Mongabay.co.id

Menyoal Pembiayaan Perbankan ke Proyek Batubara

PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Separuh perbankan di Indonesia yang mewakili 91% total aset pasar berkomitmen dalam penerapan keuangan berkelanjutan kalau melihat laporan keberlanjutan dari tiap-tiap bank. Langkah ini seiring dengan komitmen Indonesia mencapai net zero emission pada 2060. Sayangnya, dalam kenyataan, dana-dana perbankan masih mengaliar buat pembiayaan sektor batubara yang jadi bahan baku pembangkit listrik.

Sejumlah bank nasional di Indonesia masih mengalirkan dana ke proyek-proyek batubara, baik PLTU maupun pertambangan. Data Urgewald (2021) menyebutkan, ada enam bank lokal masih memberikan pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018-Oktober 2020 dengan nilai mencapai Rp89 triliun.

Pinjaman terbesar oleh Bank Mandiri US$2,46 miliar setara Rp36 triliun (kurs Rp14.500 per US$), dan BNI US$1,83 miliar, setara Rp27 triliun. Kemudian Bank Rakyat Indonesia (BRI) US$1,76 miliar atau Rp26 triliun, BCA US$0,82 miliar, setara Rp12 triliun, Bank Tabungan Negara (BTN) US$0,10 miliar atau Rp1,5 triliun, dan Indonesia Eximbank US$0,03 miliar atau setara Rp435 miliar.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. Lewat POJK ini , bank wajib menerapkan keuangan berkelanjutan. Ada 13 bank yang berkomitmen, yakni, Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, BJB, Bank Artha Graha, Bank Muamalat, BSI, CIMB Niaga, OCBC NISP, Maybank, Bank Panin, dan HSBC Indonesia.

Andri Prasetyo, peneliti Trend Asia menilai, ada paradoks antara komitmen perbankan sebagai tindak lanjut terhadap POJK 51/2017 dengan realita masih membiayai proyek-proyek batubara.

Alih-alih jadi perbankan berkelanjutan, katanya, POJK 51/2017 seakan jadi green washing bagi perusahaan-perusahaan perbankan.

Padahal, katanya, bank-bank domestik, jadi penggerak pertama dan perbankan berkelanjutan. BRI, misal, menyatakan secara eksplisit dalam laporan berkelanjutan (sustainability report) -nya tidak lagi mendanai proyek berbahaya dan merusak lingkungan. Namun, secara historis, BRI dan Bank Mandiri paling banyak mendanai proyek-proyek batubara.

“BRI, kalau dibandingkan dengan total kredit yang tersalurkan Rp880 triliun, untuk sektor energi terbarukan Rp14,6 triliun. It means cuma 1,5 persenan.”

Menurut data Urgewald, selama Oktober 2018-Oktober 2020, BRI menyalurkan kredit ke PLN sebanyak US$1.497 juta,  Magna Resources Corporation senilai US$150 juta, dan Darma Henwa US$115 juta. Terbaru, BRI terlibat dalam PLTU Jawa 9 dan 10.

“Dalam laporan keuangan, mereka menyatakan berkomitmen mendukung pemerintah menyelesaikan proyek 25.000 Megawatt, yang sebagian besar proyek PLTU,” kata Andri.

Bank Mandiri, yang paling banyak mengucurkan kredit ke proyek-proyek batubara atau senilai US$4.627 miliar yang mengalir antara lain ke PLN US$2.983 juta, Indika Energy US$360 juta, Inalum US$353 juta, Magna Resources Corporation US$272, Sinar Mas Group US$214 juta, dan Titan Infra Energy US$133 juta. Juga ke United Tractors US$131 juta, Toba Bara Sejahtra US$121 juta, Delta Dunia Makmur US$33 juta, dan Adaro Energy US$27 juta.

Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Koordinator ResponsiBank, membeberkan, total ada US$6,29 miliar atau Rp89 triliun dan underwriting atau penjaminan emisi US$2,64 miliar atau Rp16,6 triliun, dialirkan enam bank nasional ke proyek energi batubara.

 

Pinjaman perbankan nasional ke proyek batubara dalam miliar dolar. Sumber: Urgewald

 

Padahal, saat ini dengan tren pembiayaan berkelanjutan, lembaga keuangan diharapkan mulai mengalihkan pendanaan ke industri lebih berkelanjutan. Batubara, katanya, salah satu energi pengemisi dan banyak investor global mulai menyatakan tak lagi membiayai batubara, baik di hulu (pertambangan) maupun PLTU.

Bank nasional ini, katanya, memberi pendanaan kepada perusahaan tambang batubara dan PLN yang juga menggunakan batubara sebagai bahan bakar listrik.

Andri mengkritik, POJK 51/2017 karena tidak secara eksplisit membatasi atau melarang perbankan membiayai proyek-proyek energi batubara. Konseptualisasi ranah proyek yang boleh dan tidak boleh didanai pun tidak jelas.

Ternyata, katanya, ada beberapa perusahaan masih boleh mendanai PLTU dan pertambangan batubara. “Bagaimana mungkin ada peraturan OJK tentang keuangan berkelanjutan tetapi saat sama masih boleh atau masif mendanai proyek-proyek batubara? Bank kemudian melihat POJK ini sebagai dasar baru.”

Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.Org, mengatakan, POJK 51/2017 bersifat sukarela. OJK pun tidak punya mandat memaksa bank menghentikan pendanaan ke proyek-proyek energi kotor.

“Ada persoalan definisi dari apa yang bisa masuk dalam sustainable financing. Itu yang menyebabkan angkanya (kredit hijau) besar sekali. Padahal, presentase kecil sekali. BNI hanya 1%, Bank Mandiri 0,7%, dan BRI 1,5%,” katanya saat dihubungi awal Desember lalu.

Saat ini, katanya, tren dunia mengarah pada penghentian pembiayaan ke energi kotor dan beralih ke pendanaan energi terbarukan seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Tiongkok.

 

Stop the money, stop the project

Andri katakan, secara global, ada 100 lebih bank sudah berkomitmen berhenti mendanai batubara.Ppaling baru, Bank of China–dulu dikenal sebagai Bank of Coal–per kuartal tahun ini tidak lagi mendanai (tambang) batubara dan PLTU.

Menurut Sisilia, sebetulnya di Asia, sudah ada beberapa bank berkomitmen akan menghentikan aliran dana ke proyek energi kotor seperti DBS pada 2039 dan CIMB Niaga tahun 2040.

“Bank sudah melihat tren (penghentian dana ke energi kotor) ini. Butuh dorongan dari nasabah dan publik untuk bank benar-benar take action. Sedihnya, banyak bank di Indonesia yang berkomitmen akan jadi sustainable tetapi masih sangat sedikit uang yang dikeluarkan untuk proyek-proyek lingkungan hidup,” katanya.

Dia bilang, 350.org mendorong supaya batubara hanya disimpan saja dalam tanah, lebih baik Indonesia memanfaatkan energi terbarukan yang melimpah.

Binbin Mariana, Juru Kampanye Keuangan dan Energi dari Market Forces, mengatakan, saat ini rata-rata kenaikan suhu bumi telah mencapai lebih dari 1,2 derajat celsius. Batubara, katanya, salah satu penyumbang emisi terbesar dari sektor energi.

“Untuk mencapai komitmen Perjanjian Paris yang telah diratifikasi, Indonesia harus berhenti menggunakan batubara pada 2040. Dengan masa operasional PLTU rata-rata 25 tahun, artinya mencapai komitmen Perjanjian Paris, harus berhenti membangun PLTU baru sekarang,” katanya.

