Mongabay.co.id

Tantangan dan Harapan Keberlanjutan Mangrove di Tanakeke

Tidak hanya orag dewasa, anak-anak juga terlibat dalam program restorasi mangrove di Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mereka dilibatkan dalam sekolah lingkungan yang di dalamnya diajarkan pentingnya menjaga pesisir dan laut termasuk keberlangsungan mangrove dan padang lamun. Foto: Wahyu Chandra.

 

Awal Nompo terlihat sibuk meladeni tamu yang datang. Sebagai aparat desa, ia harus siap dikunjungi warga setiap saat. Apalagi saat ini menjelang pemilihan kepala desa, dimana dia maju sebagai salah satu calon, sehingga kunjungan orang-orang akan sangat berarti.

Dulu, dia salah satu fasilitator dari Mangrove Action Project (MAP) yang sekarang bernama Blue Forests, untuk program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, tahun 2010-2015. Keterlibatannya di program ini membuatnya banyak belajar tentang pemberdayaan masyarakat. Memberinya bekal untuk bisa berkiprah di desanya, mengawal berbagai program-program yang ada di desa tersebut dan sekitarnya.

Sebagai mantan fasilitator, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan mangrove di desanya, di tengah banyaknya ancaman, seperti penebangan liar dan konversi lahan mangrove ke tambak.

“Program penanaman mangrove beberapa tahun lalu di Dusun Cambaya berhasil, sekarang pesisir pantai yang dulu ditanami sudah besar-besar. Meskipun daerah itu dulunya bukan sasaran program tapi justru tempat itu yang paling sukses,” katanya kepada Mongabay ketika berkunjung ke Desa Tompotana, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, akhir Oktober 2021.

baca : Situs Mangrove Bangko Tappampang Takalar Terancam Industri Arang

 

Melalui metode EMR, MAP (Blue Forests) melakukan rehabilitasi mangrove di Kepulauan Tanakeke, Takalar, Sulsel. Ada yang berhasil, namun ada juga yang gagal karena faktor alam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Meskipun kehadiran mangrove yang lebat terbukti melindungi pulau dari ancaman abrasi dan ombak besar, namun belum dibarengi oleh kesadaran masyarakat untuk menjaganya. Mangrove lebih dilihat sebagai aset ekonomi dibanding fungsi ekologinya.

“Peran desa dan community organizer juga melemah, sehingga tekanan terhadap mangrove semakin besar. Boleh dibilang secara fisik program RCL Oxfam yang dulu ada di sini tidak begitu berhasil. Untuk mengatasi masalah yang ada dibutuhkan pendekatan program yang bisa menggerakkan pemerintah desa dalam hal pengawasan,” tambahnya.

Kepulauan Tanakeke sendiri merupakan salah satu lokasi rehabilitasi mangrove yang diinisiasi oleh program RCL Oxfam 2010-2021. Melalui mitranya MAP dan Yayasan Konservasi Laut Indonesia, mereka melakukan rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat. Untuk rehabilitasi mangrove, program ini menggunakan pendekatan yang disebut Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR).

Menurut Yusran Nurdin Massa, Ecological Technical Advisor (ETA) Blue Forests, sebelum dilakukan rehabilitasi mereka terlebih dahulu melakukan kesepakatan dengan pemilik tambak yang tambaknya akan dirombak.

“Program ini kita mulai di Dusun Lantampeo, Desa Maccini Baji pada tahun 2010, ada sekitar terdapat 70 kepala keluarga yang menandatangani kesepakatan untuk rehabilitasi melalui EMR. Lantampeo sendiri merupakan situs pertama yang menggunakan metode EMR yang menggunakan tangan manusia, dimana mereka membangun saluran air di sekitar tambak sepanjang 1 km,” jelasnya.

Dalam kesepakatan tersebut, antara lain disebutkan bahwa pemilik tambak tidak akan menebang habis mangrove ketika sudah tumbuh dan masyarakat bisa mengambil sumber daya di daerah tersebut, bukan hanya pemiliknya.

“Disebutkan pula bahwa RCL juga tidak akan mengambil lahan yang direhabilitasi tersebut, tetap menjadi milik masyarakat. Selain itu, kawasan mangrove yang sudah tumbuh tidak akan dialihfungsikan dalam waktu tertentu.”

Pendekatan ini cukup sukses di Lantampeo, dimana seluruh tambak yang direhabilitasi perkembangan mangrovenya sesuai harapan dan bahkan telah menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat dengan melimpahnya ikan, kepiting dan kerang biri-biri.

baca juga : Situs Belajar Mangrove Kurri Caddi Maros, Kisah Sukses Rehabilitasi Metode EMR

 

Bekas tambak di di Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang telah diubah kembali menjadi kawasan mangrove melalui metode EMR. Kini kondisinya pertumbuhan mangrove sangat lebat dan dipenuhi banyak biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Sayangnya, tidak semua lokasi rehabilitasi memberi hasil sesuai harapan. Selain di Lantampeo, pendekatan EMR ini juga sukses di Balandatu, Rewatayya dan beberapa titik di Bangko Tinggiya. Sementara beberapa lokasi lainnya kurang begitu sukses.

“Ada yang tumbuh baik terutama yang siklus hidrologinya bagus, karena tidak berhadapan langsung dengan lautan lepas dan ada juga area yang lamban pertumbuhannya karena masih belum normal hidrologinya sehingga banyak genangan, yang butuh untuk normal kembali sebelum kemudian perlahan tumbuh dan ada juga yang back sliding atau kembali menjadi tambak.”

