Mongabay.co.id

Usai Gempa Mengguncang NTT, Pemahaman Warga Soal Evakuasi Mandiri Perlu Diperbaiki

 

Masyarakat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagian besar masih trauma dengan gempa dan tsunami tanggal 12 Desember tahun 1992 silam.

Kejadian gempa dan tsunami yang melanda wilayah ini membuat warga panik dan berlarian menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi terutama warga di pesisir utara Pulau Flores tepatnya di Kabuaten Sikka dan Flores Timur.

Seperti dikutip dari Wikipedia, gempa Flores tahun 1992 berkekuatan 7,5 Skala Richter di lepas pantai Flores. Gempa yang terjadi pada pukul 13:29 WITA ini mengakibatkan tsunami setinggi 36 meter yang menyebabkan korban meninggal dunia sebanyak 2.100 jiwa, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi.

Gempa ini sedikitnya menghancurkan 18.000 rumah, 113 sekolah, 90 tempat ibadah, dan lebih dari 65 bangunan lainnya. Kabupaten yang terkena gempa meliputi Kabupaten Sikka, Kabupaten Ngada, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Flores Timur. Kota Maumere mengalami kerusakan parah dimana lebih dari 1.000 bangunan hancur dan rusak berat.

Tsunami hebat terjadi karena gempa tersebut memicu longsor di bawah laut. Peristiwa gempa disertai tsunami di Flores tidak terdokumentasi dengan baik di dalam negeri. Ini karena saat itu sangat minim perhatian dari ilmuwan Indonesia

Besaran gempa tersebut dinyatakan oleh Institut de Physique du Globe yang berkedudukan di Strasbourg, Perancis. Meski begitu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan angka yang berbeda, yakni 6,8 Skala Richter.

baca : Gempa di Utara NTT Karena Sesar Geser

 

Anak-anak sekolah bersama warga berlarian melewati jalan El Tari di Kota Maumere usai terjadi gempa yang melanda Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Evakuasi Mandiri

Meski sehari pasca gempa melanda pada Selasa (14/12/2021), warga masih tetap was-was dan cemas akan adanya gempa susulan yang berdampak terhadap tsunami.

Kepala Desa Koja Doi, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Hanawi saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (15/12/2021) mengakui sebagian besar warganya memilih mengungsi ke atas kapal motor nelayan dan kapal penumpang milik mereka.

Hanawi menyebutkan, warga merasa lebih nyaman dan aman berada di atas kapal atau perahu motor karena berkaca pada kejadian gempa dan tsunami tahun 1992 silam.

“Warga Desa Koja Doi lebih memilih berada di atas perahu yang tetap berlabuh di perairan sekitar desa kami. Warga merasa lebih aman di atas perahu karena saat gempa dan tsunami tahun 1992 lalu pun warga tetap aman saat berada di atas perahu motor,” ujarnya.

Hanawi beralasan, perairan Desa Koja Doi berada di teluk dan terhalangi oleh Pulau Besar, Dambila, Parumaan dan Pula Babi sehingga aman apabila terjadi tsunami yang melanda wilayah di pesisir utara Pulau Flores.

Lanjutnya, ada beberapa warga yang mengungsi ke bukit namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Sampai Rabu (15/12/2021) warga sudah kembali ke rumah dan beraktifitas seperti biasa namun mereka tetap waspada.

“Kami tetap siaga dan perahu motornya pun tetap berada di laut dekat pelabuhan. Barang-barang berharga tetap berada di atas perahu meskipun warga sudah kembali ke rumah dan beraktifitas seperti biasanya,” jelasnya.

baca juga : Pemulihan Pasca Gempa, Bisa Belajar dari Bantul

 

Warga Pulau Koja Doi, Desa Koja Doi Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, NTT yang mengungsi ke atas perahu dan kapal motor usai adanya gempa yang berpotensi tsunami. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ketua Forum Peduli Penanggulangan Bencana (FPPB) Kabupaten Sikka,Yuven Wangge kepada Mongabay Indonesia menyebutkan, kepanikan warga terjadi karena ada ramalan dari BMKG mengenai potensi tsunami.

Yuven menyebutkan, pemerintah Kabupaten Sikka memang belum terlalu siap menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Ini terlihat dari ketika adanya pencabutan peringatan dini tsunami, tidak ada pengumuman dan himbauan kepada masyarakat untuk segera kembali ke rumah namun tetap waspada.

Ia sebutkan, kapasitas masyarakat terkait mitigasi bencana sudah cukup memadai karena bisa melakukan evakuasi mandiri namun tidak ditindaklanjuti pemerintah dengan himbauan ketika melakukan evakuasi.

“Tidak adanya himbauan pemerintah membuat warga saat melakukan evakuasi mandiri terkesan panik, tergesa-gesa dan terburu-buru. Ini yang membuat warga tidak bisa memperhatikan semuanya misalnya anggota keluarga seperti lansia, ibu hamil disabilitas dan hal-hal penting lainnya yang harus juga diselamatkan,” ucapnya.