Dengan masih ada pembiayaan PLTU baru oleh perbankan Indonesia, berarti bank-bank ikut andil dalam memperparah krisis iklim dan kegagalan kesepakatan Perjanjian Paris.

 

Aktivitas penambangan batu bara di blok B milik PT Minemex

 

Pada KTT Perubahan Iklim di Glasgow November 2021, kata Binbin, setidaknya 23 negara berkomitmen mengurangi penggunaan batubara. Hal ini dapat berdampak pada penurunan permintaan batubara di masa mendatang.

“Artinya, pembiayaan batubara tidak saja memperparah krisis iklim tapi juga berisiko secara finansial.”

Bank adalah lembaga intermediasi yang seharusnya bertanggung jawab kepada penyimpan dana dengan tidak menyalurkan kredit ke energi kotor batubara dan meningkatkan portfolio pembiayaan energi terbarukan. Dalam laporan berkelanjutan mereka, katanya, bank seharusnya melaporkan pembiayaan ke sektor yang menghasilkan emisi tinggi seperti batubara.

“Masyarakat, khususnya generasi muda saat ini sudah sangat paham terkait krisis iklim. Dengan masih membiayai batubara, bank terpapar risiko reputasi tinggi dari kesadaran nasabah bank atas krisis iklim yang ditimbulkan batubara.”

Dengan tidak memiliki kebijakan berhenti membiayai batubara, katanya, perbankan Indonesia ‘ketinggalan kereta’ dan ‘tertinggal’ bahkan di kawasan Asia.

 

Daya rusak

Didit Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, mengatakan, dari beberapa penelitian Greenpeace dan temuan lapangan, batubara memberikan daya rusak hampir di semua sendi kehidupan, mulai dari lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat.

“Setelah ditambang, batubara meninggalkan lubang-lubang tambang yang memiliki dampak lingkungan luar biasa. Banyak lubang tambang yang tergenang. Genangan air memiliki kadar keasaman tinggi dan mempengaruhi ekosistem,” katanya.

Belum lagi, dalam proses pengangkutan batubara ke PLTU yang menggunakan kapal tongkang hingga rawan merusak ekosistem laut. Dia contohkan, kejadian di Karimunjawa. Kapal pengangkut batubara menghantam terumbu karang. Dari ketiga lokasi yang diteliti Greenpeace, diketahui karang mati cukup luas. Karang mati terluas terdapat di Pulau Tengah, sebesar 59,7%. Sedangkan, karang mati di Legon Bajak mencapai 47,2%, dan di Pulau Cilik 22%.

Penggunaan bahan peledak dan aktivitas lain dalam proses pertambangan, katanya, juga bisa menyebabkan erosi, tumbuhan dan satwa terancam kehilangan habitat, serta transfer racun di rantai makanan.

Conserve Energy Future dalam artikel bertajuk Causes and Effects of Mining on Human Health and the Environment, yang dilansir 13 Desember lalu mengatakan, sebuah studi menunjukkan efek jangka panjang pertambangan batubara ialah gangguan pernapasan pneumokoniosis, asbestosis, dan silikosis.

Tambang batubara menghasilkan banyak debu yang jika terhirup dapat menyebabkan flek hitam di paru-paru para pekerja atau orang lain yang tinggal di wilayah sekitar.

 

Ester Susan menunjukkan foto Jonatan Sitompul putranya yang kala itu berumur 7 tahun tewas setelah ditabrak truk pengangkut batubara. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Peledakan dan pengeboran dalam proses pertambangan juga menghasilkan mineral halus pada debu yang bisa terhirup dan menumpuk di paru-paru hingga jadi penyebab pneumokoniosis.

Saat penambang menghirup kuarsa atau kristal silika dalam jumlah berlebihan, kemungkinan besar akan menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan yakni silikosis.

Riset berjudul Ancaman Maut PLTU Batubara yang dirilis Universitas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara tahun 2015 mengungkapkan,  operasi PLTU batubara di Indonesia, menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa per tahun. Angka ini dari penelitian 42 PLTU di Indonesia.

Indonesia mencanangkan tambahan pembangkit batubara sekitar 22.000 MW—bagian proyek 35.000 MW—kalau jalan, prediksi kematian dini di Indonesia, melonjak jadi 15.700 jiwa per tahun atau 21.000 –an dengan negara tetangga.

Kematian dini itu antara lain karena 2.700 jiwa kena stroke, 300 kanker paru-paru, 2.300 jantung insemik, 400 paru obstuktif kronik, dan 800 orang lain terkena penyakit pernafasan dan kardiovaskular.

Melalui artikel The Harvard College Global Health Review (HCGHR), Dr Michael Hendryx, peneliti dari West Virginia University, bilang, pekerja dan masyarakat dekat pertambangan batubara berisiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung, pernapasan, dan ginjal kronis.

Greenpeace juga memberi peringatan melalui laporan Pembunuhan Senyap di Jakarta, bahwa, emisi dari PLTU baik yang beroperasi maupun dalam rencana bisa meningkatkan risiko kesehatan pada penduduk Jabodetabek. Termasuklah, 7,8 juta anak-anak–menyebabkan mereka terpapar PM2.5 yang jauh di atas standar WHO.

“Dampak kesehatan dari polusi ini diproyeksikan menyebabkan 10.600 kematian dini dan 2.800 kelahiran dengan berat lahir yang rendah per tahun, di mana hampir setengah dari dampak ini berada di Jabodetabek,” bunyi laporan itu.

Sebetulnya, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan lebih terbatas. Eksplotasi batubara yang masif ini harus dibayar dengan biaya besar terhadap ekonomi nasional, sektor-sektor ekonomi lain, mata pencaharian sampai kesehatan penduduk Indonesia di daerah-daerah terdampak.

“Dampak kesehatan, beban biaya yang harus dikeluarkan dari permasalahan udara tidak sedikit. Jika diakumulasikan, akan menjadi beban ekonomi tersendiri bagi negara,” kata Didit.

Bahkan, kalau dihitung dari masalah lingkungan, sosial, kesehatan yang muncul, biaya eksternalitas dari batubara sangat tinggi.

 

Klaim perbankan

Bank Mandiri merupakan bank paling banyak mengalirkan uang ke proyek energi kotor. Meski begitu, bank BUMN ini mengklaim ada 23% dari total portofolio kredit yang tersalur ke sektor ramah lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG). Selain itu, dari 90% jumlah kredit ke ESG juga sudah bersertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Bank Mandiri sebagai agent of development terus berupaya mendukung implementasi pengembangan berkelanjutan yang fokus pada lingkungan, sosial dan tata kelola,” kata Rudi As Aturridha, Corporate Secretary Bank Mandiri 4 Desember lalu.

Dukungan Bank Mandiri terhadap ESG, katanya, juga tercermin dalam sustainable portofolio yang terus meningkat. Sampai September 2021, tercatat total kredit perseroan ke sektor berkelanjutan mencapai Rp187,4 triliun atau 23%.

“Adapun pertumbuhan tertinggi terdapat pada pembiayaan ke sektor energi terbarukan yang naik 108,43% secara year to date.”

Begitu juga dengan BRI. Disebutkan, hingga akhir September 2021, tercatat telah menyalurkan pembiayaan kepada aktivitas bisnis berkelanjutan senilai Rp607,7 triliun atau setara 65,3% dari total kredit bank ini.

Aestika Oryza Gunarto, Corporate Secretary BRI, mengatakan, dalam setiap partisipasi pembiayaan ataupun kredit terhadap suatu proyek yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup, BRI akan menganalisis setiap risiko.

BRI, katanya, hanya akan berpartisipasi dalam pembiayaan proyek apabila poin-poin yang perlu dipenuhi debitur terpenuhi seperti mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan sertifikasi lingkungan yang relevan.