Rata-rata tambak yang pertumbuhannya bagus memang secara bahan organik sedimennya mencukupi, sedangkan yang pertumbuhannya lambat karena pengaruh ombak besar, angin kencang dan kondisi tambak yang terlalu dalam.

Total mangrove yang sudah direhabilitasi di Tanakeke melalui pendekatan EMR tahun 2010-2016 sekitar 519 ha. Terdapat sekitar 410 ha yang tumbuh baik sebagaimana tujuan rehabilitasi mengembalikan ke mangrove, dan sekitar 109 ha yang kemudian back sliding atau kembali menjadi tambak.

Back sliding ini dipicu oleh adanya upaya warga upaya untuk mengaktifkan kembali tambak untuk produksi ikan dan udang dan juga pengaruh penurunan produksi rumput laut serta pembukaan dapur arang baru, seperti yang terjadi di Tompotana, Maccini Baji dan beberapa wilayah di Balandatu,” katanya.

Back sliding ini sendiri dimulai ketika seorang pengusaha memasukkan ekskavator ke Tanakeke tahun 2016, yang kemudian memicu masyarakat untuk mengolah kembali tambaknya.

“Karena sumber daya alam terbatas mereka melihat bahwa potensi baru itu di tambak. Di lahan daratan, tambak-tambak yang dikelola dengan baik memberi hasil menggiurkan. Di Tanakeke sendiri, tambak sebenarnya sudah coba sejak tahun 1980-an, namun hanya lima tahunan beroperasi, karena pengetahuan mereka secara teknis terkait tambak terbatas. Bersamaan dengan era itu juga rumput laut masuk ke Tanakeke, sebagian tambak itu ditinggalkan masyarakat padahal sebelumnya sangat masif,” lanjut Yusran.

baca juga : Setelah 6 Tahun, Bagaimana Kiprah Womangrove di Tanakeke?

 

Karena keterbatasan sumber daya, masyarakat Kepulauan Tanakeke, Takalar, Sulsel, sangat tergantung pada mangrove yang dijual sebagai kayu arang, menambah tekanan terhadap mangrove. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Alihfungsi lahan menggerus kawasan mangrove cukup besar. Dari sekitar 1.776 hektare mangrove di Tanakeke sejak tahun 1970-an, berkurang drastis pada tahun 2000-an, dimana sekitar 1.200 hektare dikonversi menjadi tambak sehingga lahan yang tersisa mangrovenya hanya 576 hektare.

“Tetapi penurunan produksi sejak mulai beroperasi dikelola sebagian besar sekitar 5 tahunan lah. Ada yang beroperasi sampai sekarang tetapi sebagian besar dibiarkan terlantar. Yang terlantar ini pematangnya terbongkar sehingga mangrove alami tumbuh di dalamnya, meski sebagian lagi belum ditumbuhi mangrove secara alami. Bagian itulah yang direhabilitasi.”

Rumput laut sempat menjadi primadona bagi masyarakat Tanakeke, meskipun menurun sejak 2012, sehingga masyarakat mencari sumber penghidupan baru.

“Program RCL kemudian mengenalkan budidaya padi yang berkembang baik di Macccini Baji dan Balandatu. Pada tahun 2012 dapur arang juga mulai terbuka kembali, setelah sempat terhenti karena adanya rumput laut menjadi sumber penghidupan masyarakat.”

 

Solusi Bersama

Menurutnya, untuk mengatasi masalah tingginya tekanan terhadap ekosistem mangrove di Tanakeke, maka harus disiapkan mata pencaharian alternatif bagi warga.

“Salah satu yang potensial adalah mangrove fisheries yang jika dikelola dengan baik bisa menjadi sumber penghidupan yang bagus, misalnya kepiting bakau, gurita dan kuda laut,” kata Yusran.

Pertanian juga bisa dikembangkan lebih jauh dengan mendorong pertanian organik. Selain itu, mangrove juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan kalau kayunya ditata dengan baik, tidak dikelola secara masif, serta ekowisata.

“Banyak yang bisa dikembangkan, namun harus dihindari budaya latah, yang ketika satu usaha sukses mereka berbondong-bondong menekuni usaha yang sama, seperti yang terjadi selama ini. Mestinya mereka bisa dibagi dengan beberapa opsi penghidupan yang ada.”

perlu dibaca : Hutan Mangrove Nasional Berubah Semakin Luas

 

Anggota Womangrove di Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan secara aktif melakukan penanaman dan sosialisasi terkait pentingnya menjaga mangrove secara ekologi dan ekonomi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Selain itu, lanjut Yusran, pemerintah daerah juga mesti hadir untuk menguatkan tata kelola yang sudah ada, karena selain sebagai model insentif kepada model community baseline di tingkat tapak, dengan adanya sinergi antar pemerintah dan masyarakat maka dorongannya bisa lebih baik.

Tidak hanya itu, tambahnya, unsur law empowerment juga bisa diperkuat, apalagi dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pula Kecil (RZWP3K), Kepulauan Tanakeke dicadangkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Pulau-pulau Kecil (KKP3K).

“Kalau ada kolaborasi pemerintah provinsi dan masyarakat maka pengelolaan bisa ditata dengan baik, dimana masyarakat punya rasa tanggung jawab dan pemerintah bisa mengawasi,” tambahnya.

 

Keterangan foto utama : Tidak hanya orag dewasa, anak-anak juga terlibat dalam program restorasi mangrove di Balandatu, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Mereka dilibatkan dalam sekolah lingkungan yang di dalamnya diajarkan pentingnya menjaga pesisir dan laut termasuk keberlangsungan mangrove dan padang lamun. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version