Yuven menegaskan masyarakat sudah sangat paham, terlebih yang menetap di pesisir pantai. Setelah adanya gempa susulan yang besar, masyarakat pun segera mengungsi ke titik kumpul seperti halaman kantor Bupati Sikka dan Rabu (15/122/2021) sudah kembali ke rumah mereka.

baca juga : Begini Mitigasi Tsunami dan Gempa Megathrust Selatan Jawa

 

Anak-anak di Desa Koja Doi Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, NTT yang mengungsi ke atas bukit bersama orang tuanya usai adanya gempa yang berpotensi tsunami. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Minim Mitigasi Bencana

Forum Penanggulangan Resiko Bencana (FPRB) NTT dalam datanya menyebutkan, sejak 1950-2017 kejadian bencana di NTT terdiri dari cuaca ekstrem dan gempa bumi.

Juga ada bencana tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir, kekeringan, kejadian luar biasa wabah penyakit, kegagalan teknologi berupa kebakaran hutan dan lahan serta konflik sosial.

Prioritas berdasarkan ancaman bencana di NTT, hidrometeorologi sebesar 75% diikuti geologi 14% dan kegagalan teknologi 6%.

Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono dikutip dari tirto.id menyebutkan, sejak tahun 1800an di busur Kepulauan Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) setidaknya sudah terjadi lebih dari 22 kali tsunami.

Mantan Direktur WALHI NTT dan Ketua FPPB Kabupaten Sikka, Carolus Winfridus Keupung kepada Mongabay Indonesia menegaskan, saat terjadi gempa, pemahaman masyarakat mengenai titik aman belum terlalu baik.

Win sapaannya katakan pemahaman mengenai titik aman belum sampai kepada masyarakat terutama ketika terjadi tsunami. Kondisi ini yang mengakibatkan saat gempa kemarin, Selasa (14/12/2021), orang berlarian menaiki ke bukit yang lebih tinggi padahal di Kota Maumere saja ada banyak titik aman.

“Pemahaman ini yang belum sampai ke masyarakat sehingga perlu ada pembelajaran kembali atau sosialisasi dari BPBD Sikka terkait titik aman ketika terjadi tsunami,” pintanya.

Win menyesalkan, banyak rambu-rambu yang dipasang atau jalur evakuasi yang dibuat tahun 2011 sudah tidak relevan. Ia tekankan, perlu ada perbaikan kembali rambu dan jalur evakuasinya.

Termasuk titik aman yang ada pun harus diperbaharui lagi mengacu kepada prediksi dan data gempa serta tsunami tahun 1992 silam. Berapa jauh jarak tsunami dari pesisir pantai terutama di wilayah yang tidak ada turap pengaman dan hutan mangrove.

“Harus dibandingkan juga dengan titik aman tahun 1992 silam untuk menetapkan titik aman yang baru. Dengan begitu masyarakat meyakini bahwa benar tempat tersebut memang aman apabila terjadi tsunami,” ungkapnya.

 

Anak-anak yang berada di lokasi pengungsian sementara di aula kantor Bupati Sikka usai terjadinya gempa yang berpotensi tsunami. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Win mencontohkan wilayah Kelurahan Wolomarang dan sekitarnya yang memiliki hutan bakau sangat tebal sehingga bisa mengurangi kecepatan tsunami. Dengan begitu, tsunami yang terjadi bisa saja tidak sampai ke pemukiman warga yang jauh dari pantai.

Dia menyesalkan soal kesiapsiagaan BPBD Sikka yang masih rendah. Dikatakannya, dari sisi personil siap, tapi bagaimana memperbaharui data dan kondisi bencana, itu yang perlu diperhatikan.

Lanjutnya, memang banyak rumah yang berada di pesisir pantai namun harus dipastikan kapasitas masyarakat terkait evakuasi meningkat. Untuk itu perlu dijelaskan agar lebih terarah.

“Harus ada sosialisasi lagi agar masyarakat memahami bahwa dirinya sudah berada pada titik aman atau tidak. Kejadian kemarin, masyarakat berlomba-lomba berlari menuju ke tempat yang paling tinggi seakan-akan Kota Maumere akan tenggelam,” tuturnya.

Win menekankan, jangan sampai masyarakat kebablasan dan berlarian hingga terlau jauh melewati titik aman karena takut adanya kejadian tsunami.

BPBD dengan sumber daya yang ada pun, harus mengkordinasikan, menyosialisasikan dan memperbaharui tanpa menunggu adanya bencana baru bergerak. Harus membangun kesiapsiagaan.

Yuven menambahkan, konstruksi bangunan baik rumah penduduk maupun kantor konstruksinya secara keseluruhan belum ramah terhadap bencana terutama gempa.

“Banyak bangunan yang pengerjaannya sebelum adanya gempa tahun 1992 sehingga belum ramah terhadap gempa. Contohnya pintu rumah saya dibuka ke dalam padahal seharusnya dibuka ke arah luar,” ucapnya.

 

Exit mobile version