 

Ribuan ton batubara diangkut melalui transportasi laut dari berbagai daerah untuk memenuhi keperluan PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Peran publik

Salah satu alasan perbankan nasional hingga kini masih enggan menghentikan pendanaan ke proyek energi kotor lantaran kesadaran publik menekan bank-bank belum terbangun. Untuk itu, perlu ada tekanan publik agar ada daya dorong atau keseriusan perbankan beralih biayai energi terbarukan.

“Mereka (bank) secara reputasi sangat rentan terhadap suara-suara yang menekan mereka. Kesadaran publik harus dibangun,” kata Sisilia.

Satu persoalan penting ialah kebijakan pemerintah, yang memberikan karpet merah terus-menerus kepada sektor energi fosil, secara khusus batubara.

“Kami mendorong ada kebijakan pemerintah yang memberikan setidaknya level insentif yang sama antara renewable energy dan batubara,” katanya. Selama ini, insentif banyak ke energi fosil.

Insentif, katanya, begitu penting karena salah satu penyebab bank enggan berinvestasi pada energi terbarukan lantaran faktor risiko yang dianggap lebih besar ketimbang energi fosil.

“Padahal, jika nature dari energi terbarukan dipahami dan negara punya political will, itu bisa diberi affirmative action. Kalau level insentif sama, pasti energi terbarukan yang akan maju daripada coal karena efek ke lingkungan juga enggak sebesar coal.”

OJK telah menerbitkan roadmap keuangan berkelanjutan tahap II, yang bisa menjadi acuan bagi lembaga keuangan beralih ke bisnis lebih berkelanjutan dengan menerapkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Maftuchan bilang, OJK mengembangkan ekosistem keuangan berkelanjutan yang meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian/lembaga, dukungan non pemerintah, sumber daya manusia, dan awareness.

Dengan kebijakan itu, dia berharap, ekosistem yang terbentuk memberi insentif bagi lembaga keuangan agar salurkan dana ke sektor berkelanjutan.

“Bank dan lembaga penjamin perlu mulai memikirkan untuk mengurangi pembiayaan terhadap industri batubara demi melindungi bumi untuk anak cucu ke depan,” katanya.

Andri meminta, penerapan POJK 51/2017 secara sungguh-sungguh. “Jangan sebatas branding.” OJK diminta lebih ketat mengawasi bank-bank yang sudah berkomitmen dalam pembiayaan berkelanjutan.

Mengutip roadmap II OJK, pengembangan taksonomi hijau bertujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia.

Adapun inisiatif keuangan berkelanjutan yang dikembangkan dalam roadmap tahap II akan mengintegrasikan tujuh komponen dalam satu kesatuan ekosistem.

Tujuh komponen keuangan berkelanjutan itu terdiri dari kebijakan, produk, infrastruktur pasar, dan koordinasi kementerian/lembaga terkait. Kemudian, dukungan nonpemerintah, sumber daya manusia, serta awareness.

Andri mendorong, segera implementasi dan memperjelas taksonomi hijau.

“Harus ada sanksi tegas, bukan hanya semacam surat edaran. Dipatuhi di awal, tapi jika dilanggar tidak ada konsekuensinya. Government jadi tidak punya power untuk mendesak bank-bank tidak boleh mendanai PLTU dan tambang.”

 

*Rosmayanti merupakan jurnalis Warta Ekonomi. Tulisan ini terbit juga di Wartaekonomi. co.id. Liputan ini merupakan karya fellowship “Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor Batubara” didukung oleh Mongabay Indonesia dan 350.org.

 

 

 

Mau ikut mendorong perbankan menghentikan pendanannya ke sektor batubara? Anda bisa ikut menandatangani petisi berikut.

 

 

******

Foto utama: PLTU Cilacap yang tak jauh dari aktivitas nelayan termasuk tempat pelelangan ikan. Foto: Tommy Apriando.

Exit mobile version