luas padi bernas]
Sambil ngetam kite berejung [Sambil memanen padi kita berpantun]
Dikde teghase aghi panas [Tidak terasa hari panas]

Gotong-royong merupakan budaya yang kental pada masyarakat uluan Sumatera Selatan. Seperti yang digambarkan dalam pantun di atas. Sementara, pantun yang tidak menunjuk langsung atau dapat ditafsirkan terkait persoalan lingkungan hidup, begini contohnya:

Nanam tebu tembilang bilah [Menanam tebu sebesar linggis]
Ade tumbuhnye tige daun [Ada tumbuhnya tiga daun]
Betemu empai kali inilah [Berjumpa baru sekarang]
Rindu la ndulu tige taun [Rindu sudah tiga tahun lalu]

Secara tidak langsung, pantun ini menggambarkan pengetahuan akan lingkungan hidup yang unik. Masyarakat uluan di Sumatera Selatan menanam tebu bukan dari bibit, melainkan dari tebu yang dipotong-potong sebesar linggis lalu ditancapkan ke tanah. Tanda tebu tersebut tumbuh akan muncul dua-tiga atau lebih tunas.

Baca juga: Kembalikan Tradisi Masyarakat Sriwijaya untuk Lestarikan Alam

 

Saat ini sulit mendapatkan anak muda yang mau menjadi petani di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Sumber pengetahuan

Yenrizal berharap sastra tutur yang mengandung nilai-nilai lingkungan hidup tersebut, dapat menjadi sumber pengetahuan bagi para peneliti berbagai disiplin ilmu, dalam memahami atau merumuskan strategi pelestarian hutan beserta kekayaannya di wilayah huluan Sumatera Selatan.

“Itu dampak yang kami harapkan,” katanya.

Sementara, tujuan dari penelitian tersebut, pertama untuk mengetahui bagaimana konstruksi pesan lingkungan lingkungan hidup pada pantun masyarakat uluan Sumatera Selatan, dan untuk mengetahui cara mengaktualisasikan pesan lingkungan hidup pada pantun masyarakat uluan Sumatera Selatan.

“Kita pantas belajar dari masyarakat uluan, sebab mereka selama belasan abad mampu hidup harmonis dengan alam,